Nglungguhke Ratu (Raja Jawa), Disangga Daya ‘Mancapat Kalima Pancer’

15 September 2024, 12:10 WIB

Nusantarapedia.net | SOSBUD — Nglungguhke Ratu (Raja Jawa), Disangga Daya ‘Mancapat Kalima Pancer’

Oleh : B Ari Koeswanto ASM

“Ya, sang ‘Raja Jawa’ memang masih dinaungi kekuatan (kesinungan/dingu sing mbaureksa), termasuk kekuatan dari Kanjeng Ratu Kidul ini yang berada di selatan, belum kekuatan di utara, timur dan barat yang mendudukkan kekokohan sang raja (nglungguhke ratu tanah Jawa), karena masih belum jatuh tempo perjanjian. Alangkah digdayanya sang raja, keinginannya tak mampu dicegah”

– akan kemana perginya daya kekuatan itu (oncate wahyu keprabon), tak lain akan jatuh (pulung) kepada tuannya yang baru. Di situlah semuanya sudah tercerabut. Namun begitu, sekalipun sudah tercerabut, karena kepemimpinannya yang memenuhi aspek arif, bijaksana dan adil, maka sang raja akan lengser keprabon dari dampar kencana dengan mulus (smooth). Tentu buah dari tak banyak tumbal, tak ada warisan kekacauan hingga kesengsaraan. Ini berlaku bagi “Raja Jawa” selanjutnya. Siapa pun rajanya –

– Satu hal telah ditampakkan dengan hadirnya ageman Songkok Senapaten dan joget Rungkat, yakni telah dicabutnya kekuatan dari selatan. Lantas akan seperti apa oncatnya wahyu keprabon di utara, timur dan barat, dengan akhir kalima pancer. Semoga tidak terjadi apa-apa. Doa ikhlas untuk “Raja Jawa”, rakyat tetap menghormati dan mengenangmu sebagai pemimpin-pemimpin kami, atas segala usaha-usaha kebaikan. Wallauhalam, purba wasesa Gusti kang akarya jagat –

NAMANYA juga abad konten kreator, di tengah riuhnya kondisi sosial politik Tanah Air jelang lengser keprabon dan jumenengnya “Raja Baru” Nusantara, terselip potongan kehidupan yang kadang irasional, jauh dari realitas. Tetiba nongol di beranda android saya, salah satu media mainstream menulis tentang “Nyi Blorong”. Ya, biasa saja, namanya juga mainstream, punya banyak sumber daya, biar menarik. Mungkin juga penulisnya habis mendapat wangsit dari pantai selatan (laut kidul).

Tetapi, kok, sepertinya ada kaitannya dengan “Raja Jawa” ya? Coba kita otak-atik gathuk sekelebat. Yang jelas, Nyi Blorong akan terus mewarnai dunia religi mistik Jawa, yang mana “orang Jawa” demen dengan spiritualitas mistik melalui fenomena supranatural.

Tapi tunggu dulu, bahwa Nyi Blorong, Nyi Rara Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul adalah sosok yang berbeda. Dan ketiganya ini tidak hanya sekedar mitologi, yang bagi sebagian orang itu dianggap klenik atau cerita rekaan belaka, sebagai sosok/tokoh fiktif untuk tujuan tertentu, misal; legitimasi kekuasaan.

Sekarang kita fokuskan pada sosok utamanya, yakni Kanjeng Ratu Kidul. Bahwa, katanya, sosok ini adalah rekaan Panembahan Senapati, yang mana sebelumnya kerajaan-kerajaan di Jawa berbasis di pesisir (laut) utara. Berhubung klakah Mataram berada di selatan, yang juga berbasis laut selatan, maka dibuatlah cerita untuk ditanamkan menjadi ingatan masyarakat guna melegitimasi (kekuasaan) kebesaran Mataram untuk mengimbangi, bahkan melupakan ingatan bayang-bayang kerajaan sebelumnya (Majapahit) yang besar.

Di mana Panembahan Senapati akhirnya telah berhasil meluluhkan hati sang Ratu Kidul dengan kekuatannya telah membuat laut kidul berguncang bergemuruh, hingga kemudian, sang Ratu Kidul takluk jatuh hati, lantas dijadikan istri untuk (tujuan) turut menyangga kekuatan spiritual-supranatural sang raja dalam kepemimpinannya. Bermula dari situ, hingga raja-raja (Mataram) berikutnya “wajib” memperistri sang Ratu Kidul atas perjanjian gaib sebagai tukar tambah agar “kursinya tidak mudah goyang”.

Bila diilmiahkan peristiwa tersebut berlatar waktu tahun 1580-1600 an. Di bagian lain, dalam kajian ilmiah saat ini, peristiwa laut berguncang tersebut adalah kejadian tsunami/megathrust pesisir selatan Jawa, dari analisis geo-mitologi.

Pertanyaannya, apakah itu benar rekaan sang Panembahan Senapati, awal adanya sosok Kanjeng Ratu Kidul, ataukah benar-benar ada berangkat dari perjalanan spiritual sang Senapati, karena bila ditelusur, bahwa Kanjeng Ratu Kidul telah ada sebelumnya, berlatar dari kerajaan gaib di Galuh-Sunda, yang mana garis waktunya terjadi pada abad 7-8 Masehi, sebelum kemudian bertemu dengan sang Senapati.

Muncul lagi teori, seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam “Sastra, Sensor, dan Negara” (1995) menyebut, Nyi Roro Kidul diciptakan oleh pujangga Mataram usai kalah mempertahankan tanah pantai utara Jawa. Agar Mataram terlihat kuat untuk menakut-nakuti Belanda supaya tidak menguasai pantai selatan Jawa, maka diciptakan cerita Nyi Roro Kidul. Peristiwa ini bila di angka tahunkan terjadi pada masa Mataram Amangkurat Pleret-Kartasura (1645-1746), karena semasa Mataram Sultan Agung, Belanda belum berhasil menguasai Jawa pedalaman.

Muncul spekulasi lagi, bahwa cerita Kanjeng Ratu Kidul justru diciptakan oleh Belanda sendiri, atas dasar tujuan kontrol kekuasaan (menguasai) daerah pesisiran, baik pesisir utara maupun selatan. Bila di laut utara dihadirkan sosok Dewi Lanjar, sedangkan di selatan ada Kanjeng Ratu Kidul. Tujuannya, agar masyarakat takut — mengkultuskan keberadaannya, padahal hanya siasat agar memunggungi laut, menjauhkan dari budaya kebaharian, seperti: tidak dibiasakan makan ikan agar menjadi bodoh, karena bangsa Jawa sebelumnya (era Mataram kuno) sangat cerdas, dikarenakan memakan sagu yang kemudian berubah menjadi nasi (jelai) sebagai lauknya, sedangkan nasinya adalah ikan, baik ikan laut maupun tawar (sungai); sebelumnya juga lekat dengan tradisi kemaritiman yang gemar mengarungi samudera. Dengan begitu, Jawa akan mudah dikuasai dari aspek darat maupun laut.

Nah, sementara cukuplah itu menjadi dialektik dan diskursus terlebih dahulu, apakah keberadaan Kanjeng Ratu Kidul itu sekedar sosok rekaan, atau memang benar-benar sebagai sosok gaib. Ini tak perlu diperdebatkan, silahkan eksistensinya diyakini berdasarkan alam pikiran masing-masing melalui pikiran yang mistis, ontologis, maupun fungsional.

Terkait

Terkini