Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)

21 Februari 2022, 18:55 WIB

Nusantarapedia.net — Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah

Akhir-akhir ini berkembang wacana pemekaran provinsi baru hampir di semua provinsi induk se Indonesia. Wacana tersebut berupa usulan-usulan dari daerah hingga berkembang menjadi isu hangat dan populer.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, November 2021 menjelaskan, muncul beberapa aspirasi yang mengusulkan pemekaran wilayah provinsi baru. Pada waktu itu pengusulan provinsi Papua dan Papua Barat dimekarkan menjadi Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat dan Papua Barat Daya.

Disusul oleh daerah lainnya, muncul wacana dan pengusulan yang sama adanya pemekaran provinsi baru di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara juga kepulauan lainnya.

Akhirnya, dinamika berkembang hampir di seluruh daerah, berangkat dari usulan, wacana hingga menjadi isu bahkan berita hoax pemekaran provinsi baru. Bahkan, pemekaran tersebut sudah detail menyangkut pembagian wilayah administrasinya.

Dari total 34 provinsi di Indonesia, sebanyak 25 provinsi akan dimekarkan, hanya 9 provinsi yang tetap. Dari 25 provinsi tersebut mekar menjadi 61 provinsi dengan penambahan 36 provinsi baru. Dengan demikian akan terdapat 70 provinsi di Indonesia.

Masih ditambah lagi daerah khusus ibukota negara yaitu kota Nusantara. Maka, jumlah provinsi maupun daerah administratif total menjadi 71 pembagian daerah, termasuk kota administratif sebagai ibu kota negara.

Indonesia dari masa ke masa telah mengalami pemekaran wilayah dalam bentuk pemerintahan daerah maupun daerah administratif, didasarkan banyak dinamika yang berkembang sesuai era keberlangsungannya.

Pada awal masa kemerdekaan (1945-1949), Indonesia hanya terdiri dari delapan provinsi, yaitu; provinsi Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil, ditambah dua daerah keistimewaan yakni Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam perkembangannya, daerah-daerah terus bermekaran dalam periodesasi masa, yakni;
Era Republik Indonesia Serikat (1949-1950), Era Orde Lama (1950-1966), Era Orde Baru (1966-1998) dan Era Reformasi (1999-sekarang).

Pembagian provinsi di Indonesia menjadi bentuknya yang sekarang ini dengan jumlah provinsi sebanyak 34, terakhir kali dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2012. Lahirlah provinsi Kalimantan Utara dengan ibu kota di Tanjung Selor dari induk provinsi Kalimantan Timur.

Pada saat era orde baru tumbang pada 1998-1999, jumlah provinsi sebanyak 27, namun berkurang satu kala Timor Timur lepas dari Indonesia pada masa kepemimpinan B.J Habibi, sebelumnya Timor Timur hasil integrasi ke Indonesia tahun 1976.

Kota Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia (1)

Sejak era presiden Gusdur, lahirlah UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sejak saat itu hingga kini jumlah provinsi naik menjadi 34, terutama jumlah kabupaten dan kota yang mekar drastis.

Saat ini, sejak era Ryaas Rasyid hingga Gamawan Fauzi selalu Menteri Dalam Negeri, pembagian wilayah administrasi Indonesia sebanyak 34 provinsi, kabupaten sebanyak
(415), kabupaten administrasi (1), kota (93),
dan kota administrasi (5).

Bagaimana Tito Karnavian sebagai corong kebijakan negara menghadapi dinamika yang berkembang saat ini, apakah benar nanti akan mekar lagi provinsi dan kabupaten/kota baru atau tidak? atau tidak merespon karena berisi informasi hoax. Kita tunggu dan simak perjalanannya.

Urgensi Pemekaran Provinsi dan Narasi Pembangunanisme

Wacana pemekaran provinsi baru tersebut, hingga muncul pembagian teknis sebanyak 36 provinsi baru dirasa cukup mencengangkan. Jika itu benar-benar usulan meski beberapa di antaranya benar sebagai usulan, mengapa bisa mengemuka secara massiv. Ataukah justru isu yang dihembuskan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah.

Bila semuanya benar usulan dari daerah oleh keinginan masyarakat, lantas mewakili kelompok masyarakat yang mana, sedangkan kondisi masyarakat saat ini sedang berjuang menggeliatkan ekonomi di tengah pandemi. Tentu tidak sempat terfikirkan.

Apabila alasannya rakyat tidak cukup puas dengan kebijakan dan kinerja pemerintah dengan narasi tidak adanya pemerataan dan keadilan pembangunan, apakah itu tepat? Sedangkan selama ini pemerintah pusat dirasa dan merasa cukup berkeadilan dalam pemerataan pembangunan serta lompatan pembangunannya, pun setelah daerah-daerah mempunyai kewenangan pemerintahan melalui otonomi daerah.

Bila usulan itu dilakukan oleh sebagian kelompok yang mengatasnamakan masyarakat, jangan-jangan mereka punya kepentingan dengan mendapatkan proyek baru dalam penataan di dalamnya terlebih proyek infrastrukturnya.

Apakah ini sengaja di lempar ke publik untuk menjustifikasi kebijakan pemindahan ibu kota negara agar dianggap benar dan tepat, dalam artian untuk mencari dukungan publik. Apakah ini untuk mengalihkan perhatian atas banyak bagian dalam praktek penyelenggaraan bernegara dalam fakta kehidupan sosial masyarakat yang saat ini masih di bilang semrawut.

Menjadikan spekulasi yang berkembang sebagai feedback dari wacana tersebut tentu menjadi kewajaran. Rasionalitas harus dimunculkan untuk memahaminya secara kritis analitis dan komprehensif. Apa yang menjadi urgensi dari pemekaran provinsi baru tersebut.

Alasan atas prinsip-prinsip demokrasi selalu menjadi payungnya, demokrasi tentu menyangkut hak setiap orang, bangsa maupun pemerintah daerah dengan segenap isinya. Apakah hal ini sebagai landasan atas pemekaran tersebut, tentu tidak reliable di tengah terbukanya arus demokrasi yang bebas. Ataukah justru pemaknaan demokrasi tersebut berupa bentuk kebebasan yang tak terbatas.

Setelah masuk dalam alibi demokrasi, justifikasi masuk melalui celah regulasi dan dukungan kelembagaan daerah dalam unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta dimungkinkan dukungan korporasi atas agenda kepentingan di dalamnya yang bersifat strategis.

Dari hak demokrasi, di dukung lembaga dengan bernaung pada legalisasi aneka regulasi, seperti; UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Berdasarkan regulasi di atas, tentu isinya sangat komprehensif, namun tidak melihat konstruksi secara umum dalam sistem kesatuan guna kesatuan gerak haluan bernegara, namun lebih pada esensi pemenuhan hak-hak asasi atas nama pengertian demokrasi.

Diisyaratkan dalam aturan tersebut bahwa, pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari pada; (1) persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan. (2) kemampuan ekonomi potensi daerah. (3) aspek budaya, sosial, hukum, adat istiadat, sosial politik. (4) jumlah penduduk dan luas daerah (5) analisis pertahanan dan keamanan. (6) tingkat kesejahteraan masyarakat dan rentang kemudi. (7) faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Secara administratif, pembentukan provinsi paling sedikit mempunyai 5 (lima) kabupaten/kota, untuk pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan, serta untuk pembentukan kotamadya terdiri sedikitnya 4 (empat) kecamatan. Termasuk ketersediaan lahan untuk lokasi pusat pemerintahan lengkap dengan sarana dan prasarananya.

Nah, pertanyaannya? bila itu undang-undang tentu kajian akademisnya harus tepat, bila menyangkut konseptor atau apraisal pihak ketiga, jujurkah mereka dalam menyusun analisa sebagai kajian layak dan tidaknya berdiri daerah baru. Acapkali, hal seperti ini tidak jujur dilakukan atas banyak pesanan, yang akhirnya dari tidak mungkin menjadi mungkin.

Perlu ditinjau ulang isi dan pelaksanaan amanat konstitusi dalam praktiknya mengenai arah pembangunan berbangsa dan bernegara. Sejak perubahan amandemen UUD 1945, haluan negara menjadi berciri liberal kapitalistik. Memunculkan kecurigaan pada pelemahan sistem integral NKRI dengan lahirnya daerah-daerah baru, meski awalnya dari dasar pemikiran atas sentralistiknya dan otoriternya pemerintahan orde baru.

Semenjak amandemen konstitusi tersebut, juga diikuti perubahan sistem pemilihan umum yang individual, asas musyawarah dan sistem perwakilan menjadi semakin kabur, lagi-lagi dengan alasan pemenuhan hak-hak demokrasi.

Pelemahan sistem kesatuan yang dimaksud apakah terkorelasi dengan lahirnya produk undang-undang dalam melaksanakan pembangunan. Munculnya UU Desa jelas terkorelasi dengan UU Otonomi Daerah atas amandemen konstitusi sebagai induknya.

Hal di atas hanya variabel, belum lagi menyangkut kedaulatan sistem ekonomi dan keuangan, serta bentuk kedaulatan lainnya yang semakin tergerus akibat perubahan konstitusi. Dari segala penjuru, teknik pengeroposan akan bentuk kedaulatan negara dipelbagi bidang, pelan tapi pasti terus dilakukan yang itu disinyalir atas pesanan global.

Akhirnya, perlahan tapi pasti, tak terlihat tapi nampak, negara semakin lemah dalam memproteksi kegairahan pembangunan yang dikhawatirkan berporos pada kepentingan kapitalisme dunia, hingga semakin jauh dari kedaulatan sosial di dalamnya, berupa ekonomi keuangan, budaya dan mekanisme pasar tentunya.

Bersambung bagian 2 …

Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (2)
Pemuda Milenial dan Wawasan Kebangsaan

Terkait

Terkini