Nalar Jawa: Keseimbangan Antara Keterbukaan Pikiran dan Keterbukaan Batin

4 September 2024, 08:23 WIB

Nusantarapedia.net | HUMANIORA — Nalar Jawa: Keseimbangan Antara Keterbukaan Pikiran dan Keterbukaan Batin

Oleh : Alvian Fachrurrozi

HIDUP bagiku adalah tentang serumpun kisah-kisah dan titik-titik dualistis, ada kepingan tangis-tawa, coretan duka-bahagia, percikan sunyi-ramai, arsip benci-cinta, lukisan murung-ceria, potret kemarahan-kesabaran, pantulan kebodohan-kecerdasan, penampakan kehinaan-kemuliaan, gambaran tertindasan-kemerdekaan, cerita ketertundukan-perlawanan, deretan skandal-spiritual, halaman kecabulan-ketuhanan, pandangan gelap-terang, selayar bengis-kasih, aroma dendam-pemaafan, sewujud keserakahan-ketidakmelekatan, fenomena material-misteri, eksistensi jasmani-batin, bentangan vulgar-abstrak, sewatak kemunafikan-ketelanjangan, sewajah manipulatif-kepolosan, sekanvas kebajigan-kesalehan, sedenyutan nafsu-ilmu, sefragmen hewani-ilahi, sebahasa ketertutupan-ketersingkapan.

Dalam cakrawala dualistis yang kupahami seperti itulah aku menghayati tentang hidup, kehidupan, dan bahkan Sang Hidup. Sebagai orang Jawa aku mengetahui jika leluhurku di masa silam telah mengajarkan untuk melampaui labirin dualitas itu dengan cara merengkuh dualitas itu sendiri, itulah yang membedakannya dengan ajaran dari peradaban seberang, itulah ajaran khas para leluhur Jawa.

Merengkuh dualitas juga tidak berpengertian tidak memiliki prinsip moralitas universal, akan tetapi merengkuh dualitas itu berpengertian bagaimana untuk memiliki state of mind yang tenang seimbang dengan menanamkan sikap sak madya alias moderatisme dalam segala hal sebagai way of life atau pepadhanging urip yang berarti penerang kehidupan. Prinsip dan sikap hidup sak madya itulah DNA spiritual manusia Jawa yang menjadi ciri khas dan yang banyak membedakannya dengan manusia-manusia yang dari luar lingkup tradisi budaya Jawa. Orang Jawa itu sebenarnya tidak memiliki DNA yang radikal dan fanatik buta pada nilai-nilai tertentu, jadi jika ada orang Jawa yang di kemudian hari menjadi fanatik dan radikal pada nilai-nilai religi tertentu, maka otomatis mereka telah tercerabut dari DNA spiritual kejawaannya.

Di abad ke-19 Mangkunegara IV telah mengemas kritiknya yang sangat apik dan tajam kepada manusia-manusia Jawa yang keblinger menjadi radikal seperti itu melalui sebuah serat yang bernama Wedhatama.

Jawa nggone semu, Jawa adalah tempatnya segala misteri dan keabu-abuan, dalam konteks di luar tradisi Jawa pesisir karakter kolektif atau jika meminjam istilah psikoanalisa dari Carl Jung “arus bawah sadar kolektif” seperti itu memang benar adanya meresapi pedalaman karakter manusia Jawa mainstream hingga saat ini. Orang Jawa itu memanggul salib paradoksal dan dialektik akan kutub-kutub dualitas dalam alam pikirannya. Tanpa memahami sisi paradoks dan sisi misteriusnya manusia Jawa, siapa pun tak akan pernah bisa menjangkau alam pikiran manusia Jawa. Jangankan manusia di luar lingkup tradisi budaya Jawa, aku sendiri pun yang lahir dari rahim Jawa Totok juga sempat kelimpungan dalam memahami dan menjangkau alam pikir manusia-manusia Jawa masa silam yang sekarang kusebut leluhur itu.

Bisa memahami alam pikiran manusia Jawa itupun sesungguhnya baru satu lapisan pemahaman, sama sekali belum menjangkau untuk memahami “sisi alam rasa” manusia Jawa dan apalagi “sisi mistik” spiritualnya manusia Jawa. Tetapi terlepas dari dunia kejawaan yang abstrak dan penuh lapis-lapis misteri itu, setidaknya aku bisa mengambil satu poin pelajaran penting dari dunia kejawaan, yaitu persis apa yang dikatakan oleh filsuf Jerman Martin Heidegger: Offenheit für das Geheimnis, alias “keterbukaan pada misteri”.

Ya, keterbukaan pada segala misteri dalam hidup, segala misteri dalam pengalaman hidup, dan bahkan segala misteri dalam pengalaman batin itulah esensi dari nilai-nilai kejawaan yang kupahami dan kuhayati. Menghayati hidup dalam alur kejawaan itu tidak hanya mengarahkan seorang anak manusia untuk sebatas open mind (keterbukaan pikiran) saja, tetapi juga penting untuk open heart (keterbukaan batin), orang yang hanya terbuka dalam ranah pemikiran saja tetapi belum terbuka pada ranah batin, pengalaman batin, dan segenap misteri-misteri dalam hidup, sesungguhnya belumlah absah untuk mendaku manusia Jawa.

Terkait

Terkini