MyPertamina, Apakah Itu? Praktis, Ribet, atau Cara Halus Mencari Potensi Uang

Menjadikan pertanyaan, lantas berapa kuota penerima kartu MyPertamina, berapa persen dari total seluruh penduduk Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi. Disitulah terjadi hitung-hitungan ekonomi dan tukar tambah kebijakan secara politik.

15 Juni 2022, 14:28 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | ESDM — MyPertamina, Apakah Itu? Praktis, Ribet atau Cara Halus Mencari Potensi Uang

“Tentu hal tersebut akan debatable di kalangan akar rumput, akan menimbulkan dampak ketersinggungan dan kesenjangan, hingga narasi keadilan. Pun secara teknis di lapangan, dalam hal ini SPBU, diperlukan adaptasi yang tidak mudah secara teknis menyangkut sistem data base-nya. Alat-alat seperti kartu ATM, scanner, barcode, dlsb, perlu disiapkan matang.”

“Dengan tidak dicabutnya subsidi, atau dengan kuota subsidi yang sama dari APBN, berarti bisa dibaca bahwa, maksud pemerintah menerapkan digitalisasi pembelian BBM bersubsidi adalah cara aman untuk mencari potensi uang dari pembelian BBM bersubsidi tanpa harus mencabut atau mengurangi kuota subsidi.”

Pemerintah akan memberlakukan pembelian BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis Pertalite dan Solar subsidi dengan menggunakan aplikasi digital MyPertamina. Penerapan aplikasi tersebut dimaksudkan agar sesuai dengan kriteria penerima subsidi agar tidak salah sasaran.

Regulasi yang mengatur mengenai kebijakan tersebut seiring dengan telah dilakukannya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 Tentang: Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Aturan tersebut juga akan dibarengi petunjuk teknis pembelian BBM jenis Pertalite dan Solar, khususnya dalam penentuan kriteria penerima BBM bersubsidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa, aplikasi MyPertamina akan diuji coba pada Agustus atau September 2022. Saat ini sedang merampungkan regulasi yang akan mengaturnya secara teknis.

Saat ini, Juni 2022, harga BBM belum/tidak ada kenaikan, terutama untuk BBM bersubsidi. Banyaknya subsidi dari biaya APBN terutama untuk jenis Pertalite dan Solar yang direncanakan diatur ulang mengandung alasan agar penerima subsidi tepat sasaran.

Artinya, pemerintah tidak akan mengurangi subsidi tersebut atau bahkan menghapus subsidi, karena dampaknya akan sangat berbahaya untuk stabilitas ekonomi masyarakat, karena efeknya akan berubah frontal pada sendi-sendi ekonomi yang telah mapan, pun di tengah upaya menumbuhkan dan menggeliatkan ekonomi pasca Covid-19 dan persoalan krisis ekonomi dan keuangan lainnya di dalam negeri dan dunia.

Dampak tersebut tentu tidak hanya pengharusan penyesuaian, mulai dari sisi produksi, konsumsi hingga distribusi bagi masyarakat. Tetapi perubahan frontal pada tata kelola niaga hingga berubahnya harga-harga kebutuhan pokok bagi masyarakat. Mulai dari sektor industri hingga ekonomi mikro.

Dengan tidak dicabutnya subsidi, atau dengan kuota subsidi yang sama dari APBN, berarti bisa dibaca bahwa, maksud pemerintah menerapkan digitalisasi pembelian BBM bersubsidi adalah cara aman untuk mencari potensi uang dari pembelian BBM bersubsidi tanpa harus mencabut atau mengurangi kuota subsidi.

Lantas, dimanakah potensi datangnya uang tersebut, tentu dari diterapkannya aplikasi MyPertamina. Artinya, pembeli BBM bersubsidi harus menggunakan aplikasi MyPertamina, dan yang mempunyai aplikasi MyPertamina adalah yang berhak menerima BBM bersubsidi yang telah teregister berdasarkan syarat dan ketentuan dari kajian pemerintah. Yang tidak mempunyai kartu tersebut otomatis beralih ke pembelian jenis Pertamax.

Syarat dan ketentuan tersebut secara sederhana ditafsirkan para keluarga miskin, atau masyarakat penerima bantuan iuran/sosial (PBI). Menjadikan pertanyaan, lantas berapa kuota penerima kartu MyPertamina, berapa persen dari total seluruh penduduk Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi. Disitulah terjadi hitung-hitungan ekonomi dan tukar tambah kebijakan secara politik.

Logika sederhana, bila total penerima BBM bersubsidi sebanyak seribu pos, setelah diklasifikasi yang berhak menerima BBM bersubsidi dari sistem My Pertamina sebanyak 30% atau 300 pos, maka pemerintah mempunyai pemasukan uang baru dari 700 pos pengguna BBM yang tidak masuk ke dalam kualifikasi MyPertamina dengan peralihan penggunaan dari Pertalite ke Pertamax.

Nah, sesederhana itu cara membacanya! Jadi, persoalannya ada pada jumlah kuota penerimaan BBM bersubsidi yang memenuhi kriteria penerima BBM subsidi versi pemerintah. Tidak menjadi persoalan bila angka penerima subsidi dari verifikasi MyPertamina lebih besar dari total pengguna BBM bersubsidi saat ini. Misal dari seribu pos penggunaan tersebut, sebanyak 70% yang teregistrasi MyPertamina, sisanya berarti benar-benar golongan mampu yang seharusnya sudah mampu dengan penerapan pencabutan BBM bersubsidi atau pengguna Pertamax.

Mengapa demikian, fakta di lapangan, terutama di daerah-daerah bahwa, definisi orang kaya dan miskin tidak terukur dengan jelas dan benar. Seringkali data di dalamnya hanya bersifat guna mencari popularitas dan mengamankan sebuah posisi kekuasaan.

Banyak kebijakan populis sering diambil oleh pemangku kepentingan dari pusat hingga daerah bahkan desa, guna pencitraan-pencitraan politik yang sifatnya mengamankan posisi. Tidak peduli apakah hal tersebut mendidik, mengedukasi, memakmurkan dan memanusiakan. Belum lagi bila ditarik pada hal budaya feodal sebagai orang/kelompok yang memberi dan menerima, membantu dan dibantu. Disitulah melahirkan kebijakan yang tidak konstruktif dan membangun, tetapi populis dan besuk akan terpilih kembali.

MyPertamina

Bila nanti benar akan diterbitkan kartu MyPertamina khusus untuk pengaturan BBM bersubsidi ini, kita akan menunggu langkah dari pemerintah dalam pendataan kriteria konsumen yang berhak membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis penugasan seperti RON 90 atau Pertalite, dan juga BBM subsidi seperti Solar subsidi. Seperti apa kriterianya?

Tentu hal tersebut akan debatable di kalangan akar rumput, akan menimbulkan dampak ketersinggungan dan kesenjangan, hingga narasi keadilan. Pun secara teknis di lapangan, dalam hal ini SPBU, diperlukan adaptasi yang tidak mudah secara teknis menyangkut sistem data base-nya. Alat-alat seperti kartu ATM, scanner, barcode, dlsb, perlu disiapkan matang.

Terlebih menyangkut si penerima bantuan BBM subsidi melalui kartu MyPertamina. Kita tidak merendahkan siapapun, jika dalam hal ini rata-rata pengguna MyPertamina adalah kalangan tidak mampu, bagaimana kemampuan mereka dalam adaptasi teknologi tersebut. Nah, itu juga masalah yang perlu direncanakan matang.

Kriteria MyPertamina

Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, Senin (6/6/2022), dikutip dari CNBC mengatakan bahwa, pihaknya berencana melarang mobil mewah untuk mengkonsumsi BBM Pertalite. Adapun kriteria mobil mewah yang dimaksud merujuk dari besarnya Cubicle Centimeter atau CC yang dimiliki mobil tersebut.

“Akan ditetapkan pada CC-nya. Kenapa? kami melihat konsumsinya, karena CC-nya besar maka akan mengkonsumsi BBM yang banyak dan mereka itu dirancang untuk tidak konsumsi Pertalite dengan spesifikasi mesin dan bahkan lama-lama akan merusak mesin juga,” ujarnya.

Timbul pertanyaan, kriteria CC yang dimaksud diangka berapa CC, karena jika menyangkut rekomendasi pabrikan mobil, mobil ber-CC 1200-1500 pun direkomendasikan menggunakan Pertamax, padahal mobil tersebut adalah mobil kelas rakyat. Seperti merk mobil T….A C….A contohnya.

Dalam hal ini, BPH Migas menggandeng pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk melakukan kajian terkait kriteria besarnya CC suatu mobil.

Pihak BPH Migas juga akan bekerja sama dengan pihak Kepolisian dalam hal pengawasan. Namun secara teknis, implementasi pelaksanaan penyaluran BBM bersubsidi secara tertutup dengan memanfaatkan infrastruktur digital.

Selain itu, kendaraan yang juga akan dilarang membeli Pertalite, seperti kendaraan dinas milik TNI, Polri serta kendaraan milik BUMN. Bila itu salah satu argumentasinya, sebelum nanti MyPertamina diterapkan, saat ini pun untuk mobil dinas sudah membeli Pertamax.

Harapan

Pemerintah selalu punya argumentasi bahwa, saat ini harga BBM di Indonesia tergolong paling murah di dunia. Harga BBM masih di bawah harga keekonomian. Pemerintah selalu dengan narasinya memberikan kompensasi kepada masyarakat yang kurang mampu, dengan parameter bahwa pengguna mobil mewah adalah kelas ekonomi menengah ke atas. Dari dasar tersebut, menjadikan keputusan bahwa memainkan harga BBM adalah potensi yang paling mudah, besar dan instant.

Namun, apakah faktanya demikian? Mobil dan mobil mewah, faktanya di Indonesia memang dijadikan pasar otomotif dunia. Aneka program mobil murah begitu banyaknya ragam pilihan ditawarkan kepada masyarakat, serta kemudahannya dalam memiliki kendaraan bermotor, bahkan diskon pajak setiap pembelian mobil baru. Akhirnya, budaya memiliki mobil bagi masyarakat bukan karena mampu dan tidak mampu, namun segala sesuatu tatanan sengaja diarahkan untuk memiliki dan menggunakan mobil. Tanpa mempunyai kendaraan bermotor, mengganggu usaha dan mobilitas kita.

Kemudian, bila narasinya BBM di Indonesia sangat murah dibandingkan negara-negara lain, yang seharusnya Indonesia sudah melakukan pencabutan subsidi BBM. Bila itu alasannya, kita tidak boleh lupa, berapa pendapatan per-Kapita masyarakat Indonesia, berapa UMR/UMK-nya (upah minimum regional kota/kabupaten).

Ditambah lagi saat ini, keuangan sebagian masyarakat harus dibagi-bagi untuk membayar iuran BPJS Mandiri non PBI, untuk biaya kuliah yang saat ini perguruan tinggi dengan sistem PTN BHMN (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara) yang konsekuensinya berbayar tinggi. Belum lagi harga listrik yang terus naik, persoalan minyak goreng yang tidak lagi langka namun ganti harga.

Terakhir, apa yang sebenarnya terjadi pada keuangan negara (APBN). Apakah APBN benar-benar kritis, atau membutuhkan banyak uang untuk menutup hutang, membangun proyek besar atau memang untuk memakmurkan dan memberikan keadilan yang nyata untuk rakyatnya.

Kita setuju BBM subsidi dicabut seratus persen, tetapi harus linier dengan pendapatan per-Kapita masyarakat.

Rakyat tidak muluk-muluk untuk memahami regulasi dan hal yang administratif, terlebih narasi Indonesia yang super hebat dengan seribu narasinya yang digaungkan oleh siapapun. Yang dibutuhkan adalah pemahaman para penyelenggara sebagai pemahaman realitas yang dihadapi rakyat sebagai praktik. Praktik atas fakta Indonesia yang subur dan makmur, bumi emas tanah airku. Jangan sampai tikus mati di lumbung padi.

Itu saja kebutuhan realitas material masyarakat sebagai hak hidup yang jelas tertera dalam amanat konstitusi, belum lagi pada tingkat pembangunan manusia Indonesia secara spiritual.

IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Ibu-Ibu dan Mahasiswa (Hari Kartini)
Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?
Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Aku Bersedih … Kugantungkan Harapan dan Cita-Cita Indonesia, Setinggi Candi Borobudur
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
Ibu Kota Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia (1)

Terkait

Terkini