Perempuan, Sastra dan Euforianya

Nusantarapedia.net–Perempuan, Sastra dan Uforianya
Sastra adalah dunia yang sangat dinamis. Perkembangan sastra dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena karakter generasi ke generasi yang juga berbeda-beda.
Generasi sastrawan memiliki gaya bersastra yang beragam dari masa ke masa, sehingga menghasilkan karya yang beragam pula. Dengan adanya perubahan-perubahan itu muncullah istilah periodisasi sastra.
Awal kemunculan sastra sebelum abad ke-20 adalah periode pujangga lama. Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri. (situsbahasa.com).

Periode selanjutnya adalah sastra melayu lama, berkembang antara tahun 1870 – 1942 di lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Angkatan balai pustaka atau disebut angkatan ’20. Angkatan ini bertujuan memberikan pendidikan dan mencerdaskan bangsa melalui bacaan. Kartini belia memprimadonai gerakan menulis pada angkatan ini.
Angkatan ini bercirikan; (1) Bersifat kedaerahan karena mengungkap pokok persoalan di daerah tertentu saja, khususnya Sumatra Barat. (2) Cenderung romanti-sentimental di mana tokoh utama dalam roman angkatan ini kebanyakan dimatikan atau mengalami penderitaan yang luar biasa. (3) Bertema sosial, tidak mengandung unsur politik, tidak menyinggung golongan tertentu, dan tidak pula memihak satu agama.
Karya sastra yang paling terkenal dari angkatan ini adalah karya Kartini berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) berupa kumpulan surat kartini kepada pemerintah belanda saat itu. Selain itu novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Kedua novel ini memiliki tema kritik social terhadap adat-adat kolot yang membelenggu masyarakat saat itu. Tema kritik social ini juga yang pada akhirnya paling sering muncul dalam karya-karya penulis angkatan balai pustaka.
Periode pujangga lama hingga angkatan balai pustaka di dominasi oleh penulis laki-laki. Perempuan pada masa-masa itu belum memiliki akses sosial dan ruang yang cukup untuk beraktualisasi. Memang jika kita menengok kembali ke masa lalu, posisi perempuan kala itu benar-benar tidak menguntungkan, terkesan lemah dan menjadi warga kelas dua.
Budaya Katuranggan Oleh Pria Jawa
Mereka berada di bawah bayang patriarkhi feodalis. Bahkan sebelum peradaban Islam datang, perempuan hanya merupakan obyek pemuas nafsu, alat jual beli dan hadiah persembahan. Jangankan menyampaikan aspirasi lewat tulisan atau lewat apapun, bahkan merekapun tak bisa merdeka atas kedaulatan tubuhnya.
Sastra dan Perempuan
Tercatat dalam buku sejarah bahwa ada beberapa nama penulis perempuan dalam periode sastra. Periode 1933-1942, ada Selasih atau Seleguri yang bernama asli Sariamin Ismail. Ada juga Hamidah atau Fatimah H. Delais (1914-1953), roman yang ditulisnya berjudul Kehilangan Mestika (1935), yang menceritakan kesedihan karen kehilangan buah hati.

Lalu, muncul lagi Adlin Affandi dan Sa’adah Alim. Sa’adah Alim berani menentang adat. Dialah satu-satunya wanita penulis skrip drama waktu itu. Menjelang Jepang datang, muncullah Maria Amin yang menulis sajak di majalah Poedjangga Baroe. Maria Amin kala itu merasa kecewa dengan kehidupan sosial politik kala itu, ia pun menyampaikan gagasan-gagasannya dalam dunia simbolik.
Setelah perang kemerdekaan atau sekitar tahun lima puluhan, muncullah nama-nama penulis wanita yang lebih banyak. Di antaranya adalah Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani). Walujati dan St. Nuraini lebih dikenal sebagi penyair. S. Rukiah dikenal sebagai penyair sekaligus penulis prosa.
Waktu bergulir dan generasi sesudah Ida Nasution, lahirlah N.H. Dini. Cerpen-cerpennya menunjukkan perhatiannya terhadap kepincangan-kepincangan sosial.
Road Map Sastra Jawa
Hingga periode 1962 sampai tahun 70-an, perempuan pengarang mulai bertaburan di dunia sastra Indonesia. Nama-nama seperti Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Erni Siswati Hutomo, Titie Said, Enny Sumargo, Rayani Sriwidodo, Mira W, Marga T, La Rose, dan lain-lain. Tiga perempuan pengarang terakhir dikenal karena fiksi romantis yang mejadi ciri novel yang ditulisnya.
Periode tahun 1990-an sampai sekarang muncullah sejumlah perempuan penulis yang semakin banyak. Artinya, ruang dan akses untuk perempuan semakin terbuka sejak masa-masa awal kelahiran sastra Indonesia. Di periode ini kita mengenal Dorothea Rosa Herliany, Nenden Lilis Aisyah, Ayu Utami, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Fira Basuki, Ana Maryam, Ratih Kumala, Dewi Sartika, Ani Sekarningsih, dan lain-lain.

Uforia Drama Perempuan Dalam Fiksi
Setelah pereode milenial, tahun 2000-an ke sini, penulis perempuan terutama genre fiksi semakin menjamur. Bahkan tak jarang karyanya menjadi inspirasi para sineas dan produser untuk menayangkannya di layar lebar. Ini semakin menginspirasi penulis muda Indonesia untuk berkarya menulis.
Semangat berkarya inilah yang juga mengilhami munculnya beberapa sekolah literasi yang kini justru telah berbasis online. Kemudahan beraktualisasi bagi perempuan semakin terbuka lebar manakala media-media baik cetak maupun online semakin menjamur. Artinya, ruang bagi perempuan semakin banyak dan lebar.
Terlebih, saat media sosial memuncaki trend milenial. Masifnya karya fiksi perempuan semakin tak terkendali pada pereode ini. Namun, sayang, genre romantisme yang mengumbar sensualitas, sensitivitas persoalan rumah tangga hingga yang berbau tahayul, horror dan mistis mendominasi trend kepenulisan digital.
Maraknya portal-portal grup berbasis online dan media sosial semakin mempermudah karya-karya ini berpenetrasi dan dibaca khalayak. Kemudahan ini merupakan cerminan minimnya filter dari meja redaksi. Artinya pula, ada pergeseran budaya.
Bagaimana dulu perempuan susah payah menembus meja redaksi demi menyuarakan aspirasi, dari situlah kemudian mereka mempelajari kaidah-kaidah kepenulisan baku hingga tulisan layak diterima oleh redaksi.
Bagaimana pula para penulis perempuan dulu mengutamakan riset di setiap tulisan-tulisan mereka demi kredibilitasnya sebuah karya.
Kini, seiring terbukanya akses media sosial untuk banyak genre tulisan, pakem-pakem tersebut mulai bergeser (untuk tak bicara –hilang-).
Perempuan kini, lebih bebas menangis pilu dalam tulisan, tak perlu mengindahkan kaidah-kaidah penulisannya, juga lebih bebas mengumbar emosi tanpa berpikir nilai edukasi apa yang ingin dan harus disampaikan. Mau tak mau, diakui atau tidak inilah karakter produk fiksi yang berbasis media sosial kekinian.
Tentu, bukan hal seperti ini yang diidealkan masyarakat literasi, kendati sastra sendiri adalah duania yang dinamis. Namun, penikmat sastra juga tak perlu risau, masih banyak penulis-penulis mumpuni yang masih setia menjujung tinggi kaidah-kaidah kebahasaan juga kode etik kepenulisan.
Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia Berdasar Periodisasinya
Masih banyak penulis perempuan yang menjaga nilai-nilai kebangsaan dan moralitas di tengah maraknya penulis-penulis muda dan pemula yang miskin etika dan hanya berorientasi mengejar cuan dari aplikasi berbayar, meskipun kualitas karyanya masih jauh dari ideal.
(Oleh: Ika Nidaul Haq, disampaikan pada forum Ari Ks Center, 24 Juni 2021)