Permohonan Uji Materiil Presidential Threshold Ditolak MK
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Saldi menyebutkan dalil-dalil pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD adalah tidak beralasan menurut hukum. Pemohon juga mengajukan dalil-dalil lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum, Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud. Begitu pula dengan provisi pemohon yang meminta Mahkamah menyatakan Kaidah hukum tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia, menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau kabur sehingga harus dikesampingkan.
Sebelumnya, Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan. Kerugian tersebut berdasarkan anggapan Pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten.
Selanjutnya Pemohon menilai, terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna “bila” yaitu terkandung makna “Kondisional bersyarat”. Menurut Pemohon, kesalahan dimaksud karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna “kondisional bersyarat” tersebut maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud, sehingga secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan 2 (dua) kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut Pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang. Sehingga, Pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) kali masa jabatan harus dihapus. Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (***)
Sumber: Mahkamah Konstitusi
YLBHI: Penerbitan Perpu Cipta Kerja Kudeta Atas Konstitusi
Aksi Buruh dan Mahasiswa Di Depan Gedung DPR, Rocky Gerung Berorasi
Papua Jadi 6 Provinsi, Berapa Alokasi Kursi untuk Pileg 2024
Analisis Kekuatan Kursi dan Suara Partai dengan 2 hingga 4 Koalisi Pasangan Capres
Menanti Sikap DPR! Bagaimana Kelanjutan Perpu Ciptaker
Sri Mulyani Prosesor Keuangan Negara, Bila Undur Diri Apakah Mungkin?