Pergeseran Fungsi Teknologi Digital untuk Misi Kemanusiaan

12 Februari 2022, 22:03 WIB

Nusantarapedia.net–Pergeseran Fungsi Teknologi Digital untuk Misi Kemanusiaan | Jurnal-Kemanusiaan

Mudahnya akses teknologi informasi membuat seseorang dengan orang lain menjadi mudah terhubung. Tidak hanya lokal bahkan kita bisa berkomunikasi dan berkepentingan dengan orang-orang lintas negara tanpa halangan.

Kemudahan ini membuat seseorang bebas mengungkapkan hajatnya tanpa harus phisycal interaction. Teknologi digital berperan banyak hal dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Bidang kemanusiaan, misalnya.

Betapa banyak kematian dapat ‘ditunda’ berkat teknologi digital yang berkembang. Seseorang bisa mengirimkan pesan ke orang lain tentang kedaruratan yang butuh segera penanganan. Pasien sakit yang butuh pengobatan, seseorang atau kelompok yang butuh suaka, dan upaya search and rescue atas musibah dan kebencanaan.

Bahkan kita bisa selalu update bencana peperangan yang menjadi isu internasional, tentang jumlah korban dan akses informasi dan akomodasi jika ingin mengirimkan bantuan kemanusiaan tanpa kita harus ke lokasi bencana.

Dahulu, begitu tingginya angka kematian terhadap ibu melahirkan dan bayinya, disebabkan selain faktor transportasi juga terhambatnya informasi kepada tenaga kesehatan. Kini, resiko melahirkan sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari melalui teknologi digital (aplikasi pada gadget) tanpa harus tatap muka dengan tenaga kesehatan.

Namun semua itu perlu ketepatan dan kecepatan mengambil keputusan. Teknologi digital sangat membantu mewujudkan hal ini.

Naiknya gelombang pasang inovasi penggunaan teknologi ini selain berdampak berkurangnya angka kematian di bidang kesehatan, juga memiliki dampak lain yaitu euforia penggunaan teknologi digital dalam bentuk digitalisasi kemanusiaan yang berlebihan dan justru cenderung memanfaatkan momen untuk sebuah eksistensi keakuan.

Kegiatan kemanusiaan adalah kegiatan yang menghadirkan penuh kerelaan bertindak total dalam kepayahan dan kelelahan tanpa bayaran. Ini spirit masyarakat yang belakangan ini  tumbuh. Sesuatu yang baik ketika empati dan simpati akhirnya menjadi bagian dari hidup bersosial.

Kesinambungan dan kelangsungan hidup terwujud ketika satu sama lain saling menutup kekurangan, saling membenahi yang rusak, dan saling menghidupkan kembali yang nyaris mati.

Kegiatan kemanusiaan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 adalah kegiatan yang bersifat meringankan penderitaan sesama manusia yang dengan tidak membedakan agama atau kepercayaan, suku, jenis kelamin, kedudukan sosial atau kriteria lain yang serupa.

Sementara pelaku kegiatan kemanusiaan biasa disebut relawan, mereka yang rela membantu meringankan beban tanpa imbalan, dan meng ‘zero’kan segala kepentingan pribadi. Seiring meleknya masyarakat terhadap teknologi, seolah menggeser nilai-nilai yang coba dibangun dari misi kemanusiaan itu sendiri.

Lagi-lagi ego narsisme, dan keakuan atas eksistensi. Tak jarang kita temui aksi-aksi kemanusiaan yang telalu didramatisir agar ‘sang penolong’ terekspos dan viral. Terlepas dari aksi narsistik itu untuk kepentingan pertanggung jawaban maupun laporan, namun tetaplah nilai-nilai yang terkandung dalam misi itu menjadi bias.

Lagi-lagi kemudahan mengakses teknologi digital berupa gadget, membuat aksi kemanusiaan bisa disetting semau yang berkepentingan. Kita bisa saksikan berhamburan aksi-aksi kemanusiaan yang dibumbui aksi memfoto diri sendiri demi sebuah pengakuan telah melakukan misi tersebut.

Bahkan tak jarang manusia modern melakukan swafoto di tengah-tengah bencana. Ya, inilah dampak negatifnya, teknologi digital telah menciptakan masyarakat dengan krisis moral yang serius.

Internet Positif, Korelasi Netizen Journalism dan Pengaruh Buruk Medsos

Menurut Yasmin Ibrahim, ahli media dari Queen Marry University di Inggris menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari ‘pornografi bencana’ atau ‘selfi bencana’. Dia menilai ini adalah perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri di tengah-tengah bencana.

Sedangkan menurut Carl Gustav Jung, pakar psikoanalisis terkemuka, secara alamiah manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal itu menghibur diri kita, namun kita tidak langsung terkena dampaknya. Ketika melihat penderitaan orang lain, seseorang mendapat kesempatan untuk menertawakan orang lain.

Freud, dalam psikoanalisis-nya berpandangan narsisme adalah cinta pada diri sendiri. Orang yang narsis, kagum terhadap dirinya sendiri, ia sering berdiri di depan kaca untuk memperhatikan kecantikannya atau kecakapannya.

Sama seperti orang yang suka memanfaatkan teknologi digitalnya untuk narsis pada kegiatan kemanusiaan, biasanya menyimpan motif agar misi kemanusiaannya dilihat dan diketahui banyak orang, atau bahkan agar mendapat simpati bahkan pujian.

Di era digital ini memang suatu even tak bisa dipisahkan dari upaya dokumentasi. Hal itu dimaksudkan sebagai arsip yang memang harus dimiliki suatu kelompok untuk kepentingan administrasi tertentu.

Caregiver, Antara Kebutuhan dan Pandangan Ketabuan Masyarakat

Namun, ini sangatlah berbeda dengan budaya narsisme yang sedang nge-trend. Manusia modern dengan kekayaan pengetahuannya tentu bisa membedakan apakah suatu tindakan itu beradab atau tidak, memuat etika atau tidak.

Dengan begitu, akan tumbuh kepekaan dimana melakukan tindakan narsistik di tempat yang tepat.

(Oleh: Ika Nidaul Haq, disampaikan di forum Ari Ks Center, 18 April 2019)

Terkait

Terkini