Penghinaan Terhadap Presiden, Mungkinkah Berujung Pidana

Tentu saja saat ini publik sedang diuji dalam proses pemahaman tentang apa tujuan dari penghinaan Presiden oleh pelaku, siapa dalang di balik perbuatan pelaku, dan apa makna viralisasi penghinaan tersebut

3 Agustus 2023, 11:14 WIB

Nusantarapedia.net | POLHUKAM, OPINI — Penghinaan Terhadap Presiden, Mungkinkah Berujung Pidana

Oleh : Davianus Hartoni Edy

“Namun permisivitas batasan etis dalam berpolitik tersebut, seharusnya menempatkan hukum tetap kokoh dalam fungsinya untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh warga negara.”

PERSPEKTIF hukum pidana menempatkan aspek legalitas sebagai filtrasi utama sebuah perbuatan hukum dikategorikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Nullum delictum nulla poena, sine previae lege poenalli, menjadi asas yang menjiwai keseluruhan spirit hukum pidana. Namun, diskursus pidana seharusnya tidak berdiri pada sisi hitam-putihnya sebuah norma saja, atau hanya berpatokan pada tertulis tidaknya sebuah aturan karena keterbatasan makna tulisan akan menciptakan celah hukum. Paradoks itu semakin tajam ketika sisi legalitas coba disejajarkan dengan dasar unsur pidana yang harus terpenuhi dalam sebuah tindak pidana, yakni adanya mens rea (niat jahat) dan actus reus (akibat perbuatan jahat). Sederhananya pada konteks yang lain, legalitas membuka kesempatan timbulnya perbuatan jahat yang dapat dibuktikan niatnya, namun perbuatan jahat tersebut tidak dapat dikenakan sanksi karena belum diatur dalam dalam kodifikasi pidana yang menjadi rujukan bersama.

Opini ini lebih dipertegas oleh pengakuan adanya perbuatan jahat yang meskipun belum diatur dengan sanksi, namun sifat bawaannya adalah jahat, sehingga tidak boleh dilakukan tanpa adanya larangan sekalipun, di samping mala prohibita (kejahatan yang memang dilarang untuk dilakukan) yang memang senafas dengan asas legalitas.

Keadilan Dalam Posisi Tawar
Mungkin biasan pemahaman tentang adanya kontradiksi spirit legalitas pidana dan pemenuhan atas unsur-unsurnya akan lebih jelas, jika kita menghadirkan kasus “penghinaan terhadap Presiden” yang seolah-olah diskenariokan agar berada di luar legal track, sehingga unsur pidananya tidak akan terpenuhi dan pelaku sulit untuk dijatuhi sanksi pidana. Situasinya akan semakin menarik, ketika timbul pertanyaan, apakah sebuah perbuatan pidana pada hakikatnya ditentukan oleh unsur-unsur pidana yang terjadi ataukah oleh keberadaannya dalam sebuah kitab undang-undang? Jika aspek legalitas menjadi rujukan utama dan unsur pidana menjadi pelengkap, maka jangan heran apabila hukum pidana akan lebih sering dimainkan untuk sebuah pragmatisme tertentu. Semestinya posisi tawar situasi keadilan, menempatkan unsur-unsur pidana pada bargaining position yang setara dengan aspek legalitas, terlepas dari adanya kesepakatan atas eksistensi sebuah norma pidana, agar situasi kondusif dalam semangat bonum communae tidak rusak oleh niat dan perbuatan jahat yang belum terkodifikasi. Praktisnya bahwa jika menghina Presiden tidak diatur sebagai delik biasa, maka sudah sepatutnya unsur pidana dalam hal niat (jahat) dan akibat perbuatan (jahat) tersebut dipertimbangkan untuk menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Tidak ada dasar legalitas yang menghasilkan dikotomi bahwa menghina Presiden belum tentu menimbulkan kegeraman publik, karena Presiden adalah jabatan yang memperoleh legalitas dan legitimasi publik sebuah negara, tanpa kecuali.

Terlepas dari adanya kontroversi pemberlakuan pasal 218-220 KUHP yang mengatur tentang sanksi terhadap penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, jabatan dan pribadi yang melekat pada jabatan tersebut wajib dihormati dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi sebuah negara. Mencederai kehormatan Presiden artinya melukai martabat rakyat yang telah memberikan legitimasi bagi Presiden yang menjadi kepala pemerintahan. Sangatlah aneh jika menyatakan jabatan (Presiden) memiliki sifat buruk, jika tidak menyertakan unsur pribadi/manusia yang melekat pada jabatan tersebut. Atau bagaimana mungkin menyematkan citra buruk pada sebuah jabatan jika citra tersebut hanya khusus ditujukan pada pribadi seorang manusia? Atau sang filsuf sedang berakrobat dalam kekhilafannya sendiri dan sedang bermain-main dengan elemen-elemen utama kenegaraan untuk meningkatkan popularitas pribadi. Satu hal yang pasti, akrobatik di antara celah-celah hukum yang menyebabkan munculnya ketidakadilan publik, akan menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum itu sendiri serta mengakibatkan kekacauan pemahaman dan keyakinan akan kepastian hukum.

Terkait

Terkini