Penyesalan yang Terdalam

24 April 2022, 06:56 WIB

Nusantarapedia.net — Penyesalan yang Terdalam

𝙆𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙩𝙞𝙖𝙙𝙖, 𝙗𝙖𝙧𝙪 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖
𝘽𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙠𝙚𝙝𝙖𝙙𝙞𝙧𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙪𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙝𝙖𝙧𝙜𝙖
𝙎𝙪𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙩 𝙖𝙠𝙪 𝙧𝙖𝙨𝙖
𝙆𝙚𝙝𝙞𝙡𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙖
𝙎𝙪𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙩 𝙖𝙠𝙪 𝙧𝙖𝙨𝙖
𝙃𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙩𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙙𝙞𝙖

𝙆𝙪𝙩𝙖𝙝𝙪 𝙧𝙪𝙢𝙪𝙨 𝙙𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙥𝙖𝙨𝙩𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝
𝙏𝙚𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙠𝙪𝙢𝙤𝙝𝙤𝙣
𝙏𝙖𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝𝙠𝙖𝙣 …,
𝙏𝙖𝙣𝙜𝙜𝙪𝙝𝙠𝙖𝙣𝙡𝙖𝙝 ….

Kunikmati setiap lirik demi lirik lagu berjudul Kehilangan, yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Fildan D’Academy. Ditambah lagi dengan improvisasi gazalnya yang khas, semakin membuat hatiku teraduk-aduk. Hingga tanpa kusadari air mataku pun luruh. Isi lagu itu, mengingatkan aku akan seseorang yang telah pergi untuk selamanya. Dan kehilangannya, menjadi penyesalan terdalam yang harus aku rasakan, seperti kehilangan lentera saat gelap melanda jiwa.


“Mak! Aku mau ke ulang tahun teman besok. Di sana nanti aku harus pakai kostum sesuai tema yang diinginkan oleh yang punya acara, dan kebetulan temanya itu ‘bunga’, dan aku belum punya baju bergambar bunga, jadi aku harus membelinya hari ini, Mak,” kataku memberitahu Mamak.

“Itu semua belum untuk beli kado. Darimana mamak dapetin uang sebanyak itu dalam waktu satu hari, Nduk!” Mamak seperti keberatan dengan keinginanku.

“Pokoknya aku nggak mau tahu darimana Mamak dapet uangnya, yang penting aku bisa pergi ke ulang tahun Angela besok. Ini adalah sebuah acara berkelas Mak! Semua pasti pakai kostum yang bagus dan aku nggak mau kelihatan udik. Aku harus seperti teman-teman yang lain!”

“Tapi Nduk, Gendhis anakku. Eling sopo Mamakmu iki. Mamak cuma seorang buruh cuci dan setrika yang penghasilannya tidak menentu. Mamak nggak kuat kalau harus memenuhi gaya hidup kamu yang selalu ngikutin teman-teman yang kebanyakan dari mereka orang orang kaya. Mamak nggak sanggup … ,” kata mamak mulai terisak dan beristighfar.

Aku berkacak pinggang, tangis Mamak tak serta merta meruntuhkan egoku. Aku tetap bersikeras dengan keinginanku. Keinginan dalam hati harus bisa seperti teman-teman yang lain, tanpa pernah memandang kehidupan serba sulit yang aku jalani. Terutama Mamak, beliau adalah wanita pekerja keras banting tulang untuk bertahan hidup, sepeninggal bercerai dengan Bapak.

Entah terbuat dari apakah hatiku ini??


Suasana meriah tampak di taman yang cukup luas milik keluarga Angela. Kini sudah disulap sedemikian rupa oleh EO sesuai permintaan yang punya acara.

Tema hari ulang tahun adalah ‘bunga’. Semua yang hadir dianjurkan menggunakan kostum dengan design bunga-bunga. Tak terkecuali aku. Sebenarnya agak kikuk juga, aku memakai dress selutut, warna merah marun dengan gambar bunga melati yang bertaburan. Dilengkapi dengan sepatu higheels dan make-up natural riasan aku sendiri. Rambut cepakku diberi pemanis bando degan tempelan gambar kupu, yang nampak imut. Terus terang penampilan ini bukan aku banget, yang sehari-harinya lebih nyaman memakai jeans dan kaos oblong atau kemeja dan tidak pernah menyentuh alat make-up.

“Ternyata cantik banget kamu, kalau didandani jadi cewek,” komen si Jihan, teman sebangku.

“Huush! Emang aku cewek tulen kok,” jawabku.

Setelah hampir dua jam berlalu, tiba di penghujung acara yaitu memotong kue tart yang terdiri dari tiga tingkat dengan ornamen bunga mawar.

Angela adalah anak tunggal, dan ini adalah ‘sweet seventeen’ nya. Maka tak heran, Papa dan Mamanya menggelar pesta ulang tahun yang cukup meriah dan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Semua mereka lakukan demi anak semata wayangnya, Angela Anastasya.


Aku merasa beruntung bisa menjadi salah satu teman dekat Angela. Tadinya aku sempat berfikir, mengapa dia yang anak sultan mau berteman denganku yang udik ini. Ternyata semakin kesini aku mulai tahu alasan Angela berdekatan dengan aku, semuanya untuk bisa ‘membeli’ sedikit kepintaranku. Namun, aku tidak mempermasalahkannya, toh aku bisa numpang hidup mewah selama jadi temannya. Meski tak jarang Mamak jadi pontang-panting, menuruti gaya kehidupanku yang ingin tampil seperti teman-teman yang lain, dengan tidak melihat latar belakangku.

Namaku Gendhis Utami. Kalau dalam bahasa Jawa bermakna manis. Mungkin dulu Mamak berharap aku menjadi perempuan yang manis dan lemah lembut. Namun, ternyata perangaiku tak semanis namaku. Aku tumbuh menjadi wanita tomboy yang cuek, dan keras kepala. Aku semakin menjadi setelah perceraian kedua orang tuaku.

Meski begitu, Allah menitipkan kelebihan lain. Otakku cukup cerdas, sehingga aku bisa masuk ke sekolah favorit dengan jalur beasiswa karena prestasi akademik yang aku miliki. Namun, perkembangan prestasiku tak sejalan dengan budi pekertiku. Cukup menyedihkan. Aku pintar, dan cerdas, tapi tidak beretika. Bahkan kepada Mamakku sendiri, tidak menghormatinya, sering membangkang, dan tak jarang membentaknya.

‘Uhuk! Uhuk!’

Mamak terbatuk-batuk. Suaranya terdengar parau. Namun, aku tak begitu mempedulikan kondisinya. Tetap saja aku pada keinginanku untuk keluar malam ini.

“Ndis, mau kemana kamu! Tolong jangan pergi ya? Mamak nggak enak badan, tolong kerokin sebentar saja,” pinta Emak mengiba.

“Nggak bisa, Mak. Malam ini Angela menyuruhku untuk tidur di rumahnya. Mamak tahu, rumah Angela itu seperti istana bagiku. Nggak mungkin aku melewatkan kesempatan ini. Disana aku bisa tidur di atas kasur busa yang empuk, tidak seperti dirumah, kasurnya sudah usang dan keras!” jawabku ketus, tak mengindahkan permintaan Mamak.

‘Uhuk! Uhuk!’

Terdengar lagi suara batuk yang keluar dari mulut Mamak, bahkan lebih sering. Namun, aku tetap tak acuh.

“Mak, aku berangkat dulu, cuma semalam saja. Besok pasti Gendis kerokin Mamak, kalau sudah dari rumah Angela.”

‘Braak!’

Aku menutup pintu dengan keras, kemudian berlalu ke rumah Angela. Dengan menaiki motor matic, pinjaman dari Angela. Malam ini pun aku menghabiskan di rumahnya dengan perasaan riang gembira, sedikit menikmati kemewahan yang Angela punya. Momen yang tak setiap waktu bisa aku nikmati.


Paginya, aku pulang dengan mata pedih karena kurang tidur, akibat begadang semalaman. Kantung mataku pun terlihat bengkak dan pucat. Kubawa langkah kakiku dengan gontai menuju rumah sederhana di ujung gang. Rumah semi permanen yang sudah nampak usang.

‘Krieet !’

Itulah bunyi saat kubuka pintu yang sudah minta diganti. Ketika masuk rumah ternyata sepi, aku langsung teringat Mamak yang tadi malam minta dikerokin.

“Mak, Mamak …, Gendhis pulang. Sini, Gendis kerokin.”

Tak ada sahutan, padahal biasanya pagi-pagi Mamak pasti sibuk di dapur. Aku segera menuju ke kamar Mamak. Seketika perasaan tak enak menyergapku. Benar saja, kulihat Mamak jatuh tersungkur masih dengan mukena yang membalut tubuhnya. Kemungkinan terjatuh setelah salat Subuh.

“Mak, Mamak …!”

Aku menjerit dan meraung meminta pertolongan. Kupeluk tubuh Mamak yang masih hangat, dengan susah payah kubawa ke atas ranjang. Berharap aku masih bisa memeluknya terus. Entah kenapa, tiba-tiba ada rasa takut kehilangan Mamak.

“Innalillahi wainnailaihi raji’un…,” ucap Pak Ustaz Ahmad, setelah memeriksa Mamak. Beliau datang setelah dijemput oleh tetangga depan rumahku.

Sebuah penyesalan memang selalu datang terlambat. Masih teringat permintaan Mamak malam tadi yang aku abaikan, demi ingin menikmati kemewahan sesaat. Kini, penyesalan sedalam apapun tak akan pernah bisa mengembalikan Mamak.

Aku jadi teringat salah satu ayat Al-Quran yang sering dibacakan oleh Pak Yazid, Guru Agama disekolahku, sebagai nasihat untuk murid-muridnya, yang dulu sering kuanggap angin lalu.

“Dan Rabb_mu telah memerintahkan kepada manusia, janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada_Nya. Dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari orang tua atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu, maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya.” (Q.S. Al-Isra : 23)

Beberapa menit berlalu, segala perbuatan dan kesalahanku pada Mamak berputar seperti sebuah film di otakku. Membuat aku semakin dalam tergugu dan berada dalam jurang penyesalan.


Seminggu setelah kepergian Mamak, aku menemukan sebuah bungkusan yang ada di almari. Aku membukanya dan seketika air mata menetes melihat mukena dan jilbab cantik yang masih bersegel itu.
Diatasnya ada selembar kertas dengan tulisan tangan Mamak.

Aku membaca dalam hati dengan linangan airmata. Kupeluk erat mukena dan jilbab pemberian Mamak, membayangkan Mamak berdiri di sampingku.

Teruntuk Gendis anakku.

“Berubahlah menjadi Gendhis yang lebih manis, Nduk. Gendhis yang sholihah dengan menutup auratnya dan tidak pernah meninggalkan perintah_Nya yang berupa salat lima waktu.
Ingatlah! Utamakan akhlakmu daripada ilmumu, karena saat kau berilmu tapi tidak berakhlak baik, maka semua akan rusak. Tetap berfikir positif karena jalan kebaikan itu selalu ada, dan tidak pernah ada kata terlambat untuk sebuah taubat.”

“Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.”
(Q.S. At-Taubah :104)

Menit berikutnya, kertas itu sudah basah oleh air mataku. Bijak sekali pesan Mamak, semua mungkin tidak akan percaya jika tulisan itu ditulis oleh seorang wanita yang sehari-harinya hanya menjadi buruh cuci dan setrika.

‘Terima kasih, Mak, telah menuliskan pesan bijak ini di akhir hidupmu. Kepergianmu membuka pintu taubat untukku. Semoga aku bisa istikomah. Akan ku ingat pesanmu sepanjang hayatku, Mak.”

Magelang, 4 Maret 2022

Bapak, Jangan Menangis
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Sepenggal Kisah Bersama Mbah
Hari Kartini, Momentum Literasi Perempuan
Perempuan dalam Interaksi Sosial (Maraknya Budaya Seks Bebas di Era Globalisasi)

Terkait

Terkini