Nestapa Kehilangan
Pada akhirnya, aku harus mengikhlaskan kepergianmu.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sastra, Cerpen-fiksi — Nestapa Kehilangan
Kutatap jernihnya aliran sungai Aare yang terletak di kota Bern, Swiss. Air yang mengalir sebening kristal, membuat siapa yang melihatnya pasti ingin berenang di dalamnya.
Aku menatap sungai ini dengan berbagai perasaan yang berkecamuk.
Bagaimana tidak? Sungai ini yang telah menghanyutkan tubuh putra sulungku, Emmeril Kahn Mumtadz, beberapa hari yang lalu. Tak ada yang menyangka, dia akan menjemput takdirnya di sungai sini. Secara, dia pandai berenang, selain itu, dia juga sudah mengantongi sertifikat diving. Berarti kemampuan berenangnya sudah tidak diragukan lagi.
Banyak yang berspekulasi, Eril mengalami hipotermia karena suhu yang cukup dingin di sungai Aare, sehingga dia tidak bisa menyelamatkan diri.
Ah, takdir memang selalu berselubung misteri. Tak ada yang bisa menebaknya.
“Mamah nggak usah ikut berenang karena arusnya lumayan deras. Selain itu airnya juga dingin, Mah!”
Masih teringat larangan Eril padaku, saat aku ingin ikut berenang. Aku pun menuruti kata-katanya dan menunggui mereka dari sisi sungai. Sampai tiba-tiba arus deras datang.
Hari yang seharusnya kita berbahagia dan bersenang-senang, nyatanya harus berakhir dengan duka dan air mata. Namun, kami bisa apa, saat Tuhan telah berkehendak.
Bukankah titik tertinggi dari sebuah cinta adalah mengiklaskan? Begitu pun dengan rasa cinta seorang ibu terhadap anaknya. Aku harus mengiklaskan kepergiannya, walau hati menangis perih dan rasa tak rela melepaskan. Ada luka tak berdarah yang aku rasakan. Meski tak terlihat, namun sakitnya teramat parah. Entah sampai kapan bisa sembuh.
“Pah, mama iklas atas kepergian Eril. Kita, kembali ke Indonesia. Di sana banyak tugas negara yang sudah menunggu.”
“Iya, Ma, tentu kita segera pulang ke Indonesia.”
Lelaki yang sudah dua puluh lima tahun mendampingiku itu, membawaku ke dalam pelukannya. Kurasakan tangan kokohnya mengusap puncak kepalaku. Ada tangis yang tertahan, seolah stok air mata ini telah habis.
Semakin kubenamkan kepalaku ke dadanya, terasa semakin bertambah kekuatan diri ini menghadapi semuanya. Bersyukurnya aku, Allah kirimkan lelaki tangguh di sisiku, yang selalu ada untuk aku dalam suka dan duka.
Keputusan pulang ke Indonesia tentunya menjadi sebuah hal sulit. Apalagi, belum diketemukannya jasad putra sulungku. Namun, untuk tetap tinggal di Swiss juga tidak mungkin.
Otoritas setempat pun telah mengganti status pencarian orang hilang dengan pencarian jasad orang yang tenggelam. Berhari-hari kami memantau di lokasi pencarian dengan penuh pengharapan. Meski hasilnya nihil, kami pulang dengan tangan hampa.
Di Indonesia pun, MUI pun sudah mengeluarkan fatwa tata cara mensalati jenazah yang belum diketemukan. Mereka sudah mengadakan salat ghaib untuk jenazah putraku, Emmeril Kahn Mumtadz.
Masih teringat jelas dalam pikiran, beberapa hari yang lalu kami tiba di Swiss dengan penuh suka cita. Tujuan utamanya adalah mencarikan sekolah untuk Eril yang akan melanjutkan S2_nya.
Kami semua ke sana untuk mengantarkannya melanjutkan pendidikan. Sedangkan papahnya mengunjungi negara lain dalam rangka melaksanakan tugas negara. Namun, ternyata kami mengantarkan Eril menjemput takdir dari_Nya.
Tak pernah terbersit dalam pikiranku, itu akan menjadi kebersamaan terakhir dengan putra sulungku. Waktu dua puluh tiga tahun terasa begitu singkat. Namun, aku bersyukur telah memiliki dan bisa membersamai Eril, hingga waktu terakhirnya di dunia.
Masih teringat saat pertama kali papanya mengumandangkan azan di telinga, pas hari pertama dia melihat dunia. Dan saat ini, papanya mengumandangkan azan untuk melepas kepergiannya di tepi Sungai Aare.
“Help!“
Itulah kata-kata yang sempat terucap dari bibir Eril saat derasnya arus sungai Aare menyeret tubuhnya.
Kullu nafsin dzaiqotul mauut.
Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kapan waktu dan bagaimana cara kita menghadapinya, tidak akan pernah ada yang tahu. Semua itu merupakan takdir dari Allah yang tak bisa kita hindari.
Sebagai umat muslim kita wajib percaya atas Qada’ dan Qadar dari Allah. Termasuk kejadian yang baru saja aku alami. Semua terjadi atas kehendak_Nya. Jadi, sudah sepatutnya aku pasrahkan semuanya pada Allah yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Tidak ada kehilangan yang tidak menyakitkan bukan? Dan rasa sakit paling sakit dari kehilangan itu sendiri adalah kehilangan seorang anak, buah hati kita. Karena sejatinya, anak yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan kita kelak. Kita berharap juga dia yang mendoakan, saat raga ini telah berkalang tanah. Namun, ternyata dia harus pergi mendahului kita. Sungguh, kesakitan yang luar biasa.
Jika sampai saat ini aku masih bisa bertahan, aku yakin hanya kekuatan dari Allah yang membuatku sanggup menjalani semua ini.
Pada akhirnya, aku harus mengikhlaskan kepergianmu.
“Selamat tinggal Emmeril, sekarang kita berada di dimensi yang berbeda, Nak. Semoga kau selalu dalam penjagaan Allah. Dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Dan semoga kelak kita kembali dipertemukan di Surga_Nya.”
Aamiin yaa Allah
Magelang, 9 Juni 2022 | Mundy Sae
Kalau Boleh Memilih
Betty dan Cokky
Jangan Menyerah
Resep Oseng Labu Siam Spesial
Catatan Hati Seorang Ustazah
Lelaki Tangguh
Harga Sebuah Kejujuran
Aku Bersedih … Kugantungkan Harapan dan Cita-Cita Indonesia, Setinggi Candi Borobudur
Obyek Itu Bernama Perempuan
Tinjauan Kritis Beban Perempuan dengan Anak Penyandang Disabilitas