Paslongub, Dalam Pengakuan Paket Oleh Paslonbup Guna Mendongkrak Elektabilitas
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Paslongub, Dalam Pengakuan Paket Oleh Paslonbup Guna Mendongkrak Elektabilitas
Oleh : Bhre Ari Koeswanto ASM
“Paslonbup Yoga-Sova contohnya, meski dari Golkar, Yoga berhasil menangkap tren politik dari poros tokoh nasional. Seperti penggunaan atribut/kostum resmi dengan baju hem berwarna biru langit khas pasangan calon presiden Prabowo-Gibran”
“Sebelum terbitnya putusan tersebut, paslonbup dari koalisi PDI-P; Hamenang Wajar Ismoyo dan Benny Indra Ardianto, digadang-gadang akan mengikuti pilbup dengan mulus melawan kotak kosong”
– Seolah keduanya ingin menyiratkan pesan, bahwa cagub Lutfhi sepaket dengan paslonbup Yoga-Sova, juga sepaket dengan paslonbup Hamenang-Benny –
ADA 3 poros paternal tokoh politik nasional. Prabowo Subianto sang presiden terpilih, Joko Widodo presiden saat ini, dan Megawati Soekarnoputri mantan presiden. Ketiganya adalah yang (saat ini) membuat “abang ijonya” jagad perpolitikan Indonesia.
Konfigurasi koalisi partai dalam mengusung calon pada Pilkada 2024, didasarkan pada spektrum ketiganya, yang mana sekaligus ketiganya yang punya kendaraan. Prabowo si empunya Gerindra, Megawati dengan PDI-P yang mindet “tegak lurusnya”, dan Jokowi dengan mesin birokrasi ditambah keberhasilannya “menguasai” banyak parpol secara politik.
Ya, ketiganya benar-benar episentrum politik. Tetapi dalam hubungan yang timbul tenggelam — putus nyambung, terkait kondisi perpolitikan secara umum dan khususnya konteks penataan Pilkada. Tentu eksistensi politik ketiganya dalam proyeksi haluan politik ke depan, baik secara personal maupun institusi politik (positioning).
Calon Gubernur Lutfhi bersama Taj Yasin misalnya, yang diusung oleh koalisi “borong tiket” KIM-Plus, membentuk kuat karena andil dari “kompaknya” Jokowi dan Prabowo. Sekilas di permukaan memang begitu, tetapi sebenarnya tidak, dilihat dari prosesnya.
Luthfi (Kapolda Jateng), pada awalnya tetap pilihan Jokowi. Jokowi sudah berhitung, bahwa dirinya akan purna, maka harus pasang kuda-kuda untuk “mengamankan” posisi dan menjaga nyala politik. Seperti, diambilnya daerah-daerah strategis untuk kekuatan politik, salah satunya Provinsi Jawa Tengah. Lutfhi adalah pilihan strategis Jokowi.
Tentu beda dengan Prabowo yang sebenarnya lebih memilih Sudaryono (Ketua DPD Gerindra Jateng), untuk dipersiapkan sebagai Gubernur Jateng. Namun akhirnya Prabowo mengalah dengan tukar tambah ditempatkannya Sudaryono sebagai Wamentan.
Akhirnya, Jokowi – Prabowo pun sepakat, hingga membentuk koalisi super gemuk KIM Plus, yang mana terbentuk secara “organik”, organik dalam arti tak sedikit parpol mengikuti arah angin kekuasaan saat ini (Jokowi) dan ke depan (Prabowo), termasuk karena faktor tersandera sprindik, selain masih sedikit tersisa kue kekuasaan.
Ini berbeda dengan calon Andika (mantan Panglima TNI) bersama Hendrar, yang diusung oleh partai tunggal PDI-P. Tentu, setelah berpisahnya Jokowi dan Mega:Jokowi dan PDI-P, mengharuskan Mega untuk mengambil sikap, bahwa PDI-P mampu berdiri tanpa bayang-bayang Jokowi. Demi kehormatan, harga diri dan wibawa partai, PDI-P berani mengambil sikap dengan seolah-olah di posisi oposisi melawan Jokowi. Meski keoposisian PDI-P masih keropos, seperti di balik tidak mengusungnya Anies sebagai cagub DKI Jakarta bukan persoalan ideologis atau spektrum politik, tetapi dugaan kuat karena kader PDI-P bersama pejabat yang lain tersandera dan berada dalam list kelompok “Bani Sprindik”.
Menjadi terkaget-kaget kala terbit Putusan MK hal ambang batas threshold pencalonan kepala daerah. Di sini dugaan kuat bahwa, kekuatan mana/siapa di balik back up putusan MK, yang mana menutup peluang Kaesang mengikuti kontestasi Pilkada. Tak lain dugaannya adalah Prabowo sendiri. Karena, Prabowo sebagai presiden terpilih tetap ingin menata daerah-daerah dengan kebijakan supra politik demi stabilitas politik nasional, khususnya di daerah-daerah strategis. Artinya, Prabowo tidak ingin ada matahari kembar di republik ini hingga ke daerah. Secara gamblang, Prabowo ingin meruntuhkan daerah-daerah yang ditata atau diproyeksikan oleh Jokowi.
Di sini menjadi menarik, kala terbitnya Putusan MK, Prabowo tidak kawatir manakala Gerindra tidak mendominasi konfigurasi penataan Pilkada, justru mengorbankan Gerindra sendiri, tetapi Prabowo dan Gerindra sudah berhitung bahwa pemenang mutlak Pemilu 2029 harus Gerindra. Jadi ini adalah ide untuk memurnikan atau mensterilkan dari pengaruh kekuasaan/kekuatan yang saat ini melebur, untuk kemudian menyatukan kekuatan penuh Gerindra, meski awalnya dengan cara turut mengamputasi diri terlebih dahulu.
Uniknya lagi, dalam konteks pilgub, buah Putusan MK juga menguntungkan PDI-P yang teralienasi dari kontestasi Pilkada akibat borong tiket KIM Plus, seperti kasus di Jakarta, meski dalam konteks Jawa Tengah PDI-P memenuhi syarat threshold mengusung calon sendiri tanpa berkoalisi. Di sini dibaca, bahwa komunikasi gas tipis-tipis antara Prabowo dan Megawati benar adanya, bahwa salah satu jalan memurnikan perjuangan PDI-P, atau cara menggebuk balik Jokowi hanya dengan (cara) bergabung bersama Prabowo. Isu PDI-P bergabung di pemerintahan Prabowo, bisa dibenarkan, bahwa semata PDI-P tidak berbicara soal kursi menteri, melainkan posisi politik PDI-P ke depan.