Pilih Mana? Gibran Gubernur Jawa Tengah atau DKI Jakarta
Bila Jokowi berhasil menata atau menghantarkan capres yang diharapkan berhasil sebagai presiden, maka Gibran akan mudah nyagub dimanapun, bila Jokowi gagal dalam memerankan orkestrasi Pilpres 2024, maka pintu keberhasilan nyagub Gibran juga tipis
Solo sebagai kota asal dari Presiden Jokowi yang juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo, telah beredar isu sejak dari dulu, seperti dikembalikannya DIS dengan wilayah eks-Karesidenan Surakarta, atau menjadi Provinsi Surakarta dengan wilayah eks-Karesidenan Surakarta dan eks-Karesidenan Madiun Jawa Timur. Setidaknya hingga kini isu tersebut terus bergulir.
Yang dahsyat saat ini adalah, sekitar 75% Menteri Kabinet Indonesia Maju, dari total 34 Menteri, hanya 9 Menteri yang belum melakukan kunjungan kerja ke Solo untuk bertemu dengan sang Wali Kota Solo Gibran. Apa urgensinya bila itu menyangkut tata kelola penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam hubungannya antara pemerintah pusat dengan daerah.
Jelas spesial, Gibran adalah putra dari Presiden, seandainya itu terjadi massive, wajar, dengan dalil kunjungan kerja, membangun komunikasi, dsb. Meskipun status Kota Solo sama saja dengan status sekitar 415 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebagai argumentasi daerah khusus atau tertinggal, misalnya. Dibaca bahwa gaya feodalistik-nya nampak sekali. Terlebih kunjungan-kunjungan tersebut berdekatan dengan proses politik Pemilu 2024 yang dibaca sebagai upaya komunikasi untuk kepentingan strategis 2024, baik Pileg maupun Pilpres. Tentu motivasi para pejabat lainnya, misalnya dibaca agar tidak terkena resuffle kabinet, karena sebelumnya berhembus isu Presiden akan bongkar pasang kabinet.
Sebagai contoh kunjungan kerja Prabowo Subianto (Menhan) ke kota Solo beberapa waktu yang lalu, jelas nampak bahwa kepentingan Prabowo berharap Jokowi akan menjatuhkan pilihannya untuk mendukung Prabowo menuju RI 1. Pun, akhirnya semakin terang benderang, bahwa DPD Gerindra Jawa Tengah (Abdul Wahid), sudang terang-terangan menyatakan dukungannya untuk Gibran bila maju sebagai calon gubernur Jawa Tengah (Jateng).
Jokowi meskipun dalam struktural partai bahwa PDIP adalah komando (prerogatif) sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, bukan berarti posisi Jokowi lemah yang dianggap tidak bisa berbuat banyak dari PDIP untuk di orkestrasi. Jokowi tetap menjad faktor (Jokowi Faktor) bagi warga PDIP maupun relawan. Hingga saat ini pun, posisi Jokowi terus diperhitungkan sebagai poros “penentu” dalam kaitannya dukungan/penataan untuk Pilpres 2024, selain Jokowi sendiri memperjuangkan calon presiden pilihannya sendiri yang hingga saat ini masih belum jelas, dan melalui kendaraan apa. Itu, yang sampai saat ini masih terus diformulasikan.
Artinya, tokoh-tokoh nasional siapapun itu, yang datang ke Solo menemui Gibran, ditangkap sama saja membangun komunikasi dengan Jokowi (ayahanda) guna kepentingan masing-masing yang dipandang strategis untuk Pemilu 2024, apakah itu Pilpres, Pileg dan Pilkada.
Dengan demikian, bila dimaping sederhana, wacana Gibran menjadi Gubernur Jawa Tengah adalah jalan tol, mengingat secara kultural, Gibran (dinasti Jokowi) jelas dalam satu kultur budaya Jawa Tengahan, yang tidak sesulit untuk menyesuaikan kultur yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan menuju kursi Gubernur DKI Jakarta, dari aspek sosiologis.
Posisi Gibran dalam kepentingan pencalonan Gubernur di kedua provinsi tersebut, jelas VVIP secara politik bila kendaraan itu PDIP. Ini tergantung sejauh mana lobi-lobi antara Jokowi dan Megawati, meskipun di Jawa Tengah, andaikan Gibran tidak melalui PDIP pun akan mudah bagi Jokowi untuk mengkondisikan partai politik sebagai kendaraan. Itu karena Jokowi faktor, meskipun bassis PDIP juga basis Jokowi. Namun poinnya, terciptanya kesepakatan politik antara Jokowi dan Megawati adalah langkah mudah bagi Gibran.
Dari sisi calon-calon yang akan muncul (bertarung) di Pilgub Jateng, tentu akan berfikir dua kali bila berkompetisi melawan dinasti Jokowi.
Hal itu berkebalikan bila Gibran nyagub di DKI Jakarta, akan banyak tokoh-tokoh kaliber nasional, dimana rivalitas itu akan sesak. Nama-nama seperti Ridwan Kamil, bahkan Anies, AHY, Sandiaga Uno, tetap berpeluang dan berhasrat untuk maju di Pilgub DKI, sebagai skenario kedua bila upaya pencapresan sesak. Dan, menjadi gubernur DKI sejatinya bagai RI 2. Disinilah Gibran akan menghadapi proses pencalonan Pilgub 2024 yang sama rumitnya menuju Pilpres 2024. Selain diperlukan penyesuaian kultural bagi Gibran yang secara sosiologis entitas Jakarta berbeda dengan Jawa Tengah.
Sampai saat ini, melihat dinamika yang berkembang, peluang Gibran yang realistis adalah Gubernur Jawa Tengah, bila dibandingkan nyagub di Jakarta. Namun demikian, sejatinya melihat potensi keberhasilan Gibran menuju kursi Gubernur tak jauh dari representasi kiprah (positioning) Jokowi dalam arah politik di Pemilu (Pilpres 2024). Bila Jokowi berhasil menata atau menghantarkan capres yang diharapkan berhasil sebagai presiden, maka Gibran akan mudah nyagub dimanapun, bila Jokowi gagal dalam memerankan orkestrasi Pilpres 2024, maka pintu keberhasilan nyagub Gibran juga tipis.
Disini Jokowi tetap dipandang dalam konteks kepemimpinanannya dalam memimpin Indonesia hingga 2024 untuk melanjutkan program-programnya oleh Presiden selanjutnya.
Dengan kesimpulan, tetaplah yang dipandang bukan sosok Gibran-nya, kembali pada Jokowi Faktor.
Saat ini yang terpenting bagi keluarga Jokowi (dinasti), bagaimana ending positioning Jokowi atau orkestrasi Jokowi menata Pilpres 2024, berhasil atau tidak, disitulah pertaruhannya.
B Ari Koeswanto ASM | pemerhati budaya Nusantara
Jalan Menuju Pilpres 2024, Rumit-Pelik! Ruwet-Mbulet-Mbundet!
Chemistry Konser Dewa 19-Gerindra, Anies dan AHY Nobar-Sinyal Pasangan 2024
Prabowo “The Special One” Gubernur DKI, Apakah Berlaku Baginya di 2024? (Selamat HUT Gerindra ke-15)
Anies Dibaca Dapat Tiket, Lantas Pilih AHY atau Khofifah? Bagaimana Jika Ganjar bahkan Puan?
Analisis Kekuatan Kursi dan Suara Partai dengan 2 hingga 4 Koalisi Pasangan Capres
“Problem Internal” yang Disimplifikasi