Perbedaan Sunan – Sultan dan Panembahan (Sunan Kalijaga dengan 10 Filosofinya) bag. I

- Sultan selain berkuasa sebagai pemimpin wilayah (kerajaan), juga bertindak sebagai pemimpin spiritual (Islam) -

9 Januari 2023, 10:22 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Perbedaan Sunan – Sultan dan Panembahan (Sunan Kalijaga dengan 10 Filosofinya) bag. I

“Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sepisan”

SEBUTAN Sunan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari kata “susuhunan“ atau bisa disebut jari sepuluh, juga “sesembahan“.

Sunan sendiri bertugas untuk menyebarkan agama Islam terutama di daerah seluruh tanah pulau Jawa, hingga ada juga ke wilayah mancanegara sesuai dengan tugas yang diberikan masing-masing. Penyebutan sunan muncul pada era Mataram Islam yang terjadi pada abad ke-16, dan itu dipelopori oleh raja-raja Mataram Islam yaitu Susuhunan Amangkurat I (Mataram Pleret), kemudian penyebutan itu semakin menyebar luas ke seluruh masyarakat di pulau Jawa.

Sebelumnya, awal berdirinya dinasti Mataram Islam sekitar tahun 1580-an, sebutan untuk orang yang disembah atau dimuliakan dengan gelar Panembahan, yang artinya orang (tokoh) yang disembah atau sebagai junjungan (Yang Dipertuan). Panembahan berasal dari kata manembah yang artinya menyembah. Gelar ini umumnya berada di bawah gelar Sultan (Raja Besar). Namun gelar panembahan juga dimaksudkan untuk sebutan ahli spiritual/agama.

Sedangkan kata Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulṭān) adalah gelar dalam dunia muslim yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam penggunaannya. Umumnya, Sultan digunakan mengacu pada kepala monarki muslim yang berkuasa atas sebuah negara Islam. Sultan selain berkuasa sebagai pemimpin wilayah (kerajaan), juga bertindak sebagai pemimpin spiritual (Islam).

Sedangkan Sunan lebih spesifik untuk gelar khusus sebagai ahli agama Islam, tokoh siar, penyebar dan dakwah Islam, yang umumnya urusan pimpinan kemonarkian tidak menjadi domain Sunan secara institusi (formal), meskipun pengaruhnya kuat secara pemerintahan seperti halnya gelar Sultan.

Contoh Gelar dan Sebutannya
Di bawah ini contoh gelar dan sebutannya dalam konteks kekuasaan dan siar Islam.

1) Sunan era Wali Papat hingga Wali Songo
Sunan pada era ini, di antaranya tokoh, seperti ; Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Kudus, hingga Sunan Kalijaga, dsb. Pada era ini berlangsung dari era Majapahit akhir, Kerajaan Demak hingga Kerajaan Pajang.

Sunan pada periode ini, menurut pendapat B Ari Koeswanto ASM, para Sunan yang dimaksud belum disebut sebagai Sunan. Sunan pada periode ini dalam kesatuan politik global Islam sebagai majelis dakwah perwalian yang telah membentuk secara organisasi, khusus bertindak sebagai pemimpin agama penyebar Islam. Untuk urusan kerajaan secara pemerintahan dipimpin oleh seorang Raja dengan sebutan Bhre, Dyah, hingga Prabu. Misalnya, Bhre Kertabumi, Prabu Adiwijaya.

Catatannya, pada saat Raja Demak dan Pajang berkuasa, yaitu Raden Fattah dan Prabu Adiwijaya, apakah benar-benar sudah disebut atau menggunakan gelar Sultan, dan kerajaannya apakah benar sudah berbentuk monarki Kesultanan, hal ini masih simpang-siur. Seperti; Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang.

2) Panembahan
Sebutan ini contohnya; Panembahan Senopati Ing Alaga, atau Danang Sutawijaya perintis dinasti Mataram setelah Kerajaan Pajang Prabu Adiwijaya. Bertakhta tahun 1586 Masehi.
Gelar lengkapnya “Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.”

3) Sultan
Gelar Sultan pertama kali digunakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma di Kesultanan Mataram. Sultan Agung cucu dari Panembahan Senopati yang naik takhta tahun 1613 M. Pada era ini kerajaan secara institusi sudah berbentuk kesultanan yang dipimpin oleh seorang Sultan.

Sultan Agung juga disebut Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi, dengan gelar takhta “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi”. Pada era ini kerajaan Mataram yang berbentuk monarki kesultanan disebut dengan “Daulat Nuubil Mataram”.

4) Gelar Sunan untuk Raja
Terjadi pada era Mataram Pleret, kelanjutan dari Kesultanan Mataram Sultan Agung, yaitu Amangkurat I, putra dari Sultan Agung.
Amangkurat I sebaga raja disebut dengan “Susuhunan Amangkurat Kapisan (I)” tahun 1646.

Gelar takhta penobatannya, “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I”

Selanjutnya gelar sebutan dan gelar takhta/penobatan ini berlaku hingga periode Mataram Kartasura akhir. Bila dihitung dari naik takhta Amangkurat I hingga Pakubuwana II, berlangsung dari tahun 1646-1749.

Raja terakhir Mataram Kartasura adalah Sri Susuhunan Pakubuwana II adalah raja Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726–1742 di Kerajaan Keraton Kartasura dan menjadi raja pertama di Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749.

Terkait

Terkini