Presiden Jokowi “You Don’t Walk Alone”
- Jadi, seharusnya berkaca. Jokowi menata Gibran itu tidak dalam tujuan politik dinasti, tetapi untuk menyelamatkan legacy Jokowi yang pada digolkan oleh oknum-oknum yang sekarang menjadi pembenci, karena purna tugas dengan nyaman itu targetnya. Maka, hanya Gibran-lah (keluarganya) yang dapat dipercaya dari potensi jerat kasus pasca purna -

Abuse of Power (Hubungan Sebab Akibat)
Dinamika yang berkembang, tekanan publik terhadap Jokowi terus kencang, terutama setelah Gibran menjadi cawapres Prabowo. Tak sedikit yang menghujat Jokowi, dari yang malu-malu kucing, dengan sindiran hingga terbuka.
Pertanyaannya, mengapa baru sekarang. Lantas, kemana saja orang-orang, kelompok, lembaga, organisasi, dsb. yang pernah melakukan puja-puji terhadap Jokowi pada semua kebijakannya, mendukung penuh, bahkan disinyalir pernah merasakan “kue manis”, baru sekarang teriak-teriak, bahwa Jokowi telah fatal menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power), dengan memainkan hukum di wilayah politik.
Apakah ini karena Gibran maju sebagai cawapres, yang mana keluarga Jokowi telah pindah haluan. Haluan itu tentunya bersama KIM, tidak lagi bersama PDIP. Apakah begitu dugaannya, ditangkap secara politik.
Kemudian, apakah ini benar-benar puncak kekecewaan rakyat dan instrumen penyelenggara negara atas dugaan abuse of power dan ragam kebijakan salah lainnya, yang dimaknai Jokowi yang sudah keterlaluan. Artinya dari konteks hukum ketatanegaraan dan aspek penyelenggaraan pemerintahan menjauh dari sifat dan praktik goodwill — good governance.
Pertanyaan selanjutnya, pantaskah orang-orang yang teriak-teriak — menghujat, mencibir, kecewa berat dengan Jokowi, yang tak sedikit kemarin adalah pemujanya, pendukung utama pemulusan kebijakannya, baik secara personal maupun institusi/lembaga/organisasi. Lebih dalam lagi, bila Jokowi benar-benar abuse of power, mengapa kemarin tidak diingatkan, mengapa kemarin tidak ditegur, tidak dikontrol. Dimana kemarin fungsi kontrolnya sebagai fungsi pengawasan atas nama lembaga hingga personal, dimana kemarin fungsinya sebagai lembaga penjaga marwah konstitusi, misalnya bila itu pada kekuasaan kehakiman.
Bila kemarin takut akan power itu (Jokowi), semestinya tidak takut mengambil peran fungsi kontrol, karena memang konsekuensi tugasnya demikian. Bila takut akan power dari Jokowi, konsekuensinya ya harus mundur. Lha wong turut menikmati indahnya kekuasaan, kok, tiba-tiba menyalahkan Jokowi di akhir kepemimpinannya.
Bahwa, preferensi politik Jokowi memilih Gibran sebagai cawapres, itu adalah upaya soft landing presiden ketika habis masa jabatannya. Artinya, hanya putra mahkota (Gibran) sebagai orang yang dapat dipercaya 99,99 persen sebagai orang yang dapat menyelamatkan — menjaga legacy kepemimpinan Jokowi.
Lantas, produk kebijakan Jokowi yang akan diselamatkan oleh Gibran ini, adalah hasil kebijakan kerjasama Jokowi dengan oknum-oknum yang saat ini menyudutkan — menyalahkan Jokowi habis-habisan. Justru bagian ini lekat dan sarat karena kepentingan politis. Kecuali berlaku bagi oknum/lembaga/organisasi yang kemarin berada di jalur oposisi.
Jadi, seharusnya berkaca. Jokowi menata Gibran itu tidak dalam tujuan politik dinasti, tetapi untuk menyelamatkan legacy Jokowi yang pada digolkan oleh oknum-oknum yang sekarang menjadi pembenci, karena purna tugas dengan nyaman itu targetnya. Maka, hanya Gibran-lah (keluarganya) yang dapat dipercaya dari potensi jerat kasus pasca purna.
Untuk itu, segala bentuk abuse of power itu ada hubungan sebab akibat, tidak elok ketika hal putusan MK ini dijadikan trigger atas akumulasi untuk melakukan impeachment terhadap presiden. Kalau dikatakan melanggar konstitusi, lha dulu, kenapa hanya diam saja ketika disahkan Perppu Cipta Kerja, yang mana MK sudah merekomendasikan bahwa UU Cipta Kerja cacat hukum untuk kemudian dilakukan perbaikan.
Untuk itu, Presiden Jokowi harus dikawal hingga purna tugasnya. Tentu akan berdarah-darah dan rugi besar bila bangsa ini harus chaos terjadi pemakzulan. Akan seperti apa dampaknya terhadap rakyat.
Perkara ada penghakiman kepada Jokowi bila ada dugaan melanggar hukum, itu silahkan saja, tetapi nanti setelah paripurna dari jabatan presiden.
Dan, inilah hikmah untuk presiden terpilih mendatang, bahwa abuse of power dan kebijakan yang dipaksakan itu akhirnya berdampak kemana-mana, menjadikan aneka premis dalam konfigurasi peta politik. Akhirnya, rakyat pun yang rugi, tidak keurus dan terus gaduh.
Juga, inilah hikmah untuk pelaku politik praktis dan semua unsur penyelenggara negara, bahwa puja-puji dan tunduk pada kekuasaan itu tidak selamanya benar, ketika tugas dan pokok fungsinya telah abai yang seharusnya untuk mengawasi, meluruskan — memberi peta jalan kebenaran, harus larut dalam kebersamaan yang itu akhirnya menjadi gunung es.
Pak Jokowi, presiden Indonesia, mari kita kawal hingga purna tugas. Presiden Jokowi “You Don’t Walk Alone”. (asm)

B. Ari Koeswanto ASM
| pemerhati kebudayaan
Putusan MK Perkara No. 90/PUU-XXI/2023 Tidak Sah, Harus Disidang Kembali!
Revisi PKPU Akan Dilakukan Pasca Keputusan MK
Ayo “Gibran atau Siapa pun” Segera Deklarasi Capres-cawapres, Putusan MK Final and Binding!
Say No To Money Politics, Pemilu 2024!
Serba Liberal, Bagaimana Capres 2024? Hadirnya Negara untuk Rakyat yang Sehadir-hadirnya!