Obyektifikasi Perempuan dalam Heroisitas Aksi 11 April
“…that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”.
Nusantarapedia.net — Obyektifikasi Perempuan dalam Heroisitas Aksi 11 April
11 April 2022, gelombang pergerakan mahasiswa digelar. Banyak tuntutan dilayangkan kepada pemangku kepentingan. Spirit demokrasi dimanifestasikan dalam gerakan aksi mahasiswa menanggapi kondisi sosial politik yang sedang mengalami eskalasi hebat. Kelangkaan minyak goreng, isu IKN, wacana 3 pereode hingga kenaikan harga BBM.
Konsolidasi gerakan mahasiswa dimulai sejak akhir Maret 2022. Dengan menyatukan mahasiswa secara cepat, akhirnya BEM SI dan BEM Nusantara bersatu membentuk Aliansi Mahasiswa Indonesia.
Spirit dan heroisme aksi 11 April telah menunjukkan masih warasnya sebuah bangsa. Semangat menyelamatkan demokrasi masih terjaga secara murni dalam dada para mahasiswa. Idealisme para agent of change mengantarkan mereka ke depan pemangku kepentingan dengan mengusung banyaknya kepentingan rakyat.
Kendati dalam beberapa ruang, masih saja perjuangan mahasiswa dalam penegakan demokrasi mendapat stigma bahkan hujatan, namun tak menyurutkan mereka dalam merancang pergerakan selanjutnya.
Di tengah hedonisme pemuda, pergerakan mahasiswa menjadi moment emas yang akan menjadi bagian dari sejarah penegakan demokrasi dan hukum di Indonesia.
Seperti halnya keruntuhan orba oleh mahasiswa, gerakan 11 April juga akan berdampak meluasnya spirit gerakan-gerakan politik yang lain. Terbukti pada banyak daerah tertentu, entah elemen mahasiswa atau organisasi masyarakat mulai menghimpun kekuatan demi mengelar aksi serupa untuk menyuarakan aspirasi yang sama.
“Poster ‘Bercinta 3 Ronde’ dilihat dari dua views. Pertama, esensi dan hubungannya dengan aksi yang digelar. Kedua, kajian gender tentang mitos ketabuan dan obyektifikasi perempuan. Kajian yang pertama bahwa pergerakan mahasiswa adalah pergerakan politik yang menuntut pemikiran kritis dan penuh pertimbangan terhadap segala resiko-resiko.”
Kericuhan terjadi ketika aksi ditunggangi oknum tertentu demi kepentingan tertentu pula. Pengeroyokan terhadap seorang oknum dosen terjadi, akibatnya public hanya focus pada tindakan kesewenang-wenangan tersebut.
Pencapaian aksi oleh mahasiswa menjadi terlihat bias. Media begitu mengelu-elukan peristiwa penganiayaan sang dosen. Publik sempat teralihkan pada hal yang sebenarnya tak esensial. Bagaimana masyarakat Indonesia mengawal aksi mahasiswa ini merupakan hal yang sangat krusial dan penting.
Perhatian tak hanya teralihkan oleh peristiwa penganiayaan Ade Armando (AA), buzzer pemerintah yang tetiba merangsek masuk dalam barisan demonstrasi mahasiswa. Track record nya yang selama ini membuat gemas dan muak masyarakat karena ia hobi mendiskreditkan agama tertentu, menjadi pemantik keriuhan. Berawal dari adu mulut AA dengan seorang ibu yang mengikuti aksi, berakhir pemukulan bertubi pada tubuh AA.
Publik juga menyoroti beberapa mahasiswi peserta aksi yang membawa poster bertuliskan kata-kata yang tidak pantas dibawakan oleh seorang pelaku aksi politik. Konten tersebut sontak viral di media sosial. Berbagai kecaman dilontarkan netizen berkaitan dengan esensi kata-katanya yang seronok dan tak pantas disampaikan oleh seorang intelektual muda, terlebih mahasiswi atau perempuan.
Poster ‘Bercinta 3 Ronde’ dilihat dari dua views. Pertama, esensi dan hubungannya dengan aksi yang digelar. Kedua, kajian gender tentang mitos ketabuan dan obyektifikasi perempuan. Kajian yang pertama bahwa pergerakan mahasiswa adalah pergerakan politik yang menuntut pemikiran kritis dan penuh pertimbangan terhadap segala resiko-resiko.
Ia membawa kepentingan rakyat dalam menyuarakan banyak aspirasi. Gaungnya diharapkan menjadi pijakan bertindak dan mengambil keputusan pemerintah. Kemudian munculnya para perempuan pembawa poster seronok ini menjadi fenomena paradoks di tengah heroisme aksi 11 April.
Bagaimanapun esensi dari poster itu lebih mengumbar sensualitas daripada menyuarakan anti 3 periode terhadap pemerintahan Jokowi. Ini bisa mencederai perjuangan pelaku aksi yang lain. Efek lain adalah munculnya pelecehan seks terhadap mereka sendiri.
Ini berkaitan dengan obyektifikasi perempuan dimana perempuan adalah objek fantasi seksual, objek kepuasan dan kenikmatan. Tubuh perempuan diperlakukan seperti objek yang bisa ‘dinikmati’ melalui pandangan, sentuhan atau sesuatu yang bisa dibaca dan ditafsirkan.
Khalayak disodori lelucon naïf. Tontonan yang tidak konstruktif. Baik hiburan terlebih keilmuan. “minta 3 ronde” adalah kata-kata tabu. Secara konstruksi sosial ia hanya boleh tersaji dalam ruang-ruang privat. Justru mahasiswi ini berani membukanya di ruang public dan disorot media.
Bagaimana kajian bias gender memahami persoalan ini adalah sebagai akibat dari obyektifikasi perempuan. Fredrickson dan Roberts (1997) membuat sebuah teori yang bernama Objectification Theory. Asumsi pusat dari teori ini adalah “…that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”.
Kultur di dalam masyarakat yang kemudian sampai kepada media dan segala alur konten di dalamnya—juga sebaliknya, penggambaran dari media yang sampai kepada masyarakat—selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai salah satu hal yang bisa ditangkap oleh mata dan kemudian dijadikan objek.
Laki-laki biasa berperan sebagai subjek, yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan berperan sebagai objek, terlebih objek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan.
Seperti sudah disinggung dalam kalimat sebelumnya bahwa perempuan adalah obyek fantasi seksual, maka, kalimat yang terkandung dalam poster tentang ‘Bercinta 3 Ronde’ juga menimbulkan fantasi akan prosesi hubungan seksual yang berlangsung lama (hingga 3 ronde). Perempuan dalam hal ini mahasiswi yang berpose dengan percaya diri dan menenteng poster tersebut telah dijadikan obyek fantasi oleh penonton, bagaimana ia bermain sampai 3 ronde.
Tak hanya pandangan dan sentuhan, tulisan adalah salah satu media bagaimana obyektifikasi perempuan terjadi. kata-kata secara kontekstual terbaca akan mempengaruhi pikiran untuk menerjemahkan dalam bentuk bahasa verbal.
Oleh karenanya tak heran jika tampak kemarahan netizen atas poster 3 ronde yang dibawa oleh mahasiswi dalam aksi 11 April lalu. Jelas seperti kajian di atas bahwa poster tersebut memberi dampak yang meluas bagi terjaganya marwah para pelaku aksi yaitu mahasiswa itu sendiri.
Selanjutnya, karena poster tersebut perempuan menjadi obyek fantasi bahwa mahasiswi tersebut adalah pemuas hingga beronde-ronde, dalam arti real adalah obyek kepuasan.
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
4 Tuntutan Mahasiswa Dalam Demonstrasi 11 April, Serta 6 dan 12 Tuntutan Lain
Presiden Pastikan Pemilu Tidak Ditunda, Penetapan Jadwal Pemilu Bentuk Komitmen
Jokowi: Bangun 1.900 Km Tol, Mulyani: Sampai 2014 Hanya 780 Km