Perguruan Tinggi Sebagai Rujukan, Bukan Panggung Politik
PT harus dikembalikan pada hakikat, fungsi dan tujuannya, jangan sampai larut dalam formalisme birokrasi yang menjauhkan semangat akademik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, baik secara etik dan intelektual
Independensi Perguruan Tinggi
Mengutip dari pendapat Raillon dalam Syarbaini (2009:24), Perguruan Tinggi adalah sebuah alat kontrol masyarakat dengan tetap terpeliharanya kebebasan akademis terutama dari campur tangan penguasa. Perguruan Tinggi juga merupakan agen utama pembaharuan dalam kehidupan bernegara.
Pemberian profesor kehormatan ini berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar/jabatan akademik kepada seseorang, maupun tujuan tertentu, yang mana kepentingan seseorang atau lembaga tersebut sering digunakan untuk tujuan prestise (gebyar), melegitimasi diri, seolah-olah sebagai golongan cendekiawan yang pantas dijadikan sebagai panutan dalam hal etik maupun intelektual. Sering hal itu berlaku bagi oknum/orang yang punya jabatan publik/politik, partai, organisasi, institusi/lembaga, dsb. Dalam pokok bertujuan politis untuk masuk di panggung politik.
Tak hanya gelar kehormatan yang itu khusus, praktek gelar Sarjana Strata-1 dan 2 atau gelar Doktor kadang diobral dengan murah dan mudahnya. Bahkan seorang pejabat publik atau pejabat lainnya, rerata bergelar Strata-2. Padahal dari sisi keilmuannya, tidak tercermin dari caranya berbicara, bersikap dan mengambil kebijakan/keputusan, terlebih pada fakta karya-karya ilmiah, sama sekali nihil, bila ada pun, bukan karya orisinil. Praktik joki-menjoki karya ilmiah masih terus terjadi.
Parahnya, bila terjadi pelacuran pada PT yang menjadi pers rilis ikut merilis data-data “palsu” untuk menggiring opini publik atas perintah kekuasaan. Misalnya, kajian AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang harusnya berbahaya pada lingkungan hidup di angka 70 persen, dikatakannya aman, sekedar menuruti kehendak oligarki kuasa atau perintah oligarki bisnis; energi dan sumber daya mineral, contohnya.
Sungguh tidak etis lagi ketika PT mau merilis data-data kemiskinan atau data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di suatu wilayah misalnya, yang dinarasikan di atas rata-rata IPM. Padahal prakteknya, kualitas kehidupan terus menerus di bawah standar IPM, contohnya.
Yang marak lagi misalnya, PT ikut-ikutan dengan dalil alasan riset-sinergitas, dsb., misalnya riset tingkat kepuasan publik terhadap pemimpin A atau B, yang sebenarnya skor 60 dikatakan dengan tingkat kepuasan 90. Dan kasus-kasus lainnya. Di atas hanya variabel saja.
Nampaknya sikap dari civitas akademika UGM tersebut bisa dibaca sebagai bentuk kejengahan institusi kampus yang sudah bergeser dari tujuan utamanya dengan triger; honorary professor, padahal dunia PT (kampus) saat ini sudah sangat melenceng dari hakikat-fungsi dan tujuannya secara praktik, maka harus benar-benar berbenah, terutama pada relasinya dengan output dan outcame yang dihasilkan dengan kenyataan (praktik) tata kelola penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Tentu, bukan dalam pengertian semuanya menjadi tugas kampus.
PT harus dikembalikan pada hakikat, fungsi dan tujuannya, jangan sampai larut dalam formalisme birokrasi yang menjauhkan semangat akademik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, baik secara etik dan intelektual.
Terlebih, kampus tidak boleh berporos atau berafiliasi pada salah satu kekuatan politik, atau mengikuti kemana arah angin berhembus. Independensi, kenetralan harus tetap dijaga, karena sebaliknya, peran PT adalah penjaga demokrasi dan lembaga pencerah dalam konteks sosial-politik dan budaya. Dibukanya kran-kran politik di kampus adalah untuk menjunjung tinggi semangat demokrasi untuk melahirkan kehidupan politik yang etik, bermartabat dan berimplikasi sebagai kaum cendekiawan. Aspek pembangunan manusia yang spiritual dan material harus mampu diproduksi oleh kampus sebagai lembaga “kawah candradimuka“.
Maka kampus (PT) harus benar-benar berdiri sebagai lembaga check and balances, penyambung lidah rakyat, agent of change, dsb., terkait dengan kelembagaannnya, dan sumber daya manusia (SDM), terlebih bila menyangkut aspek keuangan, harus benar-benar clear and clean dari pengaruh-pengaruh yang berpotensi membelenggu kemerdekaan berfikir dari semua aspek.