Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1)
- Negara, dalam konteks ini, dilucuti peran otonominya sebagai regulator sekaligus investor penentu arah pembangunan -

Petaka Neo-Liberal
Ketika masyarakat semakin kokoh sebagai sebagai satu entitas warga dunia dengan variabel konsumsi akibat intervensi pasar bebas, Marshall Mc Luhan mengistilahkan ini sebagai Desa Besar atau Global Village, maka hal ini memunculkan beberapa problem yang sangat serius dihadapi dunia hari ini.

Neo-liberal sebagai acuan kemajuan umat manusia global saat ini meniscayakan adanya beberapa problematika multidimensional seperti ketimpangan kekayaan, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dlsb. Hal inilah yang kemudian kita definisikan sebagai krisis kapitalisme.
Dalam banyak kasus, alih-alih sistem yang diyakini mampu menampilkan wajah homogen warga dunia sebagai entitas tunggal pada kenyataannya justru menunjukkan pola kebalikannya, meskipun banyak ekonom meyakini sistem neo-liberal sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran.
Yang lebih mengejutkan lagi bahwa krisis ini lebih parah menjangkiti negara berkembang atau dunia ketiga yang menerima begitu saja promosi neo-liberal daripada negara adidaya asal sistem ini seperti Eropa Barat dan Asia Timur.
Kapitalisme laiknya sebuah pendulum, sistem ini sebagai bola yang bergerak ke kanan-kiri dengan menyisakan krisis. Di satu sebagai kemiskinan dan sisi lainnya sebagai krisis ekologi. Pendeknya, seluruh gerakan dari pendulum ini hanya sebuah krisis.
Lalu, yang manjadi pertanyaan untuk saat ini adalah apa sebab sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal membawa krisismultidimensi terlebih di negara berkembang seperti Indonesia?
Pangkalnya adalah paradigma yang saling berkelindan antara mode produksi kapitalis dan dukungan sistem ekonomi politik suatu negara. Dalam faktor mikro setidaknya mode produksi kapitalis memiliki lima ciri seperti yang dikemukakan oleh Ernest Mandel.
Pertama, ditingkat produksi, corak kapitalis adalah produksi komoditas, untuk meraih keuntungan yang sebesarbesarnya. Kedua, produsksi dilandasi kepemilikan pribadi. Ketiga, produksi dioperasinalkan dalam rangka meraih mengusai pasar yang berada dibawah kendali persaingan dan monopoli. Keempat, para kapitalis berupaya meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengupah buruh serendah-rendahnya. Kelima, Tujuan terakhir dari porduksi adalah akumulasi kapital.
Kemudian dalam faktor kebijakan negara mengacu pada paradigma teori yang di kemukakan oleh Adam Smith dan W.W Rostow tentang perkembangan dunia yang kapitalistik dan modern sebagai muara pembangunan global pasca perang dingin antara Amerika dan Rusia.
Kedua pakar inilah yang mewarnai dinamika pembangunan global saat ini, melalui institusi negara, yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, liberalisasi aset, reduksi intervensi negara (diserahkan kepada pasar), dan proletarisasi sebagai variabel menuju masyarakat modern.

Negara, dalam konteks ini, dilucuti peran otonominya sebagai regulator sekaligus investor penentu arah pembangunan. Sebagai bentuk kongkritnya negara di paksa mengarus pada kebijakan badan moneter dunia seperti IMF dan World Bank ketika menginginkan pinjaman moneter untuk pembangunan negaranya.
Dalam hal ini lembaga tersebut menginginkan negara membuat-restrukturasi regulasi yang berpihak pada pasar global seperti yang telah disebutkan diatas. Alih-alih membangun dengan kesadaran pemerataan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan lingkungan.
Sistem buruk neo-liberal yang dilegitimasi oleh regulasi negara ini pada akhirnya membawa pada krisis-krisis yang menimpa masyarakat luas akhir-akhir ini seperti angka kemiskinan yang terus naik terlebih di masa pandemi ini dan krisis ekologi.
Adapun problem ekologi yang menggejala di seluruh bagian dunia, umumnya terjadi di dunia ketiga, tempat dimana perusahaan besar memproduksi dan mengambil bahan baku dari produknya.
Dengan tujuan akumulasi kapital dan mendapat bahan baku murah, kemudian didukung pemerintahan korup maka eksploitasi besar-besaran oleh perusahaan multi-nasional terhadap alam dunia ketiga tidak terkendali.
Akibatnya, kondisi alam rusak serta membawa petaka pada kebencanaan yang dalam beberapa tahun ini terus terjadi di Indonesia.
Banjir menenggelamkan Kalimantan-Jawa, Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, tanah longsor, abrasi akibat naiknya permukaan air laut di pesisir pulau Jawa, tenggelamnya daerah Jakarta dalam 10 tahun yang akan datang, kekeringan banyak terjadi, dsb.
Adalah sebagian potret dari efek rusaknya alam di Indonesia akibat ulah industri besar yang rajin meng-eksploitasi alam Indonesia dengan upaya minim restorasi, reboisasi, ataupun reklamasi.
Fakta-data dari riset yang dilakukan oleh jurnalis, NGO maupun akademisi menunjukkan bahwa, dalam konteks Indonesia, sejak dibukanya kran liberalisme era orba telah terjadi eksploitasi besar-besaran alam Indonesia.
Bisnis Ekstraksi pengelolaan hasil hutan di Indonesia sampai dengan awal tahun 1980-an dijual dalam bentuk kayu gelondongan (log) dengan jumlah mencapai lebih dari 70% total hasil kayu.
Pendapatan Indonesia dari penjualan kayu log tersebut mencapai 6 juta US dolar pada tahun 1966 dan bertambah menjadi 564 juta US dolar pada tahun 1974, dipenghujung tahun 1979 mencapai 2,1 miliar US dolar atau 350 kali lipat sejak sebelas tahun sebelumnya.
Eksploitasi hutan dengan masifnya penerbitan HGU kepada pengelola yang umumnya swasta besar (korporat) terus terjadi hingga hari ini dengan variasi kepentingan industri seperti perkebunan, pertambangan, dlsb.
Total sejak era Soeharto hingga Jokowi hari ini HGU yang diterbitkan pemerintah sejumlah 5.431.651 ha atau empat kali lipat luas pulau Jawa.
Sedangkan kemiskinan merupakan efek pasti dari sistem kapitalisme sejak sistem ini menemukan momentumnya pada revolusi industri di Inggris abad ke-18 lalu. Mansour Fakih berpendapat bawa kemiskinan dan ketimpangan ekstrim yang menggejala di seluruh lapisan masyarakat saat ini sama halnya seperti yang terjadi pada saat tahap awal kapitalisme oleh sebab pembangunan dan insutrialisasi.
Ia menyatakan bahwa sistem ini bagi dunia ketiga sama halnya dengan penjajahan kolonialisme, bentuknya saja yang berbeda namun fungsinya tetap sama.
Alih-alih memberi kelayakan dari kerja sebagai buruh yang terserap proyek industrialisasi, dari awal revolusi industri jilid 1 sampai kini yang telah sampai 4 sosok buruh adalah pekerja yang paling rentan terhadap kemiskinan.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa variabel pengukur seperti sebagian besar dari buruh saat ini masih dibayar dengan murah (underpaid), waktu kerja di luar batas normal (overtime), kerja berlebih (overwork), tidak memiliki perlindungan sosial, ketiadaan jaminan pendapatan layak dalam jangka panjang, dan hak berserikat yang dilucuti.
Bahkan Fred Magdoff menganggap pengangguran adalah pendulum dari sistem produksi kapitalisme agar selain bisa terus mengakumulasikan keuntungan juga bisa mendapat tenaga kerja dengan upah murah.
