Pola Asuh Anak dan Kisah Tagore
Urusan merawat anak, mengemong anak, dan segala urusan domestik lainnya sekarang berpindah ke tangan pembantu. Orang tua mereka sekarang sibuk bekerja mencari uang. Pada saat-saat itulah, anak cenderung terbuang, dan menjadi korban.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pendidikan — Pola Asuh Anak dan Kisah Tagore
Pola Asuh Dahulu dan Sekarang
PADA zaman sekarang, orang tua sangat berbeda dengan orang tua di masa lampau. Perbedaan itu begitu mencolok dalam banyak hal. Salah satu hal yang tampak, yaitu dalam hal pola asuh. Pada masa lampau, orang tua memiliki warisan pengetahuan. Berbekal tradisi dan pengetahuan dari orang tua sebelumnya, mereka mendidik berdasarkan kebajikan dan petuah-petuah nenek moyang. Ada nilai-nilai falsafah yang tidak dapat dinafikkan begitu saja.
Jika dahulu justru dijadikan pedoman atau referensi tindakan atas sikap manusia, tetapi mitos saat ini lebih cenderung dianggap sebagai sebuah takhayul, kuna, dan tidak ”kekinian”. Orang-orang tua dahulu kaya sekali dengan mitologi semacam itu. Orang tua kita di masa lalu begitu memegang teguh ajaran dan warisan pengetahuan yang turun-temurun itu. Tidak heran orang di masa lampau menjalani hidup dengan begitu luwes dan penuh harmoni. Kehidupan rukun, tenggang rasa, dan saling menghormati menjadi bagian tidak terpisahkan dalam keluarga di masa lampau.
Kemajuan teknologi ikut membawa pergeseran pola perilaku manusia. Salah satu efek dari berkembangnya teknologi dan industri, yaitu berubahnya pola hubungan keluarga. Terjadi urbanisasi besar-besaran kaum perempuan yang tidak hanya terjadi di negara Barat, tetapi juga merambah ke negara berkembang, seperti Indonesia. Perempuan kemudian tidak lagi terpaku pada norma, adat, dan tradisi. Mereka kini bermigrasi dari ruang privat ke ranah publik untuk ikut serta berperan dalam urusan mencari nafkah. Jika dahulu, urusan publik lebih sering diserahkan kepada kepada para lelaki, sekerang perempuan pun ikut memiliki peran yang sama. Apalagi pada era industri yang semakin dekat dengan desa, seperti sekarang ini, perempuan pun kini tidak mau disibukkan hanya dengan mengurus anak dan mengurus kesibukan rumah.
Di kota-kota besar di negara maju, seperti Korea, Jepang, Amerika Serikat, Arab Saudi, atau negara tetangga, Malaysia, urusan rumah (privat) sering diserahkan kepada pembantu. Oleh sebab itu, mereka berani menggaji lumayan tinggi dalam hal mengurus anak dan segala aktivitas yang berbau domestik.
Bagaimana dengan Indonesia? Di negara kita sendiri, juga tidak jauh beda. Urusan merawat anak, mengemong anak, dan segala urusan domestik lainnya sekarang berpindah ke tangan pembantu. Orang tua mereka sekarang sibuk bekerja mencari uang. Pada saat-saat itulah, anak cenderung terbuang, dan menjadi korban.
Kesalahan pola pengasuhan semacam inilah yang sering terjadi di negara kita. Akibatnya, hubungan anak dengan orang tua semakin renggang. Anak lebih dekat dengan orang lain daripada orang tua mereka sendiri. Padahal, kalau diperhatikan lebih jauh, di masa-masa awal pertumbuhan, anak sangat membutuhkan kasih sayang dan kedekatan dengan orang tua mereka.
Masa-masa awal pertumbuhan anak sangatlah penting. Dalam tatapan J.W. Santrotrock (dalam Child Development, 1994: 23), anak memiliki tiga periode kemajuan. Pertama, periode vital, kedua, periode intelektual, dan ketiga, periode sosial. Lebih lanjut, Santrotrock menegaskan bahwa pada periode vital inilah, kita rasakan betapa pentingnya bimbingan ibu dalam zaman itu kita rasa, yakni umur 0—8 tahun.
Jika melihat realitas anak-anak kita pada masa sekarang, umur 1 s.d. 3 tahun saja mereka sudah disediakan pengasuh (baby sister). Berbagai keperluan, dari makan sampai mengurusi kebersihan anak digantikan oleh orang lain. Ketika mereka sudah berumur tiga tahun, bergantilah sosok yang mengasuh anak kita, yakni guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Begitu selesai PAUD, anak-anak kemudian dimasukkan ke sekolah full-day. Ketika sudah menginjak remaja, mereka dimasukkan ke pondok pesantren atau sekolah umum hingga dewasa.
Pola asuh orang tua kepada anak kini memang sudah berubah. Orang tua kini digantikan oleh banyak sosok yang ada di luar keluarga kita. Orang tua sekarang lebih percaya orang lain daripada menyerahkan waktu dan tenaganya untuk mendidik anaknya dengan baik. Walaupun pada sisi lain, mereka khawatir anak-anak mereka tumbuh tidak normal dan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Kita dapat merasakan betapa pentingnya kedekatan dan keintiman seorang ibu yang membentuk karakter anak, bahkan sampai anak menjadi dewasa. Seorang tokoh pesohor, pujangga, dan filsof dari India, Rabrindanath Tagore mengisahkan bagaimana ia beruntung mendapatkan pengasuhan yang baik pada masa kecilnya.
”Ibu kami yang kuna tidak menganggap bahaya serius jika anaknya sesekali ketinggalan pelajaran. Seandainya saja aku jatuh ke tangan ibu modern, aku tak hanya akan dikirim menghadap guru, tetapi juga telingaku dijewer; atau mungkin, dengan senyuman ditahan ia akan meneguk minyak jarak agar penyakitku sembuh selamanya” (Rabrindanath Tagore dan Masa Kanak-Kanak, KPG, 2011: 49).
Tagore menyadari bahwa pola asuh sang ibu itulah yang membuat dirinya tumbuh sebagai seorang yang memiliki jiwa yang bebas dan pikiran yang luas. Tagore justru memberikan pengakuan yang berbeda mengenai keberhasilan sekolah dalam hal pengasuhan anak.
”Hari-hari berlalu begitu saja. Sekolah selalu saja mencungkil sebagian besar hari, menyisakan sedikit pagi dan sedikit sore. Begitu aku masuk kelas, meja dan bangku tampak seperti siap menyikutku dengan siku-sikunya yang kering lagi tajam. Hari demi hari mereka tampak selalu saja kaku. Aku baru akan pulang menjelang petang. Di ruang belajar, lampu minyak menyorot seperti perintah agar aku menyiapkan lagi pelajaran esok harinya,” ucap Tagore.
Penulis: Edi Warsidi, tinggal di Bandung
Mengkaji Kembali Full Day School (FDS)
Adakah Tayangan Sehat untuk Anak?
Nilai Kepahlawanan untuk Anak
Buku Iqra’ karya K.H. As’ad Humam, ”Pahlawan Pemberantas Buta Huruf Al-Qur’an”.
Kualitas Orang Tua dan Maraknya Perundungan Anak