Prepegan, Tradisi Penjaga Pasar Tradisional
Prepegan adalah spirit mempertahankan pasar tradisional. Di tengah pongahnya kapitalis mendirikan ritel-ritel perdagangan modern, pasar tradisional masih menawarkan kesejukan bagi masyarakat desa dengan semangat demokrasi yang tercermin dalam budaya tawar menawarnya
Nusantarapedia.net, Jurnal | Potret Sosial — Prepegan, Tradisi Penjaga Pasar Tradisional
“Prepegan mengakibatkan melonjaknya pula perputaran uang. Ini menyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi lokal daerah tersebut.”
KEBIASAAN masyarakat Jawa, menjelang lebaran, pasar tradisional menjadi penuh dan sesak. Orang-orang sibuk membeli keperluan berlebaran dari makanan, sembako, perlengkapan ziarah kubur, hingga pakaian.
Prepegan biasa dimulai dua hari menjelang lebaran, ini disebut prepegan kecil. Prepegan besarnya adalah sehari menjelang lebaran. Pada masa prepegan ini, jumlah pedagang menjadi lebih banyak dari biasanya, tumpah ruah hingga ruas jalan sekitar pasar. Jumlah pembeli pun juga berlipat.
Biasanya dalam masa prepegan ini, masyarakat membeli barang dalam jumlah banyak yang menghabiskan banyak anggaran. Istilah prepegan berasal dari bahasa Jawa, mrepeg, yang artinya buru-buru, mendadak, mendesak, urgen, tergesa-gesa. Yang khas dari prepegan ini adalah melonjaknya jumlah dagangan juga harganya, uniknya masyarakat rela antri berjam-jam demi mendapatkan kebutuhan yang diinginkan. Tradisi prepegan tanda takbir idul Fitri segera dikumandangkan.
Prepegan juga merupakan peluang bagi para peraup keuntungan. Selain dagangan makanan, sayuran, bumbu, daging, pakaian, tak mau kalah penjual mainan anak juga ikut meramaikan perhelatan. Mereka melihat peluang, di mana para pembeli banyak yang membawa anak ke pasar. Selain itu aneka bunga tabur untuk keperluan nyekar atau ziarah kubur juga terlihat banyak pembeli yang mengantri.
Prepegan mengakibatkan melonjaknya pula perputaran uang. Ini menyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi lokal daerah tersebut.
Prepegan adalah spirit mempertahankan pasar tradisional. Di tengah pongahnya kapitalis mendirikan ritel-ritel perdagangan modern, pasar tradisional masih menawarkan kesejukan bagi masyarakat desa dengan semangat demokrasi yang tercermin dalam budaya tawar menawarnya. Bahkan, pada akhirnya, rugi pun tidak masalah, karena spiritnya adalah, “Tuna Satak Bathi Sanak“.
Terlepas dari meningkatnya konsumerisme masyarakat, prepegan sesungguhnya adalah tradisi yang pantas dilestarikan. Hampir semua pedagang memiliki pembelinya masing-masing. Artinya, tidak ada dagangan yang tidak laku di pasar prepegan ini. Masyarakat meyakininya sebagai berkah bulan Ramadan.
Macetnya jalanan karena pembeli tumpah ruah adalah spirit menyambut Idul Fitri sebagai hari kemenangan, hari bergembiranya umat Islam. Kendati begitu, dalam ajaran agama sebenarnya tidak diperkenankan berlaku boros dan lebih mengisi hari-hari akhir di bulan Ramadan dengan banyak berdoa.
Bagaimana pasar ekonomi Indonesia, cukuplah seksi, atas fakta demografi dan sumber bahan baku (SDA). Di situlah panggung dunia. Demografi adalah potensi, potensi mencetak buruh, dan jerat sistem supplay and demand (konsumtif), bukan pada produktivitas. Korelasi SDA, demografi, infiltrasi regulasi, dsb. itu adalah poin yang harusnya menjadi jualan para capres 2024.
Perilaku Konsumtif Masyarakat Penerima Uang Ganti Rugi (UGR) Pembangunan Tol
BTS Meal dan Fetisisme Komoditas
Pembukaan Pasar Wisata Pertapan Indrokilo, Berbasis Budaya dan Ekonomi
Peran E-Commerce Bagi Ekonomi Kreatif di Bulan Ramadan
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme