Pikiran Boleh Dimanipulasi, Tetapi Tetaplah Konstruktif
Nusantarapedia.net | PENDIDIKAN — Pikiran Boleh Dimanipulasi, Tetapi Tetaplah Konstruktif
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
– cara berfikir yang konstruktif dengan runutan yang koheren, adalah cara untuk menguji sejauh mana sesuatu hal dikatakan fakta atau fiksi, sekalipun fakta hasil dari proses fiksi berupa opini/hipotesa, dan fiksi hasil dari abstraksi dan imajinasi faktual. Maka, sistem berfikir itu tidak bisa untuk mengkonfirmasi sebagai jaminan sebuah kalkulasi tertentu yang sifatnya matematis, atau dalam konteks ini sebagai wujud cita-cita riil –
“Cilakanya, kadang kita itu memandang sesuatu tidak secara utuh, penempatannya pun salah, sudut pandangnya salah, akibatnya; output peradaban sosial yang dihasilkan berupa wujud kekaryaan dari koherensi ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan dirumuskan dari hasil ide dan gagasan berupa pikiran menjadi salah (salah duluan), terbalik-balik. Produk kekaryaaan atau kebijakan yang dihasilkan dengan kualitas “nir nilai-nilai universal”, karena pikiran sejak dalam rahim pun sudah salah total, padahal itu dasar dari segala dasar.”
RADEN Eris Garini mengatakan, “Bajak atau ‘hack’ pikiranmu, demi kualitas hidupmu”.
Di atas adalah petikan atau out line pidato sambutan Raden Eris Garini, Kepala Sekolah SMK N 1 Dawuan, Subang di lingkungan sekolahan, yang belakangan ini viral. Eris menjadi viral di jagat sosial media sejak pertengahan 2023 yang lalu, yang mana dalam pidatonya Eris bertindak sebagai seorang motivator.
Penampilannya dalam setiap pidato-pidatonya sungguh “enak” untuk dilihat dan didengarkan. Bagaimana kemampuan komunikasinya dan esensi pidato hingga gesturnya, sungguh memikat.
Namun tunggu dulu, ada hal yang perlu dicermati dari pidato pada topik di atas. Untuk lebih jelasnya, simak video ini dengan cermat, apa esensi yang disampaikannya.
https://www.facebook.com/share/v/6RthApJo4hEmVUou/?mibextid=xfxF2i
Eris mengawali pidatonya dengan mengutip quote dari ahli spiritual dan pendidik dari Canada berkebangsaan Jerman, Eckhart Tolle.
“You don’t use your mind it uses you”.
“Kamu tidak menggunakan pikiranmu, tapi pikiranlah yang menggunakan kamu”.
Kemudian ada kalimat kunci yang Eris katakan, “Pikiran itu tidak mengenal fakta atau bukan (fiksi/imaji)”.
Setelah mendengar apa yang disampaikannya, saya setuju, setuju dalam arti, Eris bertindak sebagai motivator atau psikolog dalam posisinya sebagai pendidik (guru), yang mana bermaksud memberikan semangat kepada peserta didik dalam proses menuju pencapaian diri, terutama penekanannnya pada aspek mental. Eris mencoba mengkoneksikan antara pikiran – tindakan atau perbuatan (respon) dalam menuju cita-cita (peserta didik).
Secara kontekstual itu benar (motivator), sifatnya membangun kepercayaan diri, bagaimana agar peserta didik (siswa) dalam prosesnya menuju cita-cita sebagai wujud pencapaian diri agar siswa fokus. Fokus pada apa yang akan dikerjakan berdasarkan pikiran-pikiran imajinasi yang diciptakan untuk memanipulasi mental dan serangkaian data/fakta analitik lainnya, ditambah mengesampingkan aspek empirik dengan maksud agar tindakannya atau perbuatannya tepat/berhasil dengan pikiran-pikiran yang diisi bermuatan positif (steril), sebagai bentuk proses menuju tujuan, tidak menghiraukan aspek-aspek negatif (eksternal) yang menurut Eris itu timbul hanya dari kendali pikiran individu sendiri (internal).
Memang, apa yang disampaikan Eris bersifat kasuistik terhadap respon tubuh atau perilaku dan perbuatan yang parsial – insidental. Maka yang mengendalikan perbuatan itu murni dari pikiran diri sendiri (ditimbulkan) yang maka pikiran tidak mengenali mana fakta dan fiksi. Tapi perlu diingat, bahwa variabel kutipan itu tidak dapat diberlakukan universal, terlebih latar belakang seorang Eckhart Tolle dari basis spiritualitas yang berada pada domain fiksi internal. Atau itu berlaku untuk yang sifatnya kasuistik saja, seperti; penyembuhan mental, dan kegiatan program-program jangka pendek tertentu.
Nah, bila simpulannya demikian, berarti “pikiran” yang dimaksud dalam rangka mencapai tujuan bersifat manipulatif, karena hanya didasarkan pada faktor internal. Cilakanya, bila manipulasi pikiran yang diciptakan dari hanya sumber internal itu, yang sebenarnya juga didapatkan dari faktor eksternal, diimajinasikan — diimplementasikan dengan ‘salah’, akibatnya menjadikan fatal, seperti pribadi yang ego. Dan cilakanya dipahami oleh peserta didik untuk memahami (diterapkan) pada nilai-nilai universal, maka akan berbahaya, karena bisa saja menjadikan pribadi yang abai terhadap lingkungan, egois dan sebagai pribadi yang mementingkan kepentingan sendiri, bahkan nir etika dan moral secara sosial.
Lantas, bila itu kasuistik, bagaimana dasar pikiran itu dijalankan (operasional) secara universal?