Polemik Aswanto, Siapa Yang Memulai? Siapa Yang Mengakhiri? (2)
Indikasi sederhana seperti ini yang perlu diketahui, meski kebalikannya justru inilah indikasi terberatnya
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Polemik Aswanto, Siapa Yang Memulai? Siapa Yang Mengakhiri?
“Pertanyaannya sederhana? Dengan keputusan MK tersebut, apakah UU Ciptaker telah menghalang-halangi DPR dan Pemerintah dalam agenda kerja pemerintahan. Bahwa pembangunan tersendat karenanya, misalnya.”
“Ini adalah keputusan politik. Tentu ini nanti karena hadirnya keputusan politik juga karena adanya surat MK toh? Kan, gitu, loh, dan nantikan asar-dasar hukumnya bisa dicari, tapi ini, kan, dasar surat dari MK yang mengkonfirmasi, tidak ada periodisasi ya sudah,” kata di gedung DPR Jakarta, Jumat (30/9/2022), dikutip dari detik.com (05/10/2022).
Polemik Pencopotan Aswanto
Keputusan pencopotan oleh DPR tersebut menuai polemik di tengah masyarakat. Banyak tokoh dan kalangan sipil maupun hukum yang mengkritik keputusan tersebut.
Seperti dilaporkan CNN Indonesia, Selasa (04/10/2022), Aprillia Lisa Tengker, pengacara publik LBH Jakarta mengatakan, pencopotan Aswanto secara sepihak bertentangan dengan Pasal 23 ayat 4 UU MK, yang isinya; pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK yang dimaksud secara limitatif karena alasan, seperti; pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan, di antaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, sakit jasmani atau rohani, dan lainnya.
Menurutnya, langkah DPR sebagai bentuk pembangkangan konstitusi, DPR telah melecehkan independensi, kemandirian, kebebasan kekuasaan Kehakiman, yang mana telah bertindak melampaui kewenangannya.
Apabila pemberhentian dilakukan secara tidak hormat, bilamana hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan, melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah atau janji jabatan, dan sengaja menghambat kinerja MK dalam mengambil keputusan.
Pendapat lain datang dari Viktor Santoso Tandiasa, mengatakan bahwa DPR telah melanggar Pasal 24 UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Penjelasannya disebutkan bahwa pembentuk UU adalah Presiden dan DPR yang mana telah menghapus periodesasi masa jabatan 5 tahun hakim MK. Aturannya saat ini, hakim MK diberhentikan pada usia 70 tahun sebagaimana tertulis dalam Pasal 87 huruf b UU 7/2020.
Hel tersebut di atas diperkuat dengan putusan MK No.96/PUU-XVIII/2020, Paragraf (3.22) yang mengatakan;
“… Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung) …“
Viktor mengatakan, “Menurut saya ini statement yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan ini merupakan tindakan nyata atas pemberangusan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya, dilansir dari CNN, (04/10/2022).