Penjual Sapu Yang Menyesal Tak Bersekolah

Nusantarapedia.net — Penjual sapu yang menyesal tak bersekolah
“Adalah Damid, seorang pria tua berusia 67 tahun, yang menyesali hidupnya karena tidak sempat mengenyam pendidikan sekolah. Di masa tuanya yang semakin payah dalam mencari nafkah, yakni sebagai penjual sapu glagah, dia akhirnya pasrah.”
Sekolah adalah lembaga (institusional) untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru.
Setiap negara memiliki sistem pendidikan formal yang umumnya wajib. Di Indonesia, saat ini negara mewajibkan pendidikan dasar wajib belajar sembilan tahun, yaitu sekolah pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi wajib belajar selama 9 tahun, dari kelas satu sampai kelas sembilan. Sebelumnya, wajib belajar hanya sampai jenjang Sekolah Dasar selama 6 tahun, dari kelas satu sampai kelas enam, dikenal dengan wajib belajar enam tahun.
Dengan bersekolah, siswa diharapkan mengalami kemajuan melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar di sekolah. Siswa dapat menerima pendidikan dan pengajaran berupa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika.
Sekolah bertugas untuk membentuk dan mencetak peserta didik (manusia) sebagai insan cendekia, mengembangkan pribadi anak didik secara menyeluruh, baik intelektual maupun moralitas.
Pada pemahaman yang lebih mendalam, fungsi dan tujuan sekolah merupakan bentuk penghargaan terhadap semesta alam, berupa; hutan, laut, gunung, sawah, dan ladang ataupun flora dan fauna yang merupakan simbol dari eksak-sains. Simbol-simbol tersebut harus mampu dibaca dan ditampilkan dalam kehangatan dialog proses pembelajaran.
Begitu juga penghargaan siswa terhadap perilaku masyarakat dan kehidupannya pada proses pembelajaran ilmu sosial, harus dapat menggambarkan pemikiran dan hati mereka pada berbagai situasi sosial yang kontekstual.
Saat ini, meski sistem dan arah pendidikan sudah terus membentuk, namun masih ada saja paradigma bahwa bersekolah hanya sebagai formalitas saja. Pada akhirnya yang bersekolah dan tidak bersekolah sama saja hasilnya, bahkan banyak yang bersekolah akhirnya jadi pengangguran, bahkan menjadi buruh.
Banyak output dari pendidikan sekolah yang tidak memerdekakan menjadi manusia yang manusiawi. Justru, manusia tercetak menjadi mesin-mesin kompetitif dunia yang ujung-ujungnya berpraktik pada pragmatisme dan komersialisasi ekonomi hasil dari proses pembelajaran yang kurang tepat. Hasilnya abai pada tujuan yang mulia sesuai cita-cita pendidikan itu sendiri, terlebih pada cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, meski terdapat banyak kekurangan, paling tidak dengan bersekolah dapat membuka cara pandang berpikir seseorang, sehingga pada akhirnya sebagai langkah mengambil kebijakan jalan hidup bagi dirinya sendiri dapat lebih terarah, terlepas sesuai dengan ruh bersekolah atau tidak, yang pasti dengan bersekolah akal dapat terus berkembang, meski dimaksudkan atau tidak untuk mengakali.




Adalah Damid, seorang pria tua berusia 67 tahun, yang menyesali hidupnya karena tidak sempat mengenyam pendidikan sekolah. Di masa tuanya yang semakin payah dalam mencari nafkah, yakni sebagai penjual sapu glagah, dia akhirnya pasrah.
Damid warga RT.002/RW.004 Desa Majalangu, Kecamatan Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah. Hampir setengah abad lamanya dihabiskan dengan berjualan sapu glagah, menapaki panjang dan liku-likunya jalan kehidupan, dalam kepenatan dan panasnya terik mentari.
Sejak tahun 1975, di saat usianya menginjak remaja, Damid sudah mulai berjualan sapu di kota Tegal setahun lamanya. Karena kurang laku, satu tahun kemudian dia pindah merantau di kota Pekalongan, masih tetap berjualan sapu.
Cukup lama berjualan di Pekalongan, sampai akhirnya di masa menginjak senja, Damid memutuskan untuk keliling dari kampung ke kampung di kotanya sendiri di Pemalang.
Dari pagi, dia sudah mulai berkeliling di daerah Pemalang kota menawarkan aneka macam jenis dan ukuran sapu lantai, dari harga mulai 8 ribu sampai 15 ribu, tergantung besar dan kecil ukurannya, serta kwalitas sapu, seperti gagang (handle) sapu ada yang terbuat dari kayu dan bambu.
Ada ratusan sapu lantai dia bawa dengan cara di pikul, ditawarkan keliling kampung. kadang habis kadang sisa sapu daganganya.
Haryanti, pemilik sebuah warung sembako di kelurahan Bojongbata ini mengatakan, jika dirinya sudah berlangganan sapu sudah 10 tahun lamanya, cocok dengan harga dan kwalitas sapu buatan Damid.
Di sela waktu istirahat, sambil minum segelas teh, Damid menceritakan tentang suka dukanya sebagai penjual sapu.
“Alhamdulillah mas, bisa buat makan anak dan istri, walaupun saya terkadang menyesal, kenapa dulu saya tidak bersekolah, hingga akhirnya jadi begini, payah mencari nafkah,” ujar bapak beranak 7 tersebut, sambil menyeka keringat dengan handuk lusuhnya. (Ragil74)
Lebaran Berlalu dengan Energi Kemenangan, Saatnya Kembali ke Sawah dan Ladang
Asri dan Alaminya Desa Pegongsoran
Buyung, Pengemis Berkaki Buntung
Tawid Di Malam Takbiran
Menjaga Nyala dalam Kerentaan
Apakah Mereka Berlebaran?
Penanganan Sosial Anak Jalanan Alami Kebuntuan
Laskar Mengoneng
Nafsu Buka Puasa hingga Ajang Pencitraan Amal
Pedagang Salak Pondoh, Sleman Yogyakarta