Peradilan “Profesi” Belum Familiar Bagi Kita
Sekarang profesi yang juga sering menjadi sorotan publik adalah profesi awak media atau wartawan. Banyak sekali wartawan dilaporkan di aparat penegak hukum (APH) dianggap melakukan fitnah pencemaran nama baik. Pertanyaannya, apakah semua akan diproses dan menetapkan wartawan tersangka atau tidak dengan dasar lidik dan sidik? Pertanyaannya selanjutnya, alat ukur apa yang digunakan? Alat ukurnya UU Pers, dan Kode Etik Jurnalistik KUHAP dan KUHP. Artinya, jika polisi memeriksa oknum wartawan hanya menggunakan KUHAP dan KUHP maka hasil lidik atau sidik tidak sempurna dan kabur (prematur atau obscurr libel). Langkah yang dilakukan adalah polisi harur meminta pendapat (second opinion) dari Dewan Pers atau hadirkan salah salah anggota Dewan Pers yang memberikan pendapat hukum, apakah tindakan wartawan tersebut melanggar KUHP atau kode etik jurnalistik saja.
Terkait dengan fakta ada pemberitaan di media online bahwa ada penahanan seorang pemuda yang dalam keadaan mabuk diduga memecahkan lampu spion mobil Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata, yang katanya pelaku ini cucu dari Kepala Suku Nataia dan dikaitkan dengan pemberian lahan untuk pembangunan Makopolres Nagekeo. Apakah ini masuk kategori tindak pidana atau melanggar kode etik jurnalis, maka alat ukurnya adalah UU Pers dan kode etik jurnalistik dan bukan semata mata KUHP atau KUHAP.
Atas dasar logika hukum demikian, langkah lidik dan sidik atas laporan kepala suku di Polres Nagekeo, maka polisi menggunakan dua pendekatan meminta keterangan saksi (korban) dan keterangan ahli dari profesi Dewan Pers atau meminta second opinion dari majelis kode etik jurnalis apakah ini melanggar kode etik saja atau melanggar hukum (KUHP).
Terlepas dari mekanisme “peradilan” yang khusus demikian, tetapi bagi setiap kita yang menjalankan profesi wajib mawas diri, hati-hati, santun, obyektif, jujur dan mampu membedakan mana hal yang sifatnya privasi dan hal publik. Padahal jika berita kaitannya hak privat orang maka wajib dilakukan konfirmasi bukan asal berita saja. Apalagi tindakan penyerahan tanah suku Nataia atas nama suku kepada MakoPolres Nagekeo adalah ranah privat. Sehingga sangat tidak rasional dan mengada-ada, tergolong jika peristiwa penahanan pemuda yang katanya cucu kepala suku Nataia pelaku pengrusakan kaca lampu spion mobil Kapolres.
Tindakan penghadangan oleh para pemuda mabok-mabokan (miras) hadang mobil Kapolres dan memukul kaca lampu mobil adalah tindakan pidana pengrusakan barang milik pihak lain. Tidak ada korelasinya sama sekali. Tetapi apakah berita media ini termasuk fitnah atau pencemaran nama baik, maka yang bisa menentukan bukan polisi tetapi dewan pers sebagai lembaga profesi. Apapun alasannya yang kami mau katakan, bahwa dewasa ini nilai kewartawanan ini “hunter insting” (pemburu) berita, terkadang tidak terlalu tampak. Lebih banyak copy paste dan feeling subyektifnya yang kental. Terkadang berita juga karena ada yang pesan sponsor, akhirnya berita jauh dari aspek kebenaran obyektif dan clear.
Merasa Diciderai dengan Berita Bawa Nama Suku Kaitkan Tanah Polres, Wartawan Dipolisikan
“Tsk” Pembangunan Pasar Danga Mengerucut kepada Orang Nomor Satu
Quo Vadis Status Yayasan Nusa Nipa dan UNIPA di Nian Tana Sikka
Menanti Cicilan Visi-Misi Capres 2024, Sederhana namun Revolusioner!
Update Peta Koalisi Capres 2024: Prediksi dan Analisa, Sungguh di Luar Dugaan – “Anies-Maharani” Why Not?
Determinasi Demokrat Diuji, Include Koalisi Perubahan untuk Persatuan