Penjual Klepon
"Boleh, Neng. Kalau pun dijual juga nggak apa-apa kok. Rejeki itu sudah ada yang ngatur kok, Neng."
Nusantarapedia.net — Penjual Klepon
“Memang beda tangan, akan beda hasilnya. Meski resepnya sama persis. Jadi, kita tidak akan pernah bisa meniru hasil karya orang lain secara sama persis. Mungkin, kalau yang sama persis itu namanya plagiat.”
Mbah Juminah, itulah nama seorang wanita yang berusia lima puluh tahun lebih. Dia seorang penjual jajanan di pasar tradisional. Macam-macam yang dijualnya. Ada jongkong, wajik, jadah dan lainnya. Salah satu jajanan favoritku adalah klepon. Saat masuk mulut, ada yang lumer di dalamnya. Jajanan yang beberapa waktu lalu sempat viral karena klepon dianggap makanan yang tidak islami. Alasannya karena nggak ditutupi daun pisang, cuma bermandikan kelapa. Dikiranya nggak menutup aurat kali. Alangkah lucunya kisah si klepon.
Setiap hari Mbah Juminah berjibaku dengan terik matahari, berjalan dari rumahnya di gang sempit sampai ke pasar kelurahan. Perjalanan ditempuh dengan waktu setengah jam. Dengan satu ‘tenggok’ besar yang dia gendong di punggung tuanya.
“Mbah, sudah berapa lama jualan ini?” tanyaku ingin tahu, saat ada kesempatan membeli klepon dan kebetulan sedang sepi pembeli.
“Sudah lama, Neng, hampir tiga puluh tahun yang lalu,” jawabnya sambil tangannya cekatan membungkus klepon pesananku.
“Jualan ini terus, Mbah?”
“Iya, Neng. Nggak pernah ganti-ganti. Pengen aja mengenalkan jajanan khas nusantara. Biar tidak hilang ditelan jaman.”
Aku mengangguk. Salut sama Mbah Juminah, ternyata dia seorang yang istikomah. Di antara gempuran jajanan yang beraneka rupa saat ini, Mbah Jum tetap bertahan dengan jajanannya.
“Mbah, boleh minta resep cara buat klepon yang seperti mbah jual. Rasanya spesial dan lumer di mulut saat isinya keluar. Aku pengen nyoba buat, Mbah. Tenang Mbah, Bukan untuk dijual kok. Sekadar pengen bisa bikin aja.”
“Boleh, Neng. Kalau pun dijual juga nggak apa-apa kok. Rejeki itu sudah ada yang ngatur kok, Neng. Tidak mungkin tertukar Allah ngasihnya,” jawab Mbah Juminah tulus iklas.
Aku segera mengambil notes kecil untuk mencatat pointnya saja.
“Bahannya adalah tepung ketan, gula merah, dan kelapa yang sudah di parut.”
Dengan cepat aku mencatat. Ternyata belum ada orang yang beli lagi. Aku pun melanjutkan pertanyaan.
“Cara buatnya, Mbah.”
Mbah Juminah merapihkan sejenak daun pisang yang berserakan, kemudian memperbaiki posisi duduknya.
“Pertama-tama, tepung beras dikasih air kapur sirih sedikit. Diberi air sedikit demi sedikit, sambil diuleni sampai kalis dan diberi pewarna hijau sedikit. Kalau sudah di bentuk bulat dengan isian gula merah yang sudah disisir. Setelah itu rebus dalam air mendidih, tunggu sampai mengambang. Saat sudah mengambang itu tandanya sudah matang, Neng. Kemudian, angkat dan gulingkan ke parutan kelapa yang sudah ditanak. Setelah itu tinggal disajikan,” kata Mbah Juminah panjang lebar secara detail.
Aku sampai keteteran mencatatnya. Terakhir aku pamit, saat pesanan kleponku sudah genap. Sebelumnya, kuangsurkan selembar uang dua puluh ribu pada Mbah Juminah.
“Terima kasih atas ilmunya, Mbah, aku permisi dulu.” pungkasku. Aku salut sama kelegaannya memberitahu resep membuat klepon.
“Sama-sama, Neng.”
Selang seminggu setelah itu, aku mencoba membuat klepon di rumah. Kebetulan ada acara keluarga yang di adakan setiap setengah tahun sekali.
“Bu, aku coba buat klepon ya, kemarin sudah tanya Mbah Jum resepnya.”
“Apa nggak lebih baik pesan aja. Kamu kan belum pernah bikin klepon, takutnya nanti nggak jadi, kan malah kacau.”
Ibu sangsi dengan keinginanku. Namun, aku meyakinkan akan bisa membuatnya.
Menit berikutnya aku asik di dapur dengan menu membuat klepon. Di awal-awal, tidak ada yang salah karena adonan bisa dibentuk menjadi bulatan-bulatan klepon.
Setelah itu saatnya di masak di atas air yang mendidih. Aku masukkan secara bertahap. Setelah mengambang segera kuangkat dan digulingkan diatas kelapa parut.
Saat memilah-milah satu persatu, ternyata ada yang salah dengan klepon bikinanku. Aku merasa terlalu lembek, tidak seperti punya Mbah Juminah yang bisa kenyal.
“Bu, kenapa jadinya seperti ini?” tanyaku pada Ibu.
Ibu hanya tersenyum melihat hasil buatanku.
“Mungkin ada bahan yang kamu lupa.”
“Kayaknya nggak ada deh, Bu.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Aku ingat lagi tadi cara membuatnya. Ternyata ada yang terlupakan.
“Oh, iya, Bu, aku lupa ngasih air daun sirih. Tadi cari-cari nggak ada jadi terlewat,” kataku bernada kecewa.
“Air kapur sirih kalau nggak ada, bisa juga diganti dengan tepung beras.”
Ibu memberitahu aku.
“Kenapa nggak bilang dari tadi, Bu. Telat deh, jadi hasilnya kayak gini.”
Kubawa juga klepon buatanku di atas meja, bersama teman-teman jajanan yang lainnya. Semua sudah tertata rapi di atas piring polos. Sebagian besar Ibu membeli di pasar. Semua cantik-cantik, hanya klepon buatanku yang agak aneh.
Tapi tak mengapa, besok-besok harus praktek lagi. Agar hasilnya lebih bagus, meski tak sebagus buatan Mbah Juminah.
Memang beda tangan, akan beda hasilnya. Meski resepnya sama persis. Jadi, kita tidak akan pernah bisa meniru hasil karya orang lain secara sama persis. Mungkin, kalau yang sama persis itu namanya plagiat.
Magelang, 12 Ramadhan 1442 H
Sepenggal Kisah Bersama Mbah
Penyesalan yang Terdalam
Bapak, Jangan Menangis
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Pemerintah Melarang Ekspor CPO Harga Sawit Di Riau Terjun Bebas
Nastar Kue Favorit Lebaran 2022
Dewandaru Berenergi Spiritual Besar Hanya Ada di 3 Lokasi (1)