Peradilan “Profesi” Belum Familiar Bagi Kita
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Peradilan “Profesi” Belum Familiar Bagi Kita
Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH UBAYA Surabaya
FENOMENA hidup bermasyarakat sering terjadi konfik antar pribadi, antar pribadi dan badan hukum privat serta dengan pejabat atau badan hukum publik. Bahkan sering pula terjadi konflik pribadi dengan orang yang dalam kapasitas sedang menjalankan profesinya.
Ini menunjukkan bahwa sudut pandang kajian ilmu hukum bisa dari berbagai aspek ilmu lainnya ketika orang bertindak dalam menjalankan profesinya. Contoh; dokter ada kodeki (kode etik) dan “peradilan” diatur dalam Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Di sana dikenal dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Artinya ketika dokter melakukan kesengajaan aborsi tanpa indikasi medis dan memerima imbalan, maka tidak perlu mengadu kepada MKDKI, langsung lapor proses pro yustisia ke Polisi-Kejaksaan dan PN serta vonis Pengadilan.
Tetapi ketika dokter diduga lalai, kurang hati-hati, tidak bisa sertamerta lapor ke Polisi, tapi wajib ke MKDKI untuk melihat apakah ini pelanggaran etik, maka akan direkomendasikan kepada MKEK. Jika pelanggaran disiplin dan standar profesi dokter maka dilapor ke MKDKI. Jika keluarga atau korban (pasien) yakin ada pelanggaran serius, maka wajib terlebih dahulu ke MKDKI. “Hakim” MKDKI berjumlah 11 orang sudah pasti profesi dokter dan dokter gigi dan ditambah 3 orang sarjana hukum yang sudah mempunyai pengalaman 10 tahun berkecimpung dalam profesi medis.
MKDKI akan memberikan peringatan tertulis, cabut STR atau cabut ijin praktik dokter atau dokter gigi. Atau merekomendasikan kepada aparat kepolisian adanya dugaan pelanggaran hukum perdata atau pidana. Jadi seharusnya polisi tidak bisa langsung panggil periksa dokter atau dokter gigi.
Sama hal dengan profesi advokat atau lawyer. Dalam Pasal 16 UU Advokat jelas dikatakan, lawyer ketika dalam menjalankan profesi mendampingi klien di dalam maupun di luar pengadilan, maka tidak bisa digugat atau dituntut pidana. Artinya ketika lawyer mengajari kliennya agar memberi keterangan palsu untuk memenangkan sebuah perkara di bawah sumpah di hadapan majelis hakim jelas wajib proses pidana. Apalagi disertai penetapan majelis hakim saat sidang berlangsung, bahwa klien dan lawyer terlibat memberikan keterangan palsu. Tetapi penelantaran klien dan lain-lain, tidak bisa sertamerta lapor ke polisi, tapi ke dewan kehormatan advokat daerah (provinsi) dan dewan kehormatan pusat (DPN Peradi) dengan sanksi etik/ disiplin sampai cabut ijin praktek.
Profesi perawat, bidan, notaris, akuntan publik. Dalam sengketa tenaga kerja juga dinas tenaga kerja sebagai “peradilan” non litigasi, dimana ada tawaran mediasi, konsiliasi serta arbitrase. Jadi pengadilan hubungan industrial adalah ultimum remedium (upaya terakhir).