Presiden Jokowi “You Don’t Walk Alone”
- Jadi, seharusnya berkaca. Jokowi menata Gibran itu tidak dalam tujuan politik dinasti, tetapi untuk menyelamatkan legacy Jokowi yang pada digolkan oleh oknum-oknum yang sekarang menjadi pembenci, karena purna tugas dengan nyaman itu targetnya. Maka, hanya Gibran-lah (keluarganya) yang dapat dipercaya dari potensi jerat kasus pasca purna -
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Presiden Jokowi “You Don’t Walk Alone”
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Bahwa, preferensi politik Jokowi memilih Gibran sebagai cawapres, itu adalah upaya soft landing presiden ketika habis masa jabatannya. Artinya, hanya putra mahkota (Gibran) sebagai orang yang dapat dipercaya 99,99 persen sebagai orang yang dapat menyelamatkan — menjaga legacy kepemimpinan Jokowi.”
Lantas, produk kebijakan Jokowi yang akan diselamatkan oleh Gibran ini, adalah hasil kebijakan kerjasama Jokowi dengan oknum-oknum yang saat ini menyudutkan — menyalahkan Jokowi habis-habisan. Justru bagian ini lekat dan sarat karena kepentingan politis. Kecuali berlaku bagi oknum/lembaga/organisasi yang kemarin berada di jalur oposisi.
PASCA putusan MK (Mahkamah Konstitusi) ihwal putusan pada Perkara Nomor 90 pengujian UU Pemilu pada Pasal 169 huruf q, hal syarat umur capres (calon presiden), yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan sebagai capres-cawapres dengan syarat berpengalaman telah menjadi kepala daerah yang dipilih melalui proses pemilihan umum.
Dengan MK menambahkan norma baru dalam putusannya, dimaknai bahwa seseorang atau figur tersebut telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman atau minimum degree of maturity and experience, tentu hal seperti ini sebagai salah satu argumentasi di balik keputusan itu, selain argumen yang lain, seperti memberikan hak seluas-luasnya kepada para pemimpin-pemimpin muda agar dapat berpeluang mengikuti kontestasi.
Putusan tersebut dipersepsikan hanya siasat untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka agar lolos dapat mengikuti kontestasi Pilpres, yang mana Gibran masih berumur 36 tahun, tetapi telah duduk sebagai Wali Kota Solo.
Dugaan itu semakin terjustifikasi, yang mana akhirnya Gibran benar-benar sebagai bacawapres (bakal calon wakil presiden) mendampingi Prabowo Subianto yang diusung oleh gabungan partai Koalisi Indonesia Maju (KIM). Prabowo-Gibran pun telah resmi mendaftar ke KPU, dan menunggu keputusan KPU pada 13 November untuk ditetapkan secara resmi sebagai capres-cawapres dari KIM.
Akibat putusan tersebut yang publik menganggap buah dari cawe-cawe Joko Widodo (Jokowi), untuk melanggengkan politik dinasti. Bahkan, akhirnya atas desakan banyak pihak, MK membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang mana dugaannya telah terjadi pelanggaran etik dalam proses putusan tersebut, karena Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi, atau paman dari Gibran.
Tak sedikit publik mengecap bahwa MK sebagai lembaga milik keluarga, diplesetkan dengan akronim Mahkamah Keluarga (MK).
Dari keputusan tersebut, banyak ahli hukum tata negara yang menafsirkan bahwa putusan tersebut bersifat final and binding (mengikat), menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Dengan demikian, putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa.
Banyak diskursus mengenai hal ini, bahwa MK telah disinyalir melanggar konstitusi, karena seharusnya ranah pembahasan batas usia capres-cawapres ini berada di wilayah DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang, atau disebut open legal polecy.
Harapan kehadiran MKMK, dinanti-nanti publik agar dapat membatalkan keputusan tersebut, meskipun itu tidak mungkin, karena MKMK tidak dapat menganulir keputusan tersebut, kecuali mengadili pelanggaran etiknya yang dilakukan oleh ketua dan anggota MK. Sekalipun Anwar Usman pun diputus bersalah telah melanggar etik, bahkan terindikasi ada pelanggaran pidana, seperti nepotisme misalnya, maka konsekuensinya ada pada personal Anwar Usman yang terjerat hukum, tidak melekat pada putusannya sebagai representasi struktural/lembaga, maka keputusannya pun jalan terus, tetap final and binding atau erga omnes (sah dan mengikat).
Kemudian, mungkinkah putusan Perkara Nomor 90 tersebut batal demi hukum, atas penerjemahan banyak undang-undang, seperti dalam Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya ada conflict of interest. Hingga kemudian perkara itu dapat disidangkan ulang.
Saat ini, situasinya telah terjadi gelombang penolakan putusan tersebut, atas keputusan MK yang menabrak konstitusi, hingga MKMK pun didesak dapat menganulir keputusan tersebut dengan keputusan yang ditetapkan sebelum tanggal 8 November, karena tanggal 8 hingga 12 November adalah jadwal masa perbaikan apabila ada pergantian komposisi bacapres-cawapres yang diberikan KPU, sebelum final diumumkan sebagai capres-cawapres pada 13 November. Artinya, ini memberikan kesempatan kepada para kontestan, dalam hal ini koalisi KIM (Prabowo-Gibran), bila Gibran gagal melenggang akibat MKMK menganulir keputusan ini.
Pertanyaannya, mungkinkan ini, MKMK menganulir keputusan tersebut, karena jelas MKMK tidak dalam kapasitas dapat merubah keputusan tersebut. Maka, salah satu hal yang mungkin meskipun ekstrem adalah dengan jalan adanya pemakzulan atau impeachment terhadap presiden melalui lembaga DPR. Atau impeachment khusus terhadap lembaga yang telah dinilai salah, yakni Mahkamah Konstitusi.
Seperti yang diungkapkan Masinton Pasaribu di rapat paripurna DPR, dirinya mengusulkan untuk menggulirkan hak angket kepada MK. Masinton mengungkit Putusan MK yang berkaitan dengan perubahan aturan terkait batas usia seseorang untuk bisa berkompetisi sebagai capres dan cawapres. Adanya perubahan tersebut menjadi pertimbangan Masinton untuk mengajukan hak angket terhadap lembaga produk dari reformasi itu.