Pentingnya Hening (Manifesto ‘Laku Eling’)

Nusantarapedia.net | RELIGI — Pentingnya Hening (Manifesto ‘Laku Eling’)
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Karena sesungguhnya ‘hening’ (kondisi meditatif) tidak lain adalah manifesto dari laku ‘eling’ (batin yang senantiasa sadar). Itu sebabnya orang Jawa tidak kurang-kurang selalu mengingatkan kita untuk ‘eling lan waspada’ (tetap awas dan terjaga) dan ada juga ungkapan ‘yitna yuwana lena kena’ (yang batinnya senantiasa awas akan selamat dan yang terlena akan celaka).”
– Aspek spiritualitas tidak lagi menjadi “ruh” yang mengiringi pembangunan peradaban global hari ini. Maka akibatnya tentu saja kapitalisme yang materialis-empiristik juga menyusup dan menjadi “ideologi mahadewa” di abad kegersangan spiritualitas hari ini –
DALAM pencarian rohani, sekalipun semua agama dan berbagai kitab suci telah kita pelajari, tetapi selama kita belum menyentuh hal paling inti dari spiritualitas maka secara garis besar kita akan tetap berhenti pada keterpukauan terhadap kebenaran-kebenaran dogmatis dan rawan terjebak pada perseteruan dengan penggengam kebenaran-kebenaran dogmatis yang lain. Kita menjadi lupa bahwa kebenaran dogmatis itu bukanlah kebenaran yang sejati atau kebenaran yang hakiki dan bukan juga hal yang paling inti dari spiritualitas. Karena hal yang paling inti atau esensi dari spiritualitas itu sesungguhnya tidak akan pernah kita temui dalam perdebatan kata-kata atau pun dalam keriuhan pikiran dengan segala konseptualisasinya, melainkan esensi spiritualitas itu hanya akan kita jumpai ketika bisa “jumeneng ing telenge manah” (berdiam hening di kedalaman batin) dan untuk mencapai titik itu satu-satunya cara/metode adalah dengan manekung atau menjalankan laku hening — demikianlah yang diyakini oleh para penekun spiritualitas dan para leluhur Jawa.
Dan sejenak ketika kita berkaca melihat realita hari ini, di tengah gilang-gemilangnya pembangunan wajah peradaban abad 21, baik itu di bidang ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, keagamaan, infrastruktur, teknologi, serta media informasi dan komunikasi, seakan kita menjadi terhenyak dan disadarkan jika semua aspek pembangunan itu ternyata hanya fokus pada hal-hal yang eksternal, dan bahkan peta kemanusiaan secara global pun juga terpengaruh lebih berfokus pada pembangunan aspek eksternal dan material semata, dan meninggalkan nilai-nilai kebatinan atau spiritualitas. Aspek spiritualitas tidak lagi menjadi “ruh” yang mengiringi pembangunan peradaban global hari ini. Maka akibatnya tentu saja kapitalisme yang materialis-empiristik juga menyusup dan menjadi “ideologi mahadewa” di abad kegersangan spiritualitas hari ini, lantas segenap dahaga batin dan kebutuhan spiritual kita secara kolektif pun berusaha “didangkalkan” dengan bungkaman placebo kebahagiaan eksternal, ibadah-ibadah pencitraan yang eksternal, serta pesta-pesta dan keramaian sosial menjadi ritual yang paling digemari dan satu-satunya kiblat pemuasan batin kemanusiaan hari ini.
Jaringan relasi sosial dalam komunitas hura-hura atau di sisi lain ibadah-ibadah keagamaaan yang tampak di muka sosial menjadi “parameter mainstream” akan kebahagiaan, kesalehan spiritual, dan bahkan penghormatan terhadap seseorang. Oleh sebab itu laku hening, laku perjalanan spiritual menyelami diri sendiri sampai-sampai hampir tidak dikenal lagi, terlebih-lebih di kalangan anak-anak muda Milenial dan Gen Z hari ini yang begitu mudah terseret oleh ombak zaman yang cenderung berpola sekuler dan materialis-empiristik. Orang yang tekun laku hening (meditator) atau bahkan sekadar orang introvert yang punya pembawaan kepribadian hening dan serta tidak suka menampakkan ritual-ritual eksternal keagamaannya secara sosial pun dalam pergaulan hari ini akan dipandang nyleneh, aneh, dan bahkan tidak normal. Akan tetapi jika kita bisa sejenak “melampaui” paradigma materialisme yang mewabah dan menghegemoni itu dan tetap tegak di jalan spiritualitas dan ajaran leluhur dengan menyelami laku hening sebagai sumber kekuatan batin, kita akan menjadi manusia yang jauh lebih beruntung dan lebih memiliki mental yang sehat daripada arus mainstream.
Diakui atau tidak, selama ini kebanyakan dari kita secara psikologis dalam menjalani hidup lebih banyak terseret oleh “arus liar batin” dan terjebak melekati kenangan-kenangan tertentu di masa lalu, ataupun terseret pada arus angan-angan berlebihan pada banyak hal di masa depan. Tentu semua ini adalah manifestasi dari batin yang belum terlatih dalam laku hening, maka batin kita selalu menengok hal-hal eksternal di luar diri, kita menjadi lupa pada momen berpijak “di sini dan saat ini” (di momen sekarang, di situasi yang kini sedang kita jalani), akibatnya kita jadi percaya bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan bercokol dan bergantung akan banyak hal seperti di “masa lalu” atau pun seperti yang dibayangkan di “masa depan”. Kesadaran batin kita menjadi “terpelanting” jauh untuk bisa mendekap momen-momen kebahagian batiniah di “saat ini”. Akibat kepercayaan yang rapuh dan dangkal seperti itu, kita menjadi pontang-panting mengejar hal-hal material di luar “diri” dan di luar tempo “masa kini”, sehingga misalnya kita juga menjadi sibuk sana sini mencari sandaran sosial ke komunitas kerumunan ini atau komunitas kerumunan itu, demi satu kata yakni “kebahagiaan!” Lantas apakah kebahagiaan otomatis bisa didapatkan? Justru belum tentu, paling banter adalah kebahagiaan temporal yang begitu dangkal. Dan sementara antitesis dari kebahagiaan yang dangkal temporal itu seperti apa? Yakni tidak lain adalah ketika kita mampu untuk ajeg laku hening, mampu untuk berjarak dari keriuhan pikiran, meski secara empiris kita tidak mengingkari jika hidup di atas kemegahan peradaban materialis yang secara batiniah kering kerontang ini.