Perguruan Tinggi Sebagai Rujukan, Bukan Panggung Politik

PT harus dikembalikan pada hakikat, fungsi dan tujuannya, jangan sampai larut dalam formalisme birokrasi yang menjauhkan semangat akademik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, baik  secara etik dan intelektual

17 Februari 2023, 22:10 WIB

PT Penyeimbang Oligarki Politik dan Ekonomi
Dunia saat ini sudah sangat pesat sekali perkembangannya. Perubahan tata kelola penyelenggaraan berbangsa dan bernegara di seluruh dunia terus berubah. Seringkali sebuah negara terjebak pada dimensi kepentingan kekuasaan dan bisnis, yang mana khalayak (rakyat) menjadi korban ketidakadilan yang dibalut dengan seribu narasi kebenaran. Di sinilah institusi PT diharapkan sebagai rujukan pada keduanya yang mencerminkan nilai-nilai kebenaran, ketika diawali dengan mencetak lulusan yang “perfect” tanpa harus terperosok dalam jerat sistem di dalamnya.

PT harus mampu memberikan pencerahan (rujukan) pada penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang “good government” terkait dengan arus politik, misalnya, pada sisi penyelenggaraan kepemerintahan. Hal-hal seperti pendidikan politik-hukum-ketatanegaraan, dsb., adalah bersumber dari keilmuan dan standar etik yang diterapkan oleh PT agar menjadikan praktik-praktik penyelenggaraan yang sehat, cerdas dan berimplikasi pada pembangunan manusia.

Di satu sisi, oligarki ekonomi yang terus mencengkeram kuat dunia pada tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkorelasi dengan hajat hidup masyarakat luas harus diseimbangkan melalui riset ilmu pengetahuan yang jujur. Tentu menjadikan tata kehidupan yang seimbang. Kampus harus mampu menyeimbangkan praktik pembangunan-isme yang telah mengeksploitasi sumber daya manusia dan alam dengan dalil ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai lompatan kemajuan yang jauh dari keadaban.

Ini memang tantangan besar, kualitas pendidikan yang dihasilkan oleh PT pada output dan outcame-nya harus terdapat relasi di dalamnya. Jangan sampai kemudian, gelar akademik yang didapat tidak ada relasinya dengan praktik kehidupan bersama dalam bidang ideologi politik, sosial budaya, iptek, dsb., atau dalam pokok bidang-bidang tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan.

Meski juga harus diakui, kampus (PT) telah banyak melahirkan orang-orang (lulusan) yang pintar dan cerdas secara individu, namun tidak ada korelasinya dengan tujuan penyelenggaraan kehidupan bersama.

Dengan demikian, penolakan civitas akademika UGM akan kasus seperti di atas adalah sikap yang benar dan jelas sebagai pembuka tabir, selanjutnya tergantung kemauan.

Bila mengacu pada regulasi yang ada menyangkut tata kelola PT, tentu kiranya seabrek aturan telah diterbitkan, seperti UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dan peraturan lainnya yang mengatur hal hakikat, fungsi dan tujuan pendidikan, seperti halnya Tri Dharma Perguruan Tinggi, misalnya.

Nah, kuncinya adalah, bagaimana kampus (PT), mau berubah, konsisten dengan tugas pokok dan fungsinya, bahwa standar etik dan ilmu pengetahuan-teknologi, standar pembangunan spiritual dan material memproduksi kualitas manusia yang ideal ada pada PT. Tak salah, PT adalah pusat rujukan, bertindak sebagai rekomendasi kepada para penyelenggara, dan penyeimbang oligarki ekonomi atas riset-riset yang diberikan kepada pihak pemerintah maupun swasta, dimana letak kebenarannya melingkupi semua aspek keilmuan. Tak lain bila itu ditarik pada konteks ke-Indonesiaan secara konstitusi adalah, sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa.

B Ari Koeswanto ASM | pemerhati budaya Nusantara

Arah Pendidikan Nasional
Soneta Tatengkeng, ”Berikan Aku Belukar” Kekayaan Semesta yang Terabaikan dalam Proses Pembelajaran
2023, Dicari Cendekiawan yang Jujur dan Mendobrak, Menyentuh Wacana Publik Tujuan Indonesia
Hidup kok, Dibuat Ribet! “Urip kok, Sajak Angil” (Sebuah Harapan)
Tolak! Jabatan Kades Skema 9X2 Bukan Pula 6X3, Dorong Revisi UU Desa 5X2

Terkait

Terkini