Pinjam Dulu Seratus, Please, dech!

Meme adalah bentuk etnografi virtual yang dihadirkan di ruang maya dari representasi praktis di wilayah publik

4 Oktober 2023, 11:01 WIB

Nusantarapedia.net | JURNAL, PUSPAWARNA — Pinjam Dulu Seratus, Please, dech!

Oleh : B. Ari Koeswanto ASM

Meme sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan politik atas keberhasilan dan kegagalan kebijakan pemerintahan. Meme dijadikan sebagai alat influence hingga jurnalisme watchdog atas ketidakadilan kebijakan. Ya, jargon ‘no viral no justice’ melalui meme di medsos merupakan cara ampuh sebagai pemecah kebuntuan untuk menembus sekat-sekat yang selama ini aspirasinya tidak didengar. Seperti jalan yang rusak, korupsi, atau kelakuan para oknum pegawai yang tidak pantas, dalam konteks ketika penyelenggaraan pemerintahan tidak ada goodwill, tidak menampakkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang good government — governance”

Ya, memePinjam Dulu Seratus”, adalah tamparan keras bagi kita semua, bahwa pendapatan per kapita kita yang saat ini di angka USD4.500-5.000, harusnya minimal kita dengan pendapatan per kapita USD100.000 atas “fakta bumi emas tanah airku.” Hampir setara dengan Singapura.

DIGITALISASI adalah keniscayaan, bahwa dunia ini sudah dan akan berubah total menuju kebaikan sebagai peta jalan. Melalui teknologi digital berbasis internet dengan produk turunannya, merubah segala-galanya tata laksana (tatanan hidup) manusia di bumi. Perubahan mendasar itu esensinya ada pada kecepatan membawa pesan. Pendek kata, itu adalah arus komunikasi. Komunikasi itu menjadi mainstream dan segala-galanya untuk berbuat — melakukan sesuatu — memegang kendali penuh.

Ya, revolusi industri 1.0 menuju 2.0, dari hadirnya mesin uap bertransformasi menjadi berbasis kelistrikan, berkembang ke bentuk yang lebih canggih dengan hadirnya teknologi otomatisasi (3.0), hingga benar-benar berubah ke tatanan baru dengan hadirnya teknologi pintar berbasis internet (4.0). Semua itu untuk kemudahan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Di saat era 4.0 sedang on going hampir mengglobal, di beberapa komunitas tertentu desain yang super canggih sudah mulai dikembangkan dan ditawarkan (on proggres), yakni lahirnya kecerdasan buatan AI (artificial intelligence). Proses perubahan dari era 4.0 ke era kecerdasan buatan ini, nantinya disebut dengan era Society 5.0 AI. Artinya, tidak sekedar transformasi teknologinya dari 4.0 ke era AI, tetapi tata laksana hidup itu sudah membentuk pada tujuan kehidupan bersama di bumi berdasarkan asas kesetaraan (linier).

Ya, era Society 5.0 adalah era bagi manusia di bumi sebagai “Masyarakat Super Pintar”, dari awalnya sekedar konsep menjadi praktis di semua hal/bidang, tatanan dan tataran. Manusia mampu menghadirkan kehidupan yang setara, bermartabat, berkemanusiaan dengan hadirnya lompatan (desain) baru hal ekonomi dan sosial. Integrasi itu tetap berbasis teknologi internet yang beroperasi di ruang maya dan fisik. Percayakah kita?

Lantas, bagaimana kita? Hemat penulis sementara ini, era 4.0 dan transformasi 5.0 hanyalah pepesan kosong belaka. Pada intinya, itu hanyalah bakulan produk saja. Itu hanyalah aspek bisnis semata. Mereka (kelompok pencipta) hanya ingin menguasai  dunia saja. Menguasai manusianya dan segala sumber daya bumi. Ya, realitanya, hidup manusia tak jauh lebih baik dari ukuran kemanusiaan, namun justru terjerat pada bentuk baru yang menyandera kehidupan manusia yang otentik. Era 4.0 itu terlebih 5.0, mereka menawarkan harapan, kepalsuan (realita) yang dibuat-buat. Seolah-olah ada masanya, warga dunia berada dalam garis yang linier dengan tetap berciri evolusioner, tak terbatas namun selaras. Memang menawarkan hasrat keinginan yang menggiurkan! Padahal sekumpulan big data kita sedang dikumpulkan.

Percaya atau tidak, dari zaman ke zaman, kapitalis selalu menemukan bentuk barunya dengan bermacam-macam narasi. Mereka membuka lahan baru, menciptakan sistem, memproduksi jerat demand and supplay dan menjadikan tata kelola baru perniagaan barang dan jasa dalam kendali sistem keuangan, hingga kendali penuh di semua aspek, yang akhirnya telah masuk menguasai hajat sosiologis suatu bangsa. Pun dengan ragam arsitektur digital yang menjadi keharusan dalam tata kelola pemerintahan — bernegara, baik administratif dan penyelenggaraan sosial. Pada implementasinya di semua tatanan justru tidak equivalent dengan manfaat efektif dan efisien atau kemajuan yang didapat vs kerugian ekonomi dan dampak manusianya, seperti aspek mental korelasinya dengan pembentukan konstruksi kebangsaan suatu negara hingga  capaian tertentu.

Itulah belenggu neo-kapitalisme, neo-liberalisme gaya baru yang telah mengular dalam kompleksitas ruang-ruang baru. Contoh kecil, Indonesia darurat internet, salah satunya adalah maraknya praktik judi online berkedok game online dan jasa peminjaman uang melalui aplikasi pinjol (pinjaman online). Pertanyaannya, adakah manfaat internet yang nyata bagi bangsa dan negara Indonesia? Ataukah justru semakin terjerat dan menjadikan miskin (melarat). Ya, miskin segala-galanya, aspek materiil dan spirituil.

Maka dari itu, digitalisasi yang dimaksud hendaknya digunakan sebagai peta jalan untuk mencapai tujuan dengan menyerap ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Hanya saja masalahnya, tak sedikit dengan massive-nya menukar waktunya dengan hiburan, judi online, pinjol, dan aktivitas nyampah lainnya. Di sinilah perlu dihitung betul untung ruginya terkait dengan potensi demografi, generasi Z, hingga kalkulasi strategis lainnya, bukan sekedar trend, namun produktivitas yang nyata.

Maka, kembali harus dipikirkan serius, agar kita (Indonesia) tidak terus merugi, maka kedaulatan digital itu mutlak. Jangan justru mendorong ekosistem digital menjadi keharusan disaat kita tidak memegang kendali sedikit pun, menjadi target pasar empuk saja.

Ilustrasi pantun pinjam dulu seratus
MemePinjam Dulu Seratus

Terkait

Terkini