Penyelesaian HAM Berat Non-Yudisial maupun Yudisial “Saat Ini” Picu Ketegangan Sosial (2)

13 Januari 2023, 00:58 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Penyelesaian HAM Berat Non-Yudisial maupun Yudisial Picu Ketegangan Sosial (2)

Membaca Program Ini
Ada beberapa hal yang dapat dianalisis dari program ini dari narasi pemerintah bila dihubung-hubungkan dengan situasi kontekstual saat ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal ini tidak dilakukan ketika Jokowi (presiden) menjabat di awal-awal kepemimpinannya sebagai komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM dalam program pemerintah di bidang politik, hukum dan pemerintahan dan HAM. Yang mana, isu-isu penegakan hukum, HAM, korupsi dan masalah peradilan lainnya dapat dilakukan dengan fokus, karena konsentrasi di awal-awal kepemimpinan hal conflict of interest tidak seriuh di akhir masa jabatan menjelang Pilpres 2024.

Artinya, bicara program ini bila dihubung-hubungkan dengan kontestasi calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang, yang mana telah banyak menyeret sederet tokoh-tokoh yang diduga terlibat atau sebagai pelaku sejarah dalam 12 kasus pelanggaran HAM Berat tersebut di atas. Sebagai contoh peristiwa tahun 1965, pelaku sejarah di dalamnya terkait dengan tokoh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Bicara Soekarno kekinian, tidak bisa dilepaskan dengan nama Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani hingga partai PDIP. Bicara Soeharto, saat ini sel-sel dari gerakan politik Soeharto juga masih ada, bisa juga dikaitkan dengan nama Prabowo Subianto, bahkan bisa juga dikaitkan dengan Golkar, meski Golkar saat ini berbeda dengan Golkar era orde baru.

Hal di atas bila menyangkut variabel ketokohan atau pelaku sejarah, belum lagi bila dihubungkan dengan keterlibatan dalam konstelasi geopolitik dan strategi dunia, tentu akan melibatkan banyak negara, seperti Amerika, Rusia (Uni Soviet), Cina, dan beberapa negara lainnya beserta agen-agennya, seperti CIA.

Kemudian, peristiwa 1965/1966 yang itu lazim disebut peristiwa G-30/S/PKI, telah menyeret pada perdebatan secara ideologi. Ada yang menafsirkan sebagai perang antara gerakan kiri versus kanan. Dengan demikian akan kembali membuka sentimen antara kelompok Islam dan kelompok lainnya dalam pengertian kelompok yang berideologi komunis. Maka, program ini ada yang menafsirkan sebagai tanda bangkitnya paham komunisme.

Juga potensi lainnya, yang mana dalam peristiwa 1965/66 ABRI (TNI) terlibat di dalamnya, hingga dalam perjalanannya pun, ABRI (TNI) telah diwarnai isu adanya kelompok-kelompok yang turut tersandera dalam kepentingan ideologi/kepahaman. Disebut dengan ABRI Merah, ABRI Putih dan Hijau. Dengan adanya pelabelan tersebut dibaca telah terjadi rivalitas di tubuh ABRI dengan poros-poros kekuatan masing-masing dari lingkaran kekuasaan maupun kekuatan di luar kekuasaan/organisasi.

Belum lagi akan terjadi potensi terbukanya dikotomi antara orde lama dan orde baru, yang mana pelaku sejarah di kedua era tersebut masih ada dan dengan pewarisan kultural antar keduanya yang hingga kini masih melekat dalam tata nilai kehidupan politik, bahkan seperti dijustifikasi sebagai spirit dan simbol-simbol.

Dengan demikian, pada kasus 1965/66 ini akan menghadirkan diskusi yang panjang, polemik, diskursus, debatable, dan colateral damage (dampak lanjutan) yang kemana-mana, akan sungguh sangat ruwet-mbulet dan mbundet. Kesimpulannya dengan resistensi yang tinggi, meski itu dilakukan dengan skema Non-Yudisial, terlebih bila dilakukan dengan skema Yudisial, apakah tidak teramat sangat menguras energi dan pemikiran, yang salah langkah sedikit saja fatal akibatnya.

Sebagai konsekuensi bentuk keseriusan dari pemerintah, langkah-langkah seperti ini patut didukung, karena menjadi bagian dari tugas pemerintah yang komitmen, dengan catatan; pada kasus peristiwa 1965/66 ini tidak hanya sebatas upaya Non-Yudisial kalau tidak ingin dibaca/ditafsirkan publik “macam-macam”, maka juga harus dibawa pada ranah Yudisial, sebagai goodwill dari program ini yang terang benderang tanpa tendensi apapun.

Contoh lainnya seperti pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 tahun 1998 dan 1999, yang mana sebelumnya nama Prabowo Subianto telah “terseret” ke dalamnya. Diketahui dan dibaca secara politis, bahwa Prabowo Subianto saat ini adalah calon presiden dari partai Gerindra. Meskipun kasus dalam peristiwa ini nantinya satgas hanya akan memulihkan hak korban pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial, namun paling tidak ingatan publik akan tertuju pada tokoh Prabowo Subianto, pun akan semakin rumit bila kasus ini dibuka melalui jalur peradilan (Yudisial). Akan seperti apa riuhnya dalam kesatuan pandang pencapresan 2024, yang mana saat ini telah memasuki gelanggang politik.

Dari dua contoh kasus pelanggaran HAM Berat di atas, bila arahnya hingga proses Yudisial, tentu apresiasi yang tinggi kepada pemerintah. Hanya saja, sejauh mana efektivitasnya dalam menuntaskan kasus ini, mengingat pemerintahan Jokowi sebentar lagi akan berakhir, dibaca timing-nya, momentumnya yang kurang pas. Bila hanya sebatas Non-Yudisial juga perlu dihormati sebagai upaya-upaya keberpihakan negara menyangkut keadilan kepada setiap warga negara, meski dibaca setengah hati, yang mana asas dasarnya adalah negara berdasarkan hukum, tentu kontradiktif, atau upaya Non-Yudisial ini dibaca sebagai simplifikasi saja tanpa melihat kebenaran secara hukum guna tujuan yang “parsial”.

Justru sebaliknya, akan sangat multitafsir target goal-nya, mengapa tidak dalam kesatuan publik addres di awal-awal pemerintahan. Sedangkan di sisi yang lain, misalnya dibaca sebagai langkah politis untuk meredam gejolak di Papua misalnya, itu adalah bonus atau efek dari sebuah kebijakan yang nawaitu-nya baik. Dalam hal ini juga upaya pemerintah di segala bidang, selama tidak menyalahi aturan, mengandung nilai-nilai etik (moral clarity), tidak dalam agenda “bersiasat” sah-sah saja, dan justifikasi miring (suudzon) terhadap langkah-langkah ini perlu dikesampingkan. Kendati demikian, program ini tetap akan terlihat keseriusannya seperti apa implementasinya hingga dibawa pada penuntasan kasus HAM yang terang benderang secara Yudisial, sebagai penilaian kesuksesan akan lompatan tata kelola penyelenggaraan berbangsa dan bernegara yang revolusioner di bidang penegakan hukum.

Lantas, bila implementasinya setengah hati dan pada kasus-kasus tertentu dengan langkah yang tidak matang, dikhawatirkan menjadi trigger ketegangan sosial. Atau bila “diduga-duga”, program ini telah berada pada kepentingan 2024 sebagai maksud “ketegangan sosial” itu tercipta sebagai targetnya. Untuk kemudian menjadi dasar menerbitkan Perppu atau Dekrit karena negara dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, terutama pada kasus 1965/66 yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Tentu apa tujuannya? Kiranya pembaca dapat menafsirkan sendiri. Meski begitu, kita tetap berfikir positif bahwa langkah pemerintah dalam hal ini tepat tanpa adanya kepentingan politis.

Selesai

B Ari Koeswanto ASM | pemerhati budaya Nusantara

Penyelesaian HAM Berat Non-Yudisial maupun Yudisial “Saat Ini” Picu Ketegangan Sosial (1)
Presiden Jokowi: Pelanggaran HAM Berat Tidak Terjadi Lagi (12 HAM Berat Laporan PPHAM)
Pidato Mega Tak Ada Kode untuk Ganjar, Mega Bicara Perempuan (Puan Last Minute, Ganjar Opsi Terakhir)
“Problem Internal” yang Disimplifikasi
2023, Dicari Cendekiawan yang Jujur dan Mendobrak, Menyentuh Wacana Publik Tujuan Indonesia
“Nggir, Ora Minggir, Tabrak!!” Tetap Ajukan Banding, Indonesia Kalah Gugatan Soal Ekspor Nikel di WTO

Terkait

Terkini