Perempuan, Sosok Penanggung Hutang

Beban kerja yang tidak imbang ini adalah beban ganda (double burden) atau di mana perempuan pada banyak situasi dan banyak budaya (terutama pada negara-negara patriarkat) menanggung beban ganda dari kehidupan keseharian

11 April 2022, 07:39 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Perempuan, Sosok Penanggung Hutang

“Tanggung jawab ekonomi secara hukum agama dan konstruksi sosial jatuh pada laki-laki. Sementara istri yang bekerja adalah upaya lebih untuk membantu keuangan keluarga, atau untuk memenuhi hajat perempuan itu sendiri,”

Mbak, aku pengin curhat. Aku pengin pinjam uang. Buat ngganti uang arisan sembako. Ini ‘dah dekat waktunya dibagi.”

Sederet kalimat itu tiba-tiba muncul di gawaiku. Dari seorang perempuan. Chat WhatsApp (WA) yang tiba-tiba muncul tanpa permisi dan salam basa basi.

Kujawab seperlunya, bahwa akupun sedang sangat membutuhkan banyak biaya untuk membangun rumah. Intinya aku tak bisa meminjamkan padanya sejumlah uang.

Mbak, aku mau ke rumah ada? Aku ada perlu. Mau pinjam uang untuk lunasi hutang PKK. Kalau tidak aku akan dikeroyok ibu-ibu se-RT.

Orang yang berbeda, dan tentunya masih perempuan. Melayangkan maksud padaku lewat pesan WA. Singkat dan padat kujawab pesan itu dengan jawaban serupa tempo hari. Ya, faktanya begitu. Aku sendiri sedang membutuhkan banyak biaya untuk membangun rumah.

Setidaknya ada empat orang perempuan menghubungiku dengan kepentingan yang sama karena uang kelompok yang diamanahkan padanya telah terpakai. Kondisi mereka sama. Panik, kalut, dan takut dikeroyok.

Bulan puasa, rata-rata harga kebutuhan meroket. Minyak goreng, sembako, bahkan BBM pun ikut naik. Rakyat menjerit. Untuk mengisi kebutuhan perut saja banyak yang berjuang mati-matian.

Perempuan ikut bekerja serabutan apapun itu untuk menambah penghasilan. Juga demi bisa tetap bertahan dan tak dapat dipungkiri, ingin merayakan Idulfitri dengan baju baru dan kudapan-kudapan enak yang berjejer di atas meja. Berlebihankah? Tentu tidak. Itu kebiasaan yang telah mengkultur.

Masyarakat Indonesia akan berburu pakaian baru dan makanan-makanan enak menjelang Idulfitri. Faktanya memang hampir tidak ada perempuan muslim dengan kondisi psikologis normal, tak menginginkan hingar bingarnya hari raya. Artinya, ada beban ganda yang tertanggung pada perempuan yang menanggung hutang menjelang hari raya. Sementara hutang yang lalu itu, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Tanggung jawab ekonomi secara hukum agama dan konstruksi sosial jatuh pada laki-laki. Sementara istri yang bekerja adalah upaya lebih untuk membantu keuangan keluarga, atau untuk memenuhi hajat perempuan itu sendiri.

Idealnya, hutang yang dialokasikan untuk kebutuhan hidup bersama adalah tanggung jawab bersama. Faktanya, perempuan jauh lebih cemas dengan hutang-hutang rumah tangganya. Sementara perempuan pun juga bekerja demi hasrat bisa berhari raya. Lalu bagaimana dengan para suami?

Banyak laki-laki yang tak menyadari beban perempuan saat pandemi menjadi lebih berat. Terlebih mereka yang berniaga, kebijakan pembatasan sangat mempengaruhi penghasilan.

Sementara tanggungan hutang bulanan yang harus diangsur tak bisa ditunda. Banyak perempuan yang akhirnya banting stir ikut bekerja serabutan. Belum lagi beban belajar anak di rumah.

Fungsi mengajar beralih dari guru ke orang tua. Sementara suami memberi jatah bulanan dengan nominal yang sama seperti sebelum pandemi bahkan berkurang karena efek pandemi tersebut.

Akhirnya, kesulitan-kesulitan itu membuka peluang bagi perempuan untuk membuka lubang pinjaman lagi ke titik yang lain. Bahkan hingga beberapa titik.

Saatnya hutang itu harus kembali, banyak dari mereka yang akhirnya kalut. Mengapa? Karena mereka kesulitan mengkomunikasikan pada pasangannya.

Sementara para perempuan ini tak bisa menanggung sendiri akibatnya, meskipun ia telah fatal dalam langkah mengambil keputusan, yakni melakukan pinjaman tanpa diketahui pasangan.

Beban perempuan juga termanifestasi melalui kekhawatirannya atas kemarahan pasangan (laki-laki) sementara laki-laki tidak berbuat banyak untuk mengahadapi kesulitan ekonomi di masa-masa pandemi.

Istilah yang umum disebut untuk beban kerja yang tidak imbang ini adalah beban ganda (double burden) atau di mana perempuan pada banyak situasi dan banyak budaya (terutama pada negara-negara patriarkat) menanggung beban ganda dari kehidupan keseharian.

Di sisi lain, secara sosio kultural ketidakadilan gender dalam hal hutang untuk memenuhi kebutuhan domestik ini dibebankan sepenuhnya kepada perempuan dan seakan-akan ini merupakan tanggung jawab perempuan.

Pada masyarakat modern, tuntutan kehidupan saat ini semakin bertambah terutama bidang sosial dan ekonomi. Semua ini mengakibatkan status perempuan tidak lagi sebagai ibu rumah tangga saja, melainkan dituntut peranannya dalam berbagai kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti turut bekerja membantu suami, bahkan untuk menopang ekonomi keluarga.

Belum lagi jika pada hal-hal kasuistik, perempuan terjebak pada hutang demi menutup kebutuhan keluarga.

Hutang dan Gaya Hidup

Gaya hidup kini tak hanya monopoli masyarakat perkotaan. Virus lifestyle ini sudah menjalar ke pedesaan. Gaya hidup yang dianut oleh masyarakat saat ini adalah gaya hidup modern yang telah meninggalkan kesederhanaan sebagai ciri masyarakat pedesaan.

Sistem hutang piutang dalam masyarakat pedesaan ini begitu beragam. Salah satunya adalah pemilihan tempat hutang tanpa agunan, seperti fasilitas hutang yang disediakan dalam suatu kelompok, di mana sumber dana adalah modal bersama. Dipinjamkan dengan bunga tertentu tanpa jaminan. Hanya diikat dengan kesepakatan waktu pembayaran.

Tujuan berhutang masyarakat desa pun juga beragam. Pertama, memenuhi kebutuhan primer yang memang tak bisa dikaver oleh penghasilan. Kedua, memenuhi kebutuhan sekunder untuk kebutuhan eksistensi dan gaya hidup, seperti; kendaraan, barang eletronik, skin care dan kebutuhan eksistensi lainnya. Kebanyakan masyarakat pedesaan berhutang masih dalam tujuan memenuhi kebutuhan pokok karena sumber finansial yang rendah.

Namun tak disangkal, kebutuhan eksistensipun juga menuntut untuk mereka penuhi. Akhirnya, hutang menjadi jalan keluar untuk mewujudkan.

Berkaitan dengan kebutuhan eksistensi, teori gaya hidup dalam aspek adaptasi individu terhadap kondisi sosial yang dilakukan secara aktif dalam tindakan sosial individu dalam pemenuhan kebutuhan dan sosialisasi dengan orang lain.

Adaptasi di sini adalah adaptasi seperti halnya kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk atas dasar kesamaan memiliki hutang. Ini seperti virus. Tidak terdesak kebutuhan sekalipun, ketika kelompok melakukan pinjaman atau hutang, secara psikis akan timbul keinginan berhutang pula.

Jadi, beban ganda perempuan memanglah sebuah perjalanan panjang perempuan dalam menjalankan perannya. Perjuangan untuk memperolah kesetaraaan masih harus ditimpa beban-beban yang lain. Namun, terkadang justru perempuan itu sendiri yang menciptakan beban. Demi eksistensi rela berhutang dan akhirnya menjadi sosok penanggung hutang.

Perempuan dan Kerentanan Gangguan Mental
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Tinjauan Kritis Beban Perempuan dengan Anak Penyandang Disabilitas
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia
Bank Keliling dan Cara Menghindarinya

Terkait

Terkini