Proporsional Terbuka atau Tertutup, Lembaga MK Diuji Sebagai Lembaga Penguji
- Jawabnya, yang paling realistis saat ini, tetaplah menggunakan sistem proporsional terbuka -

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Proporsional Terbuka atau Tertutup, Lembaga MK Diuji Sebagai Lembaga Penguji
“Uniknya dalam sistem distrik, dua hingga tiga partai dapat mengusulkan atau mencalonkan figur/kandidat yang sama.”
BEBERAPA orang (pemohon) mengajukan judicial review atau uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon yang berjumlah 6 orang tersebut mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Bunyi Pasal 168 ayat (2):
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka
Para pemohon mengusulkan Pemilu 2024 dirubah dengan sistem proporsional tertutup, sebagaimana Pemilu yang telah berlangsung pada tahun 2004, sedangkan pada Pemilu 2009, MK mengabulkan permohonan uji materiil UU agar Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. MK pun mengabulkan, maka Pemilu 2009, selanjutnya 2014 dan 2019 dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Bila mengingat kembali perjalanan Pemilu 2009 yang sedianya berlangsung dengan sistem proporsional tertutup, namun di tengah jalan pelaksanaan proses Pemilu diputuskan oleh MK dengan sistem proporsional terbuka. Cerita uniknya, telah banyak para calon anggota legislatif, baik pusat sampai daerah pada “berdarah-darah” untuk memperebutkan nomor urut dalam daftar caleg tetap (DCT) di posisi rangking atas. Tibaknya, nomor urut pun tidak menjadi soal, baik yang bernomor atas maupun nomor sepatu, karena menggunakan sistem suara terbanyak. Di sinilah sistem proporsional tertutup menjadikan partai politik bak “dewa” bagi calon legislatif (caleg-caleg).
Saat ini di MK masih berproses. Akankah MK mengabulkan gugatan tersebut, yang mana bila dikabulkan, Pemilu kembali lagi seperti Pemilu 2004, atau menolak permohonan tersebut, yang berarti sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024 tetap diterapkan.
Para pemohon tersebut menilai, sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945, seperti salah satunya, telah menimbulkan masalah multidimensi, yaitu politik uang, diantaranya.
Dengan demikian, sepertinya Mahkamah Konstitusi saat ini dalam situasi yang pelik, antara dikabulkan atau ditolak. Bila dilihat dari situasi yang berkembang pada wacana publik, dalam hal ini khususnya sebagian partai politik lebih condong pada sistem proporsional terbuka, terlebih pada partai yang basis elektoralnya menengah dan gurem. Namun, bila dibaca secara politis, bisa saja MK telah diintervensi oleh kelompok besar, yang mana lebih menghendaki dengan sistem proporsional tertutup, karena lebih menguntungkan dari sisi elektoral dan keuntungan strategis lainnya. Dengan demikian, publik tengah menanti-menakar keputusan MK!
Menjadi sarat “spekulasi”, “jangan-jangan”, dsb., ketika Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari turut mengomentari hal permohonan tersebut yang saat ini tengah berproses di MK. Menurut Hasyim, bahwa ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut, yaitu pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup. Dengan demikian, Ketua KPU tidak salah dengan menduga seperti sayembara, namun statemennya dianggap tidak etis, dan dibaca “seolah-olah” paham akan agenda setting untuk memuluskan sistem proporsional tertutup tersebut.
Ketidakpantasannya, karena Hasyim adalah Ketua penyelenggara Pemilu, yang mana tugasnya berada pada domain teknis dengan aturan yang diterbitkannya pada hal-hal teknis oleh KPU melalui PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum), bukan pada ranah Undang-Undang yang wilayah itu adalah domain lembaga yang bukan mengurusi soal teknis. Maka, mereka-reka Keputusan MK adalah tindakan yang tidak etis, kecuali tidak menjabat sebagai Ketua KPU atau sebagai publik biasa. Karena, KPU adalah selaku penyelenggara Pemilu yang benar-benar dituntut netral.
Mana Yang Terbaik
Pilih sistem proporsional terbuka atau tertutup. Melihat peta jalan di atas, kok kesannya sekelas helat akbar Pemilu sebagai rahim lahirnya pemerintahan, kok bolak-balik, kok kesannya politis, kok tidak segera menemukan format yang ideal, kok gaduh terus menerus.