N.H. Dini dan Sakae Tsuboi dalam Kenangan, Hubungan Murid dan Guru

Dalam Pertemuan Dua Hati, N.H. Dini bercerita tentang pengalaman seorang Ibu Guru baru (pindah dari Purwodadi) yang mengajar di sebuah SD Negeri di Semarang dalam menghadapi si ”anak sukar” Waskito.

15 Agustus 2022, 14:19 WIB

Nusantarapedia.net, Gerai | Resensi — N.H. Dini dan Sakae Tsuboi dalam Kenangan
Hubungan Murid dan Guru

Pertemuan Dua Hati

JAGAT sastra Indonesia kehilangan salah satu tokohnya, Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin alias N.H. Dini. Pada Selasa (4/12/2018) lalu, sastrawati ini meninggal dunia (dalam usia 82 tahun) setelah mengalami kecelakaan di Tol Tembalang Semarang. Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini menorehkan jejak karya untuk sastra Indonesia, di antaranya Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Sekayu, Sebuah Lorong di Kotaku, Kemayoran, La Barka, Jepun Negerinya Hiroko, Tirai Menurun, Kuncup Berseri, Hati yang Damai, dan Gunung Ungaran Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya.

Catatan kecil ini merupakan kenangan saya terhadap salah satu karya N.H. Dini, novel Pertemuan Dua Hati (Gramedia, cetakan I, 1986 dan cetakan II, 1991) yang saya bandingkan dengan novel Dua Belas Pasang Mata karya novelis Jepang (Panca Simpati & Kari Sarana, 1989, dicetak ulang oleh Gramedia pada 2013 dan 2016). Kedua novelis ini sama-sama menjadikan sosok guru sebagai pusat cerita. Pada 1990-an ketika saya masih menempuh studi sastra Indonesia di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Padjadjaran, karya wanita novelis ini menjadi pilihan studi banding untuk penelitian sastra modern.

Meskipun kedua novel itu tidak bisa dikatakan baru, para orang tua dan guru tetap bisa belajar banyak dari novel itu lewat tokoh-tokoh Ibu Suci dan Ibu Koishi, yang menjalin hubungan baik dengan para murid tidak hanya sebatas proses belajar-mengajar di dalam kelas dan tembok sekolah. Hubungan guru-murid bagaimanapun juga haruslah bersumber pada hubungan antarmanusia yang merupakan ”pertemuan hati” atau ”pertemuan mata” (dalam hal ini, mata sebagai ”jendela hati”). Betapa besar peranan Ibu Suci bagi Waskito atau seberapa dalam Ibu Koishi ”melekat” di hati para muridnya, bisa dilihat dari kedua novel yang ditulis oleh dua wanita pengarang ini.

Dalam Pertemuan Dua Hati, N.H. Dini bercerita tentang pengalaman seorang Ibu Guru baru (pindah dari Purwodadi) yang mengajar di sebuah SD Negeri di Semarang dalam menghadapi si ”anak sukar” Waskito. Perjuangan Ibu Guru Suci cukup berat: mempertahankan Waskito—yang suka memukul dan suka berkelahi—untuk tidak dikeluarkan dari sekolah itu saja sudah berarti menentang arus, melawan kehendak sebagian besar rekan guru; belum lagi perjuangannya untuk ”memperbaiki” murid itu. Sementara itu sebagai seorang ibu, Ibu Suci pun tidak luput dari masalahnya sendiri, yakni mengurus salah seorang anaknya yang sakit-sakitan.

Melalui nenek Waskito yang lemah lembut dan penuh perhatian pada cucunya, Ibu Suci tahu bahwa Waskito yang kakeknya dokter dan bapaknya insinyur itu ternyata ”hanya” mendapat limpahan materi. Tampaknya, materi tanpa sentuhan afeksi tidaklah cukup. Anak tetap butuh perhatian misalnya dalam bentuk diajak bicara, dipahami, diterima, disanjung, dihargai, dan bahkan dimarahi ataupun dihukum. Oleh sebab itu, terbuktilah ketika ”hak” Waskito untuk mendapat perhatian mulai terpenuhi —lewat seorang Ibu De (uwak perempuan) yang bijaksana yang kemudian mengasuhnya, lewat nenek yang lemah lembut, lewat Ibu Suci yang penuh pengertian dan kasih serta lewat teman-teman di kelas yang bersedia menerimanya — ”protes” Waskito pun tidak berlanjut dan predikat ”anak sukar” sedikit demi sedikit bisa dihilangkan.

Dalam cerita yang menyentuh ini, N.H. Dini pun tidak hanya melihat perlakuan tidak adil pada anak, tetapi juga melihat perlakuan tidak adil pada nenek Waskito—yang barangkali saja mewakili sebagian besar wanita di negeri ini—yang tercermin dalam ucapan nenek tersebut, ”…Maklumlah, kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-istri tidak punya anak, katanya istri yang gabuk (pen., mandul), steril. Kalau terus-menerus keguguran, katanya kandungannya yang lemah. Sekarang sudah banyak bacaan medikal, saya baru tahu bahwa hal itu bisa saja disebabkan bibit dari laki-laki yang steril atau yang lemah… ” (hlm.40).

N.H. Dini juga melihat perlakuan tidak adil yang dialami oleh para guru Sekolah Dasar—dan mungkin para guru pada jenjang pendidikan lain—yang diungkapkan pada bagian pamungkas novelnya. ”Kami guru-guru Sekolah Dasar terlalu biasa menerima kata-kata sesalan atau cacian jika murid tidak naik kelas. Sebaliknya, jika anak didik naik, itu dianggap hal yang semestinya sehingga orang tua atau wali tidak merasa berkepentingan mengunjungi kami untuk sekadar menyalami. Apalagi membawakan rasa terima kasih mereka! ” (hlm. 85).

Dua Belas Pasang Mata

Novel Dua Belas Pasang Mata (semula diterbitkan oleh Panca Simpati dan Kari Sarana, Jakarta cetakan I, 1989, cetakan II, 2013, dan 2016, lalu diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2013) karya Sakai Tsuboi ini berkisah tentang Ibu Guru Koishi yang kecil mungil dan suka tertawa, yang mengajar di sebuah SD ”filial” yang terletak di sebuah Tanjung di Jepang. Ibu Guru modern — yang selalu ke sekolah dengan naik sepeda dan mengenakan pakaian ala Barat—serta berhati lembut, menyenangkan, suka tertawa dan mudah menangis ini segera saja merebut hati para muridnya yang berjumlah dua belas orang.

Sakae Tsuboi lahir di Pulau Shōdo (dekat Laut Seto), Distrik Shōzu, Prefektur Kagawa, Jepan, pada 5 Agustus 1899 dan meninggal pada 23 Juni 1967. Selain dikenal sebagai pengarang novel, dia juga dikenal sebagai dan penyair terkemuka Jepang.

Ia baru bekerja beberapa bulan ketika pada suatu hari kakinya cedera (pada saat ia sedang berada di pantai bersama para muridnya) sehingga ia harus istirahat panjang di rumah. Karena pertimbangan kaki yang cedera ini pula, Kepala Sekolah memindahkan Ibu Koishi ke sekolah induk yang lebih dekat dengan rumah. Empat tahun kemudian, ketika anak-anak yang dahulu masih duduk di kelas satu melanjutkan ke kelas lima di sekolah induk, mereka bertemu kembali dengan Ibu Koishi. Tampaknya hubungan batin antara Bu Guru dan murid-murid yang telah terjalin sejak anak¬anak itu duduk di kelas satu berlangsung terus sampai mereka meninggalkan sekolah dan kemudian ada yang menjadi guru, ada yang menjadi tukang pijat yang buta, ada yang menjadi bidan, dan ada pula yang terperosok ke tempat yang mungkin dianggap tidak terhormat. Oleh karena itu, berbahagia dan terharulah Ibu Koishi yang pada saat kakinya cedera mendapat kunjungan murid-murid kecilnya yang telah rela berjalan kaki beberapa mil tanpa sepengetahuan orang tua mereka (Dan anak-anak itu pun selamanya ingat pada mi yang dihidangkan Bu Guru). Dan berbinar-binar pula mata Bu Guru yang rambutnya telah putih dan telah mempunyai tiga anak ketika para bekas muridnya menyelenggarakan pesta reuni dengannya.

Buku yang pertama kali terbit pada 1952 dan ditulis oleh seorang pegawai kantor pos ini telah difilmkan dan film itu pun pernah diputar di Indonesia pada 1960-an. Dalam cerita ini, Tsuboi tidak hanya dengan lembut mengungkapkan jalinan emosi antara guru dan murid, pemahaman guru yang mendalam pada sifat, bakat, kehendak serta kekurangan setiap murid, namun ia juga mengungkapkan secara tajam penyesalannya pada perang yang terjadi terus-menerus. Perang telah menyengsarakan banyak sekali orang. Perang telah membuat anak-anak seperti Nita, Takeichi, dan Tadashi tiga orang murid lelaki yang sangat dicintainya—terpaksa harus mati muda dan barangkali, menurut pendapat Ibu Guru, mati sia-sia.

Tsuboi bukanlah seorang guru. Dini juga bukan. Mereka hidup di negeri yang berlainan dan menulis pada kurun zaman yang berbeda. Akan tetapi, hubungan ”ideal” guru-murid yang mereka lukiskan senada. Tampaknya memang relasi semacam itulah yang selalu diharapkan baik oleh guru, murid maupun orang-tua.

(Edi Warsidi, pernah menjadi pemenang lomba menulis buku pelajaran jenjang SD bidang studi Bahasa Indonesia, yang diselenggarakan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk, Kemdikbud, 2008).

Polimer, Senyawa yang Luas Penggunaannya
Tom Clancy, Pengarang Thriller Teknologi Legendaris
Menyoal Penulisan Buku Teks Pelajaran
Bahasa Indonesia dalam Buku Kumpulan Soal
Editor, sang Pengawal Mutu Buku

Terkait

Terkini