Penyelesaian HAM Berat Non-Yudisial maupun Yudisial “Saat Ini” Picu Ketegangan Sosial (1)

- Sebagai konsekuensi bentuk keseriusan dari pemerintah, langkah-langkah seperti ini patut didukung, karena menjadi bagian dari tugas pemerintah, dengan catatan; seperti contoh pada kasus peristiwa 1965/66 ini tidak hanya sebatas upaya Non-Yudisial kalau tidak ingin dibaca/ditafsirkan publik "macam-macam", -

12 Januari 2023, 23:48 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Penyelesaian HAM Berat Non-Yudisial maupun Yudisial Picu Ketegangan Sosial (1)

“pada kasus 1965/66 ini akan menghadirkan diskusi yang panjang, polemik, diskursus, debatable, dan colateral damage (dampak lanjutan) yang kemana-mana, akan sungguh sangat ruwet-mbulet dan mbundet.”

TERIMA KASIH kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Jokowi, yang mana telah mengupayakan pemulihan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana pada korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat di masa lalu.

“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan (menyangkal/memungkiri: red) penyelesaian yudisial.” (Presiden)

Presiden pun menugaskan kepada Menkopolhukam Mahfud MD untuk melakukan langkah-langkah konkret, yaitu memulihkan hak korban serta menjaga agar ke depan tidak lagi terulang kasus pelanggaran HAM Berat.

Awal mula topik (gagasan) ini di mulai oleh pihak Istana, dengan argumentasi setelah mendapatkan laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/01/2023).

Adapun dalam laporan tersebut, menyinggung ihwal pelanggaran HAM Berat masa lalu dalam 12 kasus, yaitu :
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan
12.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Versi pemerintah, atas laporan tersebut perlu kiranya memberikan seperti kompensasi kepada korban dalam bentuk materi atau bentuk lainnya (Non-Yudisial), artinya titik beratnya bukan pada penyelesaian kasus dalam konteks hukum atau menyangkut lembaga peradilan (Yudisial).

Namun demikian, Presiden telah menyerahkan kepada Mahfud MD untuk dilakukan langkah konkret. Artinya, sekelas Mahfud tentu “konkret” yang dimaksud adalah penyelesaian secara hukum kasus HAM Berat, itu poin utamanya, meski praktek pemulihan hak secara Non-Yudisial atau kompensasi juga dilakukan. Pun dengan upaya agar pelanggaran HAM Berat tidak terjadi lagi, itu normatif saja, tentu semua juga akan begitu. Bila konkret yang dimaksud bukan pada tujuan penyelesaian di lembaga-lembaga peradilan, mengundang pertanyaan besar, “Ada apa ini?” Pun bila tujuannya dengan penyelesaian Yudisial, juga dibaca, “Ada apa ini?” Dan keduanya arahnya kemana? Hemat penulis akan menjadi polemik, diskusi panjang, dan “trigger” hingga potensi terjadi “ketegangan sosial”. Ada apa gerangan?

Terkait

Terkini