Obyek Itu Bernama Perempuan

Kajian gender selalu menarik, karena 'penindasan' psikologis terhadap perempuan tak akan pernah usai. Saya Erisandi, ibu dari seorang putra penyintas cerebral palsy (CP)

16 Mei 2022, 22:10 WIB

Nusantarapedia.net — Obyek Itu Bernama Perempuan

Oleh : Erisandi
Ibu dari anak berkebutuhan khusus, tinggal di Klaten Jawa Tengah

“Menjalani pengobatan rutin di rumah sakit mungkin buat orang lain sesuatu yang berat di awal kemudian menjadi biasa dan lazim. Tidak bagi kami, setiap dua kali per pekan, kami harus berunding keras tentang dana dan transport.”

Membaca tulisan aktivis dan relawan anak berkebutuhan khusus (ABK) Cerebral Palsy Klaten Jawa Tengah, Mbak Ika Nidaul Haq tentang Beban Ganda Orang Tua Anak Disabilitas, seolah membuat saya seperti melihat cermin. itu, kok, saya banget, ya?

Kajian gender selalu menarik, karena ‘penindasan’ psikologis terhadap perempuan tak akan pernah usai. Saya Erisandi, ibu dari seorang putra penyintas cerebral palsy (CP). Jangan ditanya bagaimana perjuangan saya dan suami hingga detik ini. Lahirnya Ismail, putra CP-ku adalah awal perjuangan kami, titik balik saat kami sadar siapa sesungguhnya orang tulus dan orang modus.

Menjalani pengobatan rutin di rumah sakit mungkin buat orang lain sesuatu yang berat di awal kemudian menjadi biasa dan lazim. Tidak bagi kami, setiap dua kali per pekan, kami harus berunding keras tentang dana dan transport.

Bagaimana tidak, kendaraan satu-satunya dipakai suami. Ketika jadwal kontrol tiba, aku di antar ke RS. Tak langsung pulang, menunggu di rumah saudara yang rumahnya tak jauh dari RS, hingga suami menjemput sepulang kerja.

Lelah dan perasaan tidak enak menghantui. Kadang-kadang cibiran harus kami telan juga. Begitu seterusnya hingga bertahun-tahun. semakin lama semakin berat, terlebih saat suami tak lagi bekerja karena sesuatu hal menimpa.

Ingin sekali menuangkan ilmu dan idealisme dalam bentuk jasa agar terbayar alias bekerja membantu suami, tetapi bagaimana dengan anak CP-ku. Ia tak bisa beraktivitas tanpa bantuan orang lain. Sempat terapi Ismail terhenti. Keluarga hanya menambah beban psikis saya dengan selalu menekan saya untuk terus mengantar Ismail terapi, sedangkan biayanya tidak sedikit.

Tulisan ini tak sekadar mencurahkan isi hati, tetapi sekaligus belajar bahwa perempuan tak hanya identik dengan double burden, tetapi juga triple bahkan berlipat-lipat beban.

Bahkan lagi, jika saya boleh beranalisis, perempuan hanyalah obyek, sekalipun oleh mereka yang getol mengkaji kami tentang perempuan tanpa lelah ini. Di meja-meja diskusi berjajar banyak kudapan enak, setelahnya mereka bekerja atas nama relawan, membuat hitung-hitungan fiktif tentang harga kami. Mereka sibuk (yang katanya) mengkalkulasi kebutuhan kami juga anak disabilitas kami. Setelahnya, menguap begitu saja tanpa jejak.

Mereka yang pandai menguntai kata tentang mirisnya perempuan yang selalu menjadi obyek kekerasan, tak pelak juga menjadikan kami obyek menjanjikan tentang sebuah bacaan di ruang publik. Hanya itu saja. Sebuah tulisan yang tak berdampak bagi sebuah kebijakan untuk kami.

Saya ibu anak disabilitas, tak perlu terlalu rumit berpikir orang-orang pandai yang berbusa-busa membicarakan tentang perempuan. Di sini saja, di sudut-sudut kampung ini, dari pagi ke pagi, membicarakan tak becusnya seorang ibu melahirkan anak yang normal. Mencibir setiap upayanya menyembunyikan keriuhan hati yang degupnya semakin tak ada kendali.

Dan, mereka pun perempuan yang juga menjadi obyek kajian orang-orang pintar tentang beban jam kerjanya yang berlipat di dunia industri. Mereka budak kapitalis yang rela meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan kerasnya jalanan.
Ah, perempuan. Bagaimanapun deritanya, terlanjur jalanan memberinya brand tangguh. Tak peduli seberapa luka yang berhasil mereka obati sendiri. Ada juga luka yang dibiarkan menganga hingga mengering sendiri.

Tinjauan Kritis Beban Perempuan dengan Anak Penyandang Disabilitas
Perempuan, Sosok Penanggung Hutang
Perempuan dan Kerentanan Gangguan Mental
Obyektifikasi Perempuan dalam Heroisitas Aksi 11 April
Disabilitas, Jangan Eksploitasi (lagi)!   (Refleksi Wheel Chair Day)
Perempuan dan Teknologi
Hari Kartini, Momentum Literasi Perempuan
Perempuan, Sastra dan Euforianya
Perempuan dalam Interaksi Sosial (Maraknya Budaya Seks Bebas di Era Globalisasi)
Bella Esmeralda, Nama Bayi Perempuan Cristiano Ronaldo dan Georgina Rodriguez
Ibu-Ibu dan Mahasiswa (Hari Kartini)

Terkait

Terkini