Perguruan Tinggi Sebagai Rujukan, Bukan Panggung Politik
PT harus dikembalikan pada hakikat, fungsi dan tujuannya, jangan sampai larut dalam formalisme birokrasi yang menjauhkan semangat akademik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, baik secara etik dan intelektual
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pendidikan — Perguruan Tinggi Sebagai Rujukan, Bukan Panggung Politik
“Dibukanya kran-kran politik di kampus adalah untuk menjunjung tinggi semangat demokrasi untuk melahirkan kehidupan politik yang etik, bermartabat dan berimplikasi sebagai kaum cendekiawan. Aspek pembangunan manusia yang spiritual dan material harus mampu diproduksi oleh kampus sebagai lembaga ‘kawah candradimuka’.”
HEBOH! Sebanyak 353 dosen dari 13 Fakultas di Perguruan Tinggi (PT) Universitas Gajah Mada (UGM) menolak usulan pemberian gelar untuk guru besar kehormatan kepada individu-individu dalam kategori nonakademik. Hal itu termasuk yang saat ini kian marak diberikan oleh institusi pendidikan tinggi yaitu Perguruan Tinggi, berupa penganugerahan gelar kepada individu/tokoh dan pejabat publik, seperti gelar honorary professor atau guru besar (profesor) kehormatan.
Saat ini, sikap penolakan dari civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan argumentasi akan melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
Penolakan tersebut dilakukan oleh 353 dosen dari 13 Fakultas di UGM melalui surat yang tertanggal 22 Desember 2022, ditujukan kepada Rektor UGM.
Adapun dalam penolakan tersebut, terdapat 6 poin sebagai argumentasi pihak civitas akademika UGM, yakni;
Pertama, gelar profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban akademik. Dengan demikian, kewajiban tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor nonakademik.
Kedua, pemberian gelar guru besar kehormatan atau honorary professor kepada individu yang berasal dari sektor nonakademik tidak sesuai dengan asas kepatutan: we are selling our dignity.
Ketiga, pemberian gelar honorary professor seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan gelar jabatan akademik profesor.
Keempat, jabatan honorary professor (profesor kehormatan) tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM. Justru sebaliknya, pemberian gelar profesor kehormatan akan merendahkan marwah keilmuan UGM.
Kelima, pemberian profesor kehormatan ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik.
Keenam, pemberian profesor kehormatan (honorary professor) seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon profesor kehormatan tersebut berdasarkan pertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.
Atas desakan tersebut, perbedaan pendapat pun muncul di kalangan civitas akademika UGM, meski rerata ikut mendukung aksi penolakan tersebut.
Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM, Dr. Andi Sandi Antonius mengatakan; “Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent (bijaksana-red) sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga,” kata Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM, Dr Andi Sandi Antonius dalam keterangan resminya, Kamis (16/2/2023), seperti dilansir dari jogja.antara.news.com.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof. Koentjoro turut menolak usulan profesor kehormatan. Menurutnya, untuk mencapai jabatan akademik tertinggi tersebut, dosen harus menapaki tahap demi tahap yang tidak mudah, mulai dari asisten, asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga puncaknya adalah profesor.
Tanggapan lainnya dari Sekretaris Rektor UGM Wirastuti Widyatmanti mengatakan, pada dasarnya UGM menghargai setiap pandangan untuk dihargai dan dihormati. Prinsip tersebut yang menjadi dasar UGM untuk melakukan kajian terhadap Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 tersebut.
“Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada Kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depan” kata Wirastuti.