Ojo Dibanding-bandingke adalah Tanda Alam

Lihat saja, ada yang goyangannya malu-malu mau, ada yang terlihat maksa, ada yang kaku, ada yang luwes, ada yang asal, narsis, dan tentu dengan senyum keceriaan dan senyum yang dibuat-buat karena keadaan memaksa untuk berjoged dengan ekspresi tanda kebahagiaan.

21 September 2022, 13:11 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Ojo Dibandingbandingke adalah Tanda Alam

LAGUOjo Dibandingke” yang dibawakan oleh Denny Caknan feat Abah Lala. Lagu ini diciptakan oleh Abah Lala, seorang musisi dari Desa Bendolegi, Clunthang, Musuk, Boyolali. Lagu ini menggunakan gaya bahasa campuran, bahasa Jawa dan bahasa Indonesian dan menarik perhatian publik, tentunya.

Lirik lagu “Ojo Dibandingke” ini menceritakan tentang seseorang pria yang tidak ingin dibanding-bandingkan dengan siapa pun soal ketulusan dalam perjalanan cintanya. Lagu ini di unggah di YouTube DC Production pada 3 Juni 2022 lalu dan sempat menjadi trending pencarian Youtube.

Dan, lagu ini akhirnya booming di atas booming, cetar membahana ke seluruh Nusantara bahkan dunia. Bagi warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri pun, pasti tahu lagu ini. Pasalnya, setelah dinyanyikan oleh Farel Prayoga, penyanyi cilik asal Banyuwangi yang diundang ke Istana Merdeka dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-77. Farel menyanyikan di Istana Negara usai upacara kenegaraan. Seisi istana yang rata-rata pejabat tinggi dan tamu undangan yang hadir akhirnya bergoyang, mengikuti irama pop dangdut yang dilantunkan oleh Farel Prayoga.

Istana bergoyang, oleh para pejabat tinggi negara, oleh para poros intelektual, yang mungkin acara tersebut sangat nikmat untuk bergoyang dalam helat kemeriahan, keceriaan dan pesta pora memaknai kemerdekaan negeri.

Lihat saja, ada yang goyangannya malu-malu mau, ada yang terlihat maksa, ada yang kaku, ada yang luwes, ada yang asal, narsis, dan tentu dengan senyum keceriaan dan senyum yang dibuat-buat karena keadaan memaksa untuk berjoged dengan ekspresi tanda kebahagiaan.

Tak berhenti disitu, kebijaksanaan pun datang sebagai bentuk keberpihakan, meskipun itu akhirnya membuat ketakutan para video kreator. Bagaimana tidak, karena Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM memberikan surat pencatatan ciptaan seni pertunjukan dengan nomor EC0020225449 kepada Farel dengan judul ciptaan “Penampilan sebagai Penyanyi Cilik Pada Acara Upacara Perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke 77 di Istana Negara”.

Sebelumnya, Kemenkumham menetapkan Farel Prayoga dan Abah Lala (pencipta) sebagai duta kekayaan intelektual.

Dengan demikian, materi audio dan video Farel Prayoga ketika menyanyikan lagu Ojo Dibanding-bandingke di Istana, secara resmi terdaftar sebagai HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Maka, publik atau para video kreator tidak bisa menggunakan materi tersebut untuk banyak keperluan, terlebih bisnis, kecuali harus seijin dengan yang bersangkutan, karena berkaitan dengan royalti, dsb.

Pendek kata, hak cipta sudah teradministrasi secara hukum, maka akses penggunaan materi tersebut juga harus melalui prosedur hukum, seperti ijin, perjanjian royalti, dsb.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, “Penampilan sebagai Penyanyi Cilik Pada Acara Upacara Perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke 77 di Istana Negara” yang teregister dengan nomor EC0020225449 tersebut, diproduksi dalam frame “hajat negara”. Artinya, tidak benar-benar diproduksi dalam konteks bisnis, di luar hajat negara. Tetapi, karena materi di dalamnya menyangkut simbol-simbol negara yang itu juga milik masyarakat luas, harusnya tidak sejauh itu pemberian HKI-nya, kecuali diberikan ruang khusus untuk membuat produksi, tentu akan beda.

Bila dalam video tersebut terlihat properti, materi dan landscape istana negara, juga terlihat para pejabat, tentu bukannya istana dan para pejabat tersebut juga milik oleh seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, bila berkenaan dengan audio, mestinya negara sudah memberikan/membayar sebagai upah sebagai konsekuensi mengundang. Maka, baik dari materi video dan audio, keseluruhan yang digelar/digunakan dalam hajat negara tersebut sudah dibayar oleh negara. Dengan demikian, seyogyanya, penampilan Farel dalam gelaran di Istana tersebut adalah milik negara, otomatis milik rakyat Indonesia.

Membandingkan-bandingkan umumnya memiliki tujuan memotivasi. Namun, itu cara yang kurang tepat bila kemudian digunakan untuk mengukur prestasi seseorang, kelompok, organisasi atau institusi, terlebih bila sudah terseret dalam permainan opini, framing, persepsi, dsb. Pendek kata jurus perbandingan digunakan dalam ranah politik untuk mencari pengakuan.

Nah, sebagai manusia Jawa, dalam kebudayaan Jawa, sering fenomena yang terjadi sering dianalisa atau dikait-kaitkan dengan tanda-tanda alam atau sasmita. Bahwa tanda alam tersebut sebagai petunjuk akan hadirnya sebuah peristiwa-peristiwa. Memang itu dalam ranah yang sifatnya spirit, tidak bisa diverifikasi/divalidasi atas tanda-tanda tersebut secara logis. Tetapi, dari fenomena yang booming, booming dalam pengertian di luar batas yang normal tersebut tentu akan dimaknai sebagai sesuatu hal yang akan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang di luar batas kewajaran. Itulah, booming.

Hemat penulis, viralnya lagu Ojo Dibanding-bandingke tersebut, pertanda bahwa akan adanya upaya pembandingan dari person, kelompok, organisasi, institusi, rezim, dsb, mengenai klaim prestasi, klaim kebenaran. Menjadi yang terbaik, yang ter-maju, terbesar, terpopuler, terpintar, dsb. Disitulah akan tertampak sebuah egoisme, guna bermacam-macam tujuan.

Apabila kita tarik dalam konteks kekinian, tentu genderang perang memperebutkan kemenangan di Pemilu Serentak 2024 adalah nyata sebagai tujuan yang harus direngkuhnya dengan kompetitif. Maka jurus membandingkan-bandingkan pun akan digunakan.

Pembandingan tersebut dirasa masih sehat bila dilakukan secara linier atau apple to apple. Tapi bagaimana bila kemudian teori atau dasar perbandingannya menjadi tidak fair. Secara teori ada perbandingan senilai, perbandingan berbalik nilai, bertingkat, dan perbandingan yang lainnya. Atau juga perbandingan komparativ dan superlativ.

Sebagai contoh, pemerintahan A akan membandingkan hasil membangun jalan tolnya dengan pemerintahan B, C, D maupun E, bahwa A adalah yang terpanjang. Pemerintahan B membandingkan keberhasilannya dalam pertumbuhan demokrasi, dsb, di atas hanya variabel kecil saja dari narasi pembandingan yang dilakukan oleh banyak pihak.

Dengan kesimpulan, perbandingan-perbandingan itu akan terus riuh sampai gelaran Pemilu Serentak 2024, bahwa tanda alam di balik viralnya lagu Ojo Dibanding-bandingke.

Harapannya, pembandingan tersebut akan fair, yang dikhawatirkan bila tidak terkendali hingga berpotensi pada perpecahan bangsa, itu yang tidak diinginkan.

Gloomy Sunday, Lagu Kematian hingga Bunga Terakhir Bebi Romeo
Lirik Lagu “Ojo Dibandingke” dan Social Anxiety Disorder
Keraton Pajang Istana Joko Tingkir
Lagu “Joko Tingkir Ngombe Dhawet”, Simbol Semangat Kerja versus Pelecehan Sejarah
Pidato Kebangsaan AHY, Pertegas Sikap Demokrat
Jokowi: Bangun 1.900 Km Tol, Mulyani: Sampai 2014 Hanya 780 Km

Terkait

Terkini