Pastinya Prabowo Berdaulat, Politik Pencitraan hingga Mainan “Bani Sprindik” Tidak Dilakukan

11 Oktober 2024, 16:13 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Pastinya Prabowo Berdaulat, Politik Pencitraan hingga Mainan “Bani Sprindik” Tidak Dilakukan 

Oleh : Bhre Ari Koeswanto ASM 

“Namun rasa-rasanya, akankah Prabowo berani untuk itu, bahwa problemnya adalah melawan oligarki dan globalis. Hal paling konseptual-dasar adalah mengembalikan kedaulatan dan kemandirian Indonesia sebagai peta jalan konstitusional-Indonesia Maju. Bila itu tak dilakukannya, Indonesia, ya, hanya begini-begini saja. Percaya, Indonesia tumbuh, ekonomi makro pesat, infrastruktur gigantis tergelar, tetapi milik dan untuk siapa? Sedangkan rakyat, akhirnya harus berkutat dengan mahalnya beras, gas menghilang, mahalnya BBM, pekerjaan sulit, tenaga kerja diperas, bahkan terus dijadikan market society, budak kapitalisme dalam model neo-liberalisme”

– konstruksi APBN harus setidaknya bernilai Rp20 triliun. Dengan tidak adanya kebocoran keuangan negara, maka mandatory spending pada indeks pembangunan manusia Indonesia haruslah terpenuhi — menjadikan bangsa ini kenyang, sehat dan pintar. Maka, akan auto membangun bangsa dan negara ini dengan dasar dan arah yang benar. Jangan lagi peras rakyat dengan aneka pajak dan iuran-iuran –

HITUNG mundur 9 hari lagi pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Apakah Presiden Jokowi akan hadir saat pelantikan presiden-wakil presiden terpilih, pada 20 Oktober mendatang? Katanya, Jokowi tidak hadir saat pelantikan, memilih pulang dan istirahat (tidur) di Solo. Tetapi dikonfirmasi pihak istana bahwa Jokowi dipastikan hadir saat pelantikan.

Spekulasinya, hal itu imbas keretakan hubungan Jokowi dan Megawati, yang mana Megawati akan hadir dalam acara pelantikan tersebut, Jokowi enggan bertemu.

Dibaca, Jokowi tidak ingin ada faksi (PDI-P) di kabinet Prabowo. Dengan skenario kabinet Prabowo tetap bersama KIM-Plus minus PDI-P. Kondisi itu menjadikan Gibran (wapres) akan nyaman. Sebaliknya, bila PDI-P resmi berkolaborasi dengan Prabowo, maka posisi politik wapres “terancam”.

Prabowo kini menjadi “el fenomeno”, kuatnya kepemimpinan Prabowo yang kesemuanya mengarah ke Prabowo — menempatkannya berada di puncak tunggal kekuasaan secara alami/organik. Positioning ini selain bersifat alami, juga faktor Prabowo klir dengan siapa pun. Juga buah dari konsistensi perjuangan politik dan keikhlasannya selama ini.

Memang, harapannya PDI-P berada di barisan oposisi. Yang mana penyelenggaraan kekuasaan harus selalu diingatkan. Karena kredo politik kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung disalahgunakan dan disimpangi, sebagaimana ungkapan dari Lord Acton ‘power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely‘, itu salah satu ancamannya.

Perimbangan kekuatan di parlemen, 470 kursi pada koalisi KIM (Koalisi Indonesia Maju) melawan 110 kursi PDI-P (81% vs 19%), menjadikan PDI-P tak bisa bicara banyak, sekalipun Puan Maharani sebagai Ketua DPR.

Resikonya memang mengarah ke otoritarian/absolut. Tinggal berharap pada good will Prabowo, bagaimana menciptakan pemerintahan yang good government-governance. Terlebih memainkan politik sandra, menciptakan peluang kelompok “bani sprindik”, itu sangat tidak diharapkan. Atau juga terus menyuburkan praktik politik pencitraan, demagog, playing victim, dan sejenisnya, tentu (semestinya) itu bukan watak Prabowo. Prabowo tetaplah seorang negarawan sejati, pemimpin besar dengan ide dan gagasan yang mewah (besar).

Bagi PDI-P, menjadi oposisi itu yang ideal, sesuai harapan rakyat. Namun bila akhirnya 100% fraksi mendukung pemerintahan Prabowo, itupun keputusan yang strategis pula bagi PDI-P. Korelasinya bahwa, hubungan historis Prabowo – Mega memang tidak ada masalah, terlebih kesamaan ideologis, yang sama-sama menyuarakan kedaulatan dan kemandirian. Prabowo adalah Soekarno kecil yang cinta tanah air, tekatnya menjadikan Indonesia berdaulat, seperti halnya cita-cita Bung Karno, Tri Sakti contohnya. 

Kesamaan itu juga sebagai jalan memurnikan kembali cita-cita PDI-P yang selama mengusung Jokowi selama ini (haluan nasional) mengarah ke liberal kapitalistik, yang itu kontradiktif dengan ruh Soekarno di tubuh PDI-P. Selain itu, ada garansi tak ada kudeta partai. Juga hal lainnya tentunya — empuknya kue kekuasaan dalam satunya lingkar kekuasaan.

Itu PDI-P, belum lagi partai lainnya, bahwa Prabowo dan Golkar adalah bagian sejarah panjang, terkait juga dengan Surya Paloh dari Nasdem, yang dahulunya keduanya termasuk didikan Golkar. Sedangkan kelompok berspektrum kanan dan super kanan pun, juga kiri dan super kiri, baik yang melebur di dalam partai politik maupun organisasi, juga klir dengan Prabowo. PKS, PAN, PPP, PBB, PKB, dan semuanya, tidak ada bagian yang terluka. Sedangkan Demokrat, punya proyeksi untuk terus menata AHY agar positioning dan eksistensinya terjaga, mengharukan berkoalisi dengan Prabowo/Gerindra.

Jangankan urusan ideologi yang klir, bahkan urusan yang personal pun, Prabowo tetap berhubungan baik dengan keluarga Cendana, sekalipun ada persoalan besar perbedaan pandangan antara Soeharto vs Prabowo (Soemitro), sekalipun harus ditebus dengan kandasnya pernikahannya dengan Titiek Soeharto.

Prabowo pun, juga klir dengan barisan tentara berspektrum kanan dan kiri, atau disebut tentara merah dan hijau, juga tentara putih.

Itulah modal kuat dan besar Prabowo menjadi Presiden Indonesia. Jangan gunakan kesempatan itu dengan modeling kepemimpinan yang cengengesan. Tetapi benar-benar good will sebagai peta jalan tujuan konstitusional.

Terkait

Terkini