Poin-poin Konstruksi APBN 2023 (2)

Lantas bagaimana peta jalan APBN 2023. Padahal jelas dalam proyeksinya untuk sektor subsidi BBM dikurangi, jaring pengaman sosial dikurangi, seperti yang include pada dana Covid-19. Juga, tidak ada lagi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) di 2023.

18 Agustus 2022, 22:58 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Poin-poin Konstruksi APBN 2023

“Sebelumnya kuota Pertalite dari 23 juta KL bertambah menjadi 29 juta KL, maka subsidinya tembus di angka Rp600 triliun. Angka tersebut sama dengan 25% total pendapatan APBN. Dampaknya tentu menjadikan keuangan negara tidak sehat.”

Sinyal Kenaikan Harga BBM Subsidi

Dengan membengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi energi hingga Rp502 triliun, nampaknya akan terjadi kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi, membaca sinyal dari pemerintah.

Wacana kenaikan BBM jenis RON 90 atau Pertalite, lantaran tidak mungkin lagi menambah dana subsidi untuk energi dengan menambah kuota BBM bersubsidi.

Untuk konsumsi BBM jenis Pertalite sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) sudah mencapai 16,8 juta kilo liter (KL) per Juli 2022, dari total kuota sampai akhir tahun 2022 sebesar 23 juta KL. Dengan demikian, tinggal tersisa 6,2 juta KL.

Untuk kuota BBM Solar Subsidi sebagai Jenis BBM Tertentu (JBT), tahun 2022 ditetapkan kuota sebesar 14,91 juta KL, sudah terserap 9,9 juta KL atau tersisa 5,01 juta KL.

Jika solusinya kuota ditambah, maka pemerintah akan menambah dana subsidi, yang mana dengan perhitungan kuota tersebut dengan alokasi sebesar Rp502,4 triliun. Mampukah APBN menambah kuota atau menambah dana subsidi tersebut. Artinya, jumlah pengguna BBM bersubsidi akan jauh lebih besar dari kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah.

Dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (15/8/2022), M. H. Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR tidak setuju dengan adanya tambahan subsidi.
“Tidak ada penambahan subsidi, pilihan yang bisa ditempuh pemerintah adalah menaikkan harga energi yang disubsidi dengan mempertimbangkan dampak inflasi dan daya beli rumah tangga miskin,” ungkapnya.

“Banggar DPR tidak akan mengubah alokasi subsidi energi pada tahun ini. Banggar DPR juga telah lama menyarankan kebijakan reformasi kebijakan subsidi energi. Sebaiknya pemerintah segera menjalankan kebijakan reformasi subsidi energi,” paparnya.

Dengan rambu-rambu tidak setujunya DPR merubah alokasi subsidi energi, maka solusinya adalah dengan melakukan penyesuaian harga Pertalite, dalam pokoknya menaikkan harga Pertalite.

Hal tersebut dikemukakan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. “Kalau memang gak ada alokasinya (penambahan) itu, ya kita harus sesuaikan (harga Pertalite), iya dong kalau gak naik gimana?” “Kita yang terbaik buat negara supaya ke depannya (negara bertahan), harga minyak mentah aja gak turun-turun ya, to,” kata Arifin, (15/8/2022), dikutip dari CNBC.

Sebelumnya, Menteri Investasi atau Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia saat pembahasan dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang menolak adanya penambahan subsidi melalui tambahan kuota BBM Pertalite dan Solar Subsidi, mengatakan;

“Saya menyampaikan sampai kapan APBN kita akan kuat menghadapi subsidi yang lebih tinggi, jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang feeling saya harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi,” kata Bahlil di Gedung Kementerian Investasi, Jumat (12/8/2022).

Masuk akal bila DPR berpendapat demikian, sebagai contoh ilustrasi yang disampaikan Bahlil.

Harga minyak mentah Indonesia dalam APBN 2022 ditetapkan sebesar US$ 63 per barel, dengan harga minyak rata-rata Januari – Juli telah tembus US$ 105 per barel. Jika harga minyak saat ini berada di level US$ 100 per barel, maka nilai subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah dapat mencapai Rp500 triliun.

Jika harga minyak berada di level US$ 105 per barel dengan asumsi kurs dollar di APBN rata-rata Rp 14.750, dengan sebelumnya kuota Pertalite dari 23 juta KL bertambah menjadi 29 juta KL, maka subsidinya tembus di angka Rp600 triliun. Angka tersebut sama dengan 25% total pendapatan APBN. Dampaknya tentu menjadikan keuangan negara tidak sehat.

Untuk menyikapi hal tersebut, Ketua Banggar DPR, Said Abdullah menyarankan agar kenaikan harga BBM dilakukan secara bertahap per 3 bulan. Tujuannya agar kenaikan secara drastis dihindari agar masyarakat tidak mengalami tekanan.

“Naikkan saja bertahap per 3 bulanan,” kata Said, Senin (15/8/2022), dikutip dari CNBC.

Selain itu, menurut Said pemerintah juga akan menaikkan LPG 3 kg dan listrik pada daya tertentu.

“Sesegera mungkin Pemerintah menaikkan harga Pertalite, LPG 3 Kg, dan listrik bersubsidi, karena kalau tidak disegerakan akan makin menggerus kuota pasokan energi subsidi. Apalagi terjadi gap harga yang jauh antara Pertalite dengan Pertamax,” paparnya.

Menanggapi hal tersebut, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menyatakan, untuk penyesuaian kenaikan harga BBM Subsidi merupakan kewenangan dari pemerintah. Pihaknya sebagai operator akan melaksanakan apa yang menjadi penugasan dari regulator.

Sementara itu, Sri Mulyani (Menteri Keuangan) menegeskan akan terus memantau sejumlah indikator dalam menentukan kecukupan anggaran subsidi energi untuk menjaga harga BBM di tengah kenaikan harga minyak dunia.

“Nanti kami lihat volume, harga, nilai tukar, itu memengaruhi. Tapi kami akan lihat perkembangan yang ada di dunia,” kata Sri Mulyani, Senin (15/8/2022), dikutip dari CNBC.

Yang bisa dilakukan saat ini, Sri Mulyani meminta PT Pertamina (Persero) untuk melakukan langkah-langkah guna mengendalikan konsumsi BBM agar tidak makin membebani APBN. Mulyani menyoroti volume penggunaan (konsumsi) BBM sudah terlampau tinggi.

“Tapi memang volume sangat melebihi kalau dibiarkan, jadi ini nanti pasti akan menimbulkan suatu persoalan mengenai berapa jumlah subsidi yang harus disediakan dari tambahan,” kata Sri Mulyani.

Melihat kenyataan saat ini khusus pada sektor subsidi energi saja seperti itu dilemanya. Lantas bagaimana peta jalan APBN 2023. Padahal jelas dalam proyeksinya untuk sektor subsidi BBM dikurangi, jaring pengaman sosial dikurangi, seperti yang include pada dana Covid-19. Juga, tidak ada lagi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) di 2023.

Indonesia yang ketiban “durian runtuh” kata Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu, bahwa itu terjadi hanya dalam jangka pendek, tidak akan terjadi lagi, terlebih di tahun 2023.

Dengan demikian, di sisa waktu anggaran APBN 2022 ini atau semester II, apakah jumlah 40 persen masyarakat rawan miskin yang mudah terjungkal akan tumbuh ekonominya. Bagaimana pendapatan hariannya atau usaha kecilnya mampu tumbuh dan berkembang dalam waktu 4-5 bulan mendatang hingga akhir tahun, sebagai modal antisipasi kenaikan BBM dan pengurangan jaring pengaman sosial di 2023. Hal tersebut yang perlu dipikirkan di APBN 2023 melihat dari dua parameter saja, yakni subsidi energi dan pencabutan alokasi PEN.

Tentu, hal tersebut masih bisa dianalisa tingkat bertahannya bagi 60 persen kategori non rentan miskin, meski di bagian tertentu juga terganggu. Namun yang perlu diselamatkan adalah 40 persen masyarakat rentan miskin. Yang mesti dijaga adalah bagaimana tumbuh kembangnya roda perekonomian, kekuatan produktivitas-nya bagi pelaku usaha kecil. Hal tersebut tentu berpengaruh dengan sektor konsumsi rumah tangga atau terkait dengan daya beli masyarakat.

Sedangkan saat ini saja, dengan adanya wacana kenaikan BBM di 2022, perlu diperhatikan dampaknya pada roda ekonomi, yang mana lagi-lagi akan berpengaruh langsung dengan tingkat daya beli dan produktivitas bagi rakyat kecil, terutama 40 persen kelompok rentan miskin tersebut. Belum lagi bila skenario kenaikan listrik dan LPG diberlakukan. Bagaimana dampaknya?

Dengan demikian, sisa waktu di 2022 ini benar-benar menjadi pertaruhan sebagai kunci APBN 2023. Seperti sebelumnya yang dikatakan presiden, bahwa situasi di 2023 lebih sulit dari tahun 2022.

Untuk sektor yang lain seperti pembangunan infrastruktur, atau proyek strategis nasional (PSN) baik yang dibiayai APBN maupun investasi dengan skema-skema pembiayaan, yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana hal tersebut langsung ber-effect pada tingkat produktivitas masyarakat bawah. Mengingat, pembangunan infrastruktur yang dilakukan diproyeksikan untuk pembangunan Indonesia jangka panjang. Artinya, hasilnya akan dipetik di masa mendatang. Seperti halnya program presiden Jokowi untuk memaksimalkan potensi ekonomi dengan hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri. Meskipun terdapat pengaruhnya langsung dengan ekonomi mikro, misalnya pada program “padat karya” proyek tersebut yang menyerap tenaga kerja, itu tidak berlaku menyeluruh dalam konstruksi ekonomi rakyat bawah secara keseluruhan.

Maka, kita percaya bahwa di tataran ekonomi makro, APBN 2023 dan sisa 2022 ini tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya dalam proyeksi pemerintah maupun praktiknya saat ini di level kebijakan. Seperti pertumbuhan ekonomi di 2023 dengan target 5,3 persen, tetapi itu makro. Padahal yang perlu diperhatikan jangan sampai berdampak langsung pada ekonomi mikro rakyat bawah, terutama 40 persen masyarakat rentan miskin tersebut. Dan kita percaya, andai BBM Subsidi dinaikkan dan konstruksi APBN 2023 seperti di atas, masyarakat kelas bawah juga tetap mampu bertahan dan berjalan. Mengapa? Karena tingkat ketahanan dari rakyat sudah teruji, terbiasa dalam keadaan yang serba sulit secara kultural. Meskipun sebenarnya yang terjadi telah mengorbankan “indeks pembangunan manusia” di bawah rata-rata.

(Selesai)

Poin-poin Konstruksi APBN 2023 (1)
Optimalisasi Pajak dan PNBP Genjot Penerimaan Pendapatan Negara 2023 Rp2.443,6 Triliun dalam Proyeksi
Lima Agenda Besar Nasional Menuju Indonesia Maju
Hilirisasi dan Industrialisasi Dalam Negeri, Kunci Tambang Ekonomi ala Jokowi
Indonesia Mampu Hadapi Krisis Global, Bangun Indonesia Maju dengan 4 Kekuatan

Terkait

Terkini