Ojo Dibandingke Abah Lala, Berkumandang se-Nusantara dari Desa Clunthang Kumandang (2)
Warga desa di sini, hampir 95 persen sebagai petani tembakau, dan hampir 100 persen menanam bunga mawar

Nusantarapedia.net, Galeri | Panorama — Ojo Dibandingke Abah Lala, Berkumandang se-Nusantara dari Desa Clunthang Kumandang
Kepala Desa Clunthang, Suryati, S.Pd, yang menjabat dua periode, saat wawancara dengan media NPJ Minggu (25/9/2022), membeberkan profil singkat monografi Desa Clunthang, beserta kendala dan harapan selaku Kepala Desa. Berikut pernyataannya.
“Desa kami (Clunthang), terdiri dari dua wilayah Kadus atau Kebayanan dengan 18 RT dan 5 RW. Mayoritas dari warga desa bekerja di sektor pertanian,” kata Suryati.
Sebelum berbicara lebih lanjut, Kepala Desa ketika ditanya awak media, bagaimana menanggapi boomingnya Abah Lala dengan lagu Ojo Dibandingke, yang mana Abah Lala adalah salah satu warganya.
“Sebagai kepala desa, saya ikut bangga atas prestasi yang telah dicapai Abah Lala, ikut senang membawa nama Desa Clunthang, kecamatan, juga Boyolali. Ya, memang anak desa, sebelumnya dulu tidak menyangka akan sampai seperti itu, nah, sekarang jadi artis nasional, ya, ikut bangga, ikut mendukung,” ungkap Kepala Desa.




Ketika ditanya; Bagaimana potensi ekonomi pada sektor pertanian di Desa Clunthang? Dirinya mengatakan, bahwa hampir seratus persen warga Desa Clunthang menanam bunga mawar.
“Warga desa di sini, hampir 95 persen sebagai petani tembakau, dan hampir 100 persen menanam bunga mawar. Saat ini tembakau di sini pasca panen, jadi tembakau sudah habis. Panen tembakau kali ini harganya lumayan mahal, Rp7000 per kilogram.”
Lanjutnya, “Cukup lumayan dengan hasil bunga mawar. Bunga mawar satu rinjing (per rinjing) harganya bisa mencapai 300 hingga 500 ribu saat bulan baik, seperti acara bulan Ruwahan maupun Lebaran. Untuk hari-hari biasa, seperti pada hari Rabu jelang malam Jumat untuk ziarah kubur, harganya berkisar 30-50 ribu per rinjing. Per rinjing kalau ditimbang sekitar sekiloan.”
“Untuk komoditi cengkih sudah tidak ada, sudah mati. Di wilayah paling atas, jarang warga menanam cengkih, yang ada cengkih di wilayah bawah, namun saat ini cengkih sudah tidak ada peremajaan lagi, tuturnya.
Lebih dalam lagi Suryati mengatakan, “Untuk usaha ternak sapi, di sini bukan sapi perah untuk dimanfaatkan susunya, memang sapi perah, tapi tidak diperah, melainkan untuk minum anak sapi, baik anakan sapi hasil ternak maupun anakan sapi yang sengaja dibeli. Jadi tujuannya untuk mengejar jumlah kuantitas sapi. Setiap rumah tangga minimal ada sapi.”




Bagaimana masyarakat Desa Clunthang dalam hal seni budaya?
“Di setiap RT (Rukun Tetangga), mempunyai grup kesenian semua. Tiap RT punya grup seni Karawitan, begitu juga seni Reog, Kethoprak, Srandul, Otokobrol. Seperti di dusun atasnya Abah Lala itu ada grup Reog terkenal, Kridha Kawentar. Di Bendo legi, tempatnya Abah Lala itu ada grup musik 86, Reog Saleho, ada lagi grup Reog Salenco, dan masih banyak lagi,” terang Kepala Desa.
Diketahui, mulai tahun 2017, Desa Clunthang terkenal dengan wisata alam yang dinamakan “Tikungan Cinta” (TC). Destinasi tersebut berada di atas desa Abah Lala yang berjarak sekitar 800 meter. Di TC menjual panorama alam di kaki gunung Bibi.
TC menjual keindahan alam dengan sosial budaya masyarakatnya. Hamparan kebun maupun ladang yang menghijau dengan tanaman tembakau, warna merah dan putih bunga mawar yang hadir di setiap jengkal tanahnya, pun dengan keseniannya yang terkenal dengan pertunjukkan reog kolosal, musik dangdut campur sari, dan atraksi menarik lainnya yang sangat khas.
Dari ketinggian TC, bila cuaca cerah terlihat pemandangan kota-kota di kawasan Solo Raya, seperti kota Boyolali, Klaten, dan Solo.
Banyak wisatawan dari daerah Solo Raya yang berwisata ke TC, juga khususnya para penggemar sepeda yang sengaja ke TC untuk menguji stamina bersepeda, pun dengan hobbi ber-swafoto.
Namun, TC akhirnya berhenti, seperti halnya wisata desa lainnya. Banyak kendala yang muncul, terlebih selama dua tahun pandemi Covid-19 melanda, membuat perlahan tapi pasti, wisata TC setengah mati.
Kini pasca pandemi, di tengah suasana pemulihan ekonomi nasional, TC akan kembali hadir dan bangkit oleh pihak pemerintah desa (Pemdes) dan masyarakat.
Kepala Desa Suryati, S.Pd., menguraikan hal tersebut sebagai tantangan bagi pemerintah desa, dengan kiat-kiat membangkitkan kembali destinasi wisata Tikungan Cinta. Juga harapannya dengan “magnet” Abah Lala, dapat kembali menarik dan menggeliatkan wisata Tikungan Cinta seperti sebelum pandemi.
“Tikungan cinta selama ada Covid-19 berhenti, karena tidak ada pengunjungnya, selain pendampingnya juga meninggal, kami kehilangan pendamping, dilanjut adanya pandemi hingga kini, sementara mangkrak. Itu persoalannya, karena waktu dua tahun selama pandemi bukan waktu yang singkat, selain persoalan yang lain,” katanya.
Lanjutnya, “Tetapi untuk saat ini sudah mulai dibangun kembali, pasang paving, gazebo. Ke depannya akan ada embung kecil tadah hujan di situ, dan kelihatannya sudah di acc bantuan dari kabupaten. Jadi sekarang untuk wisata Tikungan Cinta sudah bangkit lagi.”
Kepala Desa lebih dalam mengatakan, “Statusnya sebagai tempat wisata sudah punya SK dari Bupati, dapat bantuan juga dari provinsi sudah dilaksanakan. Sejarahnya, TC itu berawal dari swadaya masyarakat pada tahun 2017, berupa bangunan sarpras yang ada dari kelompok-kelompok tani dan kepemudaan. Ada beberapa kelompok tani yang bikin taman bunga di sana. Dipinjami lahan kas desa, yang dikelola kelompok tani menjadi taman bunga. Itu dilakukan dengan kerjasama dengan kelompok pemuda di sekitar situ, hingga berjalannya waktu dibentuk BUMDes.”
“Sarpras yang ada, pada awalnya dibangun dari hasil retribusi pengelolaan TC untuk membangun lokasi inti TC, seiring bertambahnya jumlah pengunjung, hasil dari pendapatan tersebut dimanajemen untuk itu.”
Ditanya soal pendanaan terkait dengan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagai maksud mengembangkan sektor kepariwisataan desa (desa wisata), bagaimana hal itu dilakukan.
“Untuk dana desa (DD), untuk pembangunan dari lokasi inti TC belum, tetapi DD digunakan untuk alokasi pembangunan infrastruktur pokok yang menyangga destinasi TC tersebut, yaitu pembangunan akses, seperti jalan, tembok penahan tanah. Itu yang membutuhkan biaya besar. Untuk dana dari DD sekitar 300 juta sejak 2017.”
Lanjutnya, “Kalau untuk sarpras lokasi inti TC, kemarin mengandalkan laba dari kegiatan BUMDes, seperti dari hasil retribusi pengelolaan TC, seiring bertambahnya jumlah pengunjung.”


