Penurunan Tanah di Jakarta dan Semarang
- pada umumnya daerah pesisir ini dengan tipe tanah terbentuk dari aluvial karena hasil endapan sungai, sehingga lebih mudah mengalami pemadatan dan akhirnya terjadi penurunan tanah -

Nusantarapedia.net, Jurnal | Lingkungan Hidup — Penurunan Tanah di Jakarta dan Semarang
PENURUNAN tanah atau disebut Land subsidence, pada umumnya timbul akibat pengambilan air tanah yang berlebihan pada lapisan pembawa air yang tertekan; penurunan muka tanah yang disebabkan oleh beberapa faktor penyebab seperti proses-proses geologi, pengambilan bahan cair dari dalam tanah yaitu air tanah atau minyak bumi, adanya beban-beban berat di atasnya seperti struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah di bawahnya mengalami konsolidasi, pengambilan bahan padat dari tanah atau aktivitas penambangan. (data.bpiw.pu)
Di atas adalah beberapa definisi penurunan tanah secara umum dengan faktor-faktor penyebabnya. Secara komprehensif penurunan tanah terjadi karena banyak faktor secara kasuistik.
Di Indonesia, terutama di kota Jakarta dan Semarang, penurunan tanah sudah sebegitu mengkhawatirkan, yang dampaknya tentu tingginya potensi banjir. Dalam jangka waktu tertentu daratan akan tenggelam.
Di beberapa negara dunia, penurunan tanah juga terjadi, meski kasus penurunan tanah yang dimaksud berbeda dan ada beberapa kesamaan dengan yang terjadi di Jakarta dan Semarang. Sebagai contohnya kota Amsterdam di Belanda, yang mana 1/3 wilayah negara Belanda berada di bawah permukaan laut. Amsterdam dan daerah terendah lainnya di Belanda berada pada 6,7 meter di bawah permukaan laut.
Begitu juga yang terjadi di Kopenhagen, Denmark, tepatnya di Pulau Zealand sebagai pulau dengan jumlah penduduk terbanyak memiliki ketinggian paling rendah sekitar 0,9 meter di bawah permukaan laut.
Contoh di negara Asia, seperti Singapura, di bagian tertentu wilayahnya berada di bawah permukaan air laut, sehingga sering terjadi banjir rob di waktu-waktu tertentu. Maka tak mengherankan, negara seperti Belanda, Denmark, dan Singapura maju dalam hal infrastruktur rekayasa dan intervensi air agar daratan tidak tenggelam, seperti dengan pembangunan bendungan (DAM), kanal-kanal, dan tanggul raksasa. Namun demikian, letak daratan yang lebih rendah dari permukaan air laut seperti yang terjadi di Belanda lebih pada faktor alami.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), bahwa permukaan tanah di kawasan pesisir Kota Semarang, Jawa Tengah, ambles hingga 10 sentimeter (cm) per tahunnya. Dari data monitoring geologi teknik penurunan tanah daerah Semarang, pada tahun 2016 menunjukkan bahwa yang masuk zona merah (ambles 10 cm) meliputi seluruh bibir pantai di Kota Semarang. Hingga tahun 2018, penurunan tanah yang memasuki zona merah semakin meluas.
Sedangkan di Jakarta berdasarkan jurnal penelitian oleh Hasanuddin Z. Abidin, penurunan tanah bervariasi, sebesar 1-15 sentimeter per tahun dan 20-28 sentimeter per tahun di lokasi tertentu.
Menurut keterangan Dosen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik UGM, Heri Sutanta, Ph.D., dikutip dari ugm.ac.id., Jumat (6/1/2023), menanggapi peristiwa banjir yang terjadi akhir-akhir ini di kedua kota tersebut, menjelaskan;
Kasus penurunan tanah yang terjadi di kota Jakarta dan Semarang, bahwa letak sebagian kota-kota besar di seluruh dunia termasuk di Indonesia berada di daerah pesisir. Di Indonesia, seperti di Jakarta, Semarang, Samarinda, Makassar, Kupang dan Ambon, yang mana pada umumnya daerah pesisir ini dengan tipe tanah terbentuk dari aluvial karena hasil endapan sungai, sehingga lebih mudah mengalami pemadatan dan akhirnya terjadi penurunan tanah.
“Hasil penelitian kita di Semarang, kondisi di Jakarta juga sama, penurunan tanah dipercepat oleh pemanfaatan air tanah yang berlebihan dan melebih kapasitas imbuhannya.”
Dari hasil penelitiannya di daerah tangkapan air Kota Semarang terdapat beberapa faktor, seperti :
1) Dulunya terdapat banyak kebun, tanah tegalan dan ruang terbuka, namun kemudian berubah menjadi kompleks perumahan, kawasan industri dan pembangunan infrastruktur lainnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya imbuhan di Cekungan Air Tanah (CAT) Semarang.
2) Di Semarang, kenaikan air laut global saat ini mencapai 3-5 milimeter per tahun sementara penurunan tanah mencapai 9 cm.
“Ada kenaikan penurunan tanah 30 kali lebih besar dibanding kenaikan air laut global.”
3) Faktor lokal penurunan tanah ini lebih berdampak pada kenaikan relatif permukaan laut di Semarang dan Jakarta. Bahkan, percepatan penurunan tanah ini menyebabkan dua kota di Semarang ini sering dilanda banjir saat curah hujan tinggi karena posisi daratan di pesisir lebih rendah daripada air permukaan laut. Hal itu juga terjadi di Jakarta.
4) Baik di Semarang maupun di Jakarta, posisi daratan pesisir yang lebih rendah dari air permukaan laut ini harus ditangani secara komprehensif. Daerah pemukiman dan industri yang ada saat ini di kawasan pesisir dapat dilindungi dengan tanggul laut. Selanjutnya juga dipersiapkan banyak pompa untuk mengalirkan air dari drainase ke sungai besar yang aliran airnya menuju laut.
“Harus ada pompa yang disiapkan walaupun membutuhkan biaya operasional yang besar.”
5) Di antara kota besar di Indonesia, sementara ini hanya Jakarta dan Semarang yang mengalami proses penurunan tanah yang begitu cepat. Untuk mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih besar di kemudian hari, ia mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan yang komprehensif.
“Yang pertama adalah mengatur pengambilan air tanah dan menjaga imbuhannya melalui perubahan pembatasan penggunaan lahan di daerah tangkapan airnya. Selanjutnya adalah menanggulangi dampaknya, misalnya pembangunan tanggul pantai untuk melindungi infrastruktur dan warga.”