Multikulturalisme di Vorstenlanden, Seminar Nasional Prodi Ilmu Sejarah FIB UNS

"Orang indo di Indonesia saat ini berbahasa dan budaya yang gado-gado, kadang menggunakan bahasa Belanda saat bernada tinggi, menggunakan panggilan sinyo dan noni, disiplin waktu, rapi dan bersih, serta ketika liburan mengisi kegiatan dengan berpetualang.”

26 Oktober 2022, 11:25 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Pendidikan — Multikulturalisme di Vorstenlanden, menjadi perbincangan hangat dalam Seminar Nasional Prodi Ilmu Sejarah FIB UNS

MULTIKULTURALISME merupakan keindahan, karena didalamnya terdapat aspek masyarakat dari beragam kultur, namun tetap dinamis mencari pengerucutan perspektif kolektif guna tetap eksis. Berangkat dari pertanyaan bagaimanakah multikulturalisme di lingkungan Vorstenlanden, Program Studi (prodi) Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Multikulturalisme di Vorstenlanden: Masa Lalu dan Masa Kini”, pada Selasa pagi (25/10/2022).

Di undang sebagai narasumber dalam kegiatan ini, Dekan FIB UNS, Prof. Dr. Warto, M.Hum., Dosen Prodi Ilmu Sejarah FIB UNS, Dr. Harto Juwono, M.Hum., dan Tokoh Komunitas Indo di Vorstenlanden, Warin Darsono.

Kegiatan yang dilakukan secara hybrid ini dibuka oleh Wakil Dekan Akademik, Riset, dan Kemahasiswaan FIB UNS, Prof. Dr. Tri Wiratno, M.A., menurutnya Seminar Nasional ini sangat penting karena para peserta dapat memahami sisi multikulturalisme di Vorstenlanden. Prof. Tri juga menambahkan bahwa melalui kegiatan ini peserta akan mengetahui perbedaan multikulturalisme dengan multilingualisme.

“Seminar ini untuk memancing mahasiswa agar mampu mengembangkan pengetahuan” ungkapnya.

Pembicara pertama, Dr. Harto Juwono menjelaskan tentang Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta: Suatu Kajian Memori Budaya. Pemaparan awal, Dr. Harto menjelaskan tentang pengertian memori budaya, menurutnya pemahaman yang terbentuk tentang masa lalu yang diturunkan dari generasi ke generasi lewat naskah, tradisi, lisan, monumen, ritual dan simbol. Dr. Harto juga menyinggung tentang makanan khas Tionghoa, seperti Bakpia.

“Bakpia itu menurut masyarakat Tionghoa Yogyakarta sering disebut Kue Terang Bulan,” jelasnya.

Warin Darsono yang masih memiliki hubungan darah dengan Yohanes Agustinus Dezentje, salah satu pengusaha perkebunan di Vorstenlanden asal Negeri Kincir Angin, membahas dengan detail tentang Kaum Indo Eropa dan Kehidupannya. Warin menjelaskan tentang beberapa jejaring pengusaha hasil bumi di Vorstenlanden. Misalnya, dari keluarga Dezentje, Blommestein, van Braam, MacGylavry, dan Doorepaal. Pemaparan Warin juga membahas tentang kehidupan para keturunan indo di Indonesia di masa modern.

“Orang indo di Indonesia saat ini berbahasa dan budaya yang gado-gado, kadang menggunakan bahasa Belanda saat bernada tinggi, menggunakan panggilan sinyo dan noni, disiplin waktu, rapi dan bersih, serta ketika liburan mengisi kegiatan dengan berpetualang.” Jelas Warin.

Prof. Warto sebagai pembicara terakhir membahas tentang Komunitas Arab di Vorstenlanden. Menurut catatannya menjabarkan tentang kedatangan awal penduduk Arab di Surakarta itu tidak diketahui secara pasti dan mereka datang secara bertahap dalam kelompok kecil, penduduk Arab terbagi menjadi dua golongan: Sayed dan bukan Sayed.

“Melalui beberapa jaringan integrasi, keberadaan orang Arab dapat diterima oleh penduduk,” papar Prof. Warto.

Kuliah Nasional ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang peserta yang terdiri diri dari mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah FIB UNS lintas angkatan, dosen, dan umum. Antusias perserta terekam dari semangat mereka bertanya pada narasumber, kegiatan ini ditutup dengan foto bersama antara narasumber dan para peserta.

Menukil Prof. Tri bahwa kegiatan ini mesti rutin diadakan karena dapat menuntun mahasiswa berkembang lebih cepat dalam pemahaman ilmu.

Sebagai pengetahuan, vorstenlanden adalah wilayah kepangeranan milik kekuasaan monarki atau kerajaan. Sebelumnya, wilayah vorstenlanden adalah wilayah bovenlanden orang Belanda menyebutnya, yaitu wilayah kekuasaan monarki kerajaan Mataram Islam.

Mataram Islam adalah kerajaan induk dari Mataram baru setelah kekuasaan Mataram dan wilayahnya dipecah melalui perjanjian Giyanti 1755 yang membagi wilayah Mataram menjadi dua, yakni kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, tak berselang lama kemudian dipecah lagi menjadi Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman.

Lahirlah empat monarki baru di Jawa yang kemudian mempunyai hak atas tanah atau wilayah kekuasaan yang di antaranya adalah tanah berstatus vorstenlanden.

Wilayah vorstenlanden pada saat era Mataram baru, terutama masa Hindia Belanda lebih dikhususkan untuk produksi pertanian sebagai penghasil komoditi perkebunan, seperti tebu, kopi, gula, dsb. Selain itu vorstenlanden dalam tinjauan sosiologi telah menjadi satu kesatuan sebagai budaya/kultur masyarakat Jawa yang erat dengan monarki kerajaan dan manajemen Hindia Belanda. (Rensi)

Laboratorium Vorstenlanden Ciptakan Film Tentang Sejarah Perkebunan dan Kopi
Program Pelatihan MC Prodi Sastra Inggris FIB UNS, Hadirkan Tommy Tjokro
Bekali Skill Mahasiswa: FIB UNS Gelar Pelatihan Manajemen Mahasiswa
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Jakarta Punya Cerita dalam Pantun Frutikultura (1)

Terkait

Terkini