Paradoksal Konsep Perempuan Desa Pahlawan Ketahanan Pangan
"perempuan desa pahlawan ketahanan pangan". Jargon ini begitu dalam dalam memaknai perempuan sebagai penyumbang dan penyambung kehidupan

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosial Budaya — Paradoksal Konsep Perempuan Desa Pahlawan Ketahanan Pangan
“Lalu bagaimana konsep perempuan pahlawan ketahanan pangan akan terus dibangun, sementara jumlah lahan akan terus berkurang, generasi baru juga semakin jauh dari sawah ladang? Akankah ketahanan pangan itu akan dibangun melalui upah-upah dari para kapitalis?”
TANGGAL 15 Oktober merupakan Hari Perempuan Desa Sedunia atau World Rural Woman’s Day yang diperingati setahun sekali. Hari Perempuan Desa Sedunia adalah bagian dari Hari Pangan Sedunia yang jatuh sehari setelahnya yaitu, 16 Oktober. Perayaan Hari Perempuan Desa Sedunia ini dimulai sejak 15 Oktober 2008, setelah terbitnya keputusan Majelis Umum PBB. Peresmian tersebut tertulis dalam surat resolusi 62/136 pada 18 Desember 2007.
Beberapa sumber mengatakan Hari Perempuan Desa Sedunia dirayakan sebagai bentuk pengakuan dunia terhadap kontribusi perempuan dalam kemajuan sebuah desa. Para perempuan memiliki peran penting dalam meningkatkan sistem ketahanan pangan dan memberantas kemiskinan pedesaan. Di samping itu, Hari Perempuan Desa Sedunia juga bertujuan menghapus segala bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan di seluruh dunia.
Dalam flyer-flyer yang beredar terdapat jargon “perempuan desa pahlawan ketahanan pangan”. Jargon ini begitu dalam dalam memaknai perempuan sebagai penyumbang dan penyambung kehidupan.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyatakan perempuan merupakan kunci keberhasilan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Desa. Peran penting perempuan desa untuk mencapai SDGs Desa kini semakin diakui dunia.
Perempuan desa diakui sebagai kontributor penting dalam produksi pertanian, ketahanan pangan dan nutrisi, pengelolaan lahan, sumber daya alam, dan ketahanan iklim. Keterlibatan perempuan dalam ranah ekonomi juga dapat mengatasi kekurangan gizi sebesar 12-17 persen.
Kepeloporan perempuan desa, akan menentukan pencapaian tujuan SDGs Desa. Kepahlawanan perempuan desa adalah solusi bagi ancaman pangan, bukan hanya bagi desa, tapi juga untuk kedaulatan pangan nasional, serta untuk ketahanan pangan global.
SDGs adalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Agenda pokok ini menjadi PR hampir semua negara di dunia. Masalah kesejahteraan rakyat berpengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan; kesehatan, pendidikan, sosial dan politik.
Dalam kiprahnya, perempuan desa berkontribusi sangat banyak dalam turut menyukseskan SDGs. Perempuan desa, merupakan kontributor penting dalam produksi pertanian, ketahanan pangan dan nutrisi, pengelolaan lahan, sumber daya alam dan ketahanan iklim.
Menurut sumber, Perempuan menjadi kelompok yang mengisi 40 persen tenaga kerja khusus di sektor pertanian di negara berkembang, dimana 20 persen berada di wilayah Amerika Latin dan 60 persen di beberapa bagian di Afrika dan Asia. Melansir Parapuan.co, perempuan dengan kepemilikan tanah kurang dari 20 persen harus bekerja kerja 12-13 jam lebih lama setiap minggu daripada laki-laki.
Menanggapi hal itu, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) merilis #elaeiswomen, yaitu kegiatan kampanye digital yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan peran petani perempuan kelapa sawit dalam pembangunan di pedesaan dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs.
Di Indonesia sendiri, banyak pejuang petani perempuan memiliki beragam cara untuk mempertahankan lahan pertaniannya dari penguasaan perkebunan skala besar dan investor, yang mana setelah perjuangan menunjukkan hasil, biasanya para petani perempuan ini kembali berjuang agar bisa mendapatkan akses lahan. Peran dan perjuangan perempuan petani desa dalam ikut mempertahankan ketersediaan pangan begitu heroik. Manifestasi sederhana, di Jawa pengelolaan lahan sawah banyak dilakukan oleh perempuan. Penanaman bibit, pemeliharaan tanaman pangan hingga panen. Oleh karena itu, pantas saja perempuan disebut Ibu Kedaulatan Pangan.
Akan tetapi, banyak paradoksal terjadi. Kebijakan pertanian yang pro pemodal yang terus saja bergulir sejak masa orde baru hingga saat ini, semakin mengusir perempuan dari pertaniannya sendiri. Kebijakan impor benih dan pangan semakin menghancurkan hak pengelolaan dan kearifan lokal petani perempuan, kebijakan harga pupuk yang semakin melangit juga akses untuk mendapatkannya yang banyak kendala birokratis, juga akses pelatihan dan pengembangan diri bagi perempuan petani juga belumlah luas, sehingga semakin sulit mengembangkan pengetahuan pertanian berwawasan alamnya, perempuan justru semakin sulit menghasilkan pangan untuk keluarganya.
