PSI “Jual” Kaesang Menuju Senayan?

26 September 2023, 09:47 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI-POLHUKAM — PSI “Jual” Kaesang Menuju Senayan?

Oleh : Marianus Gaharpung, dosen FH UBAYA Surabaya

POTRET perpolitikan Tanah Air hari ini kembali dihentakkan dengan terpilihnya Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo dengan Iriana, sebagai Ketua Umum partai PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Setelah sebelumnya Kaesang Pangarep bergabung di partai politik PSI (Partai Solidaritas Indonesia), secara resmi Kaesang menerima Kartu Tanda Anggota (KTA) PSI di Sumber, Solo, Jawa Tengah, pada Sabtu 23 September 2023.

Tak sampai tiga hari, proses Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI, tepatnya pada Senin (25/09/2023) atau hanya dua hari setelah bergabung dengan partai tersebut.

Mengundang pertanyaan publik, ada apa dan mengapa harus Kaesang? Apakah ini hanya momentum saja karena power Jokowi lagi kuat-kuatnya di mata publik Tanah Air, ataukah ada tujuan lain. Jujur saja arah mata angin politik malah lebih kencang dan sulit bisa ditebak?

Hemat penulis, Kaesang putra bungsu Joko Widodo jadi ketua umum PSI telah terjadi “degradasi moral” perpolitikan Tanah Air. Sebab dari aspek sosio budaya politik serta moralitas eksistensi mendirikan partai untuk melaksanakan dan mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai wadah pengkaderan kawah candradimuka pendidikan politik, akhirnya dari waktu ke waktu mengalami degradasi, jadinya hanya simbol belaka. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kini waktunya “panggung politik” dibuka selebar-lebarnya untuk kaum milenial, tampilnya anak-anak muda “hebat”.

Apakah dengan aroma milenial yang demikian hingar bingar lalu semua tradisi budaya politik bisa ditabrak. Apakah era milenial identik dengan “manusia super” yang instant, sehingga tanpa proses alamiah sebagai layaknya makhluk hidup mulai belajar merangkak, jalan, lalu berlari. 

Juga berlaku untuk organisasi politik, yang mana ada AD/ADRT yang jelas peraturan  berorganisasinya, melalui jenjang kepengurusan yang dievaluasi dan memakan waktu lama, setelah itu barulah meraih posisi sebagai ketua umum partai. Fakta ini diabaikan oleh partai yang identik dengan kaum milenial ini.

Logo of Indonesian Solidarity Party.svg
Logo partai PSI.

Atas realita ini, publik tidak salah menilai apa yang terjadi di PSI kurang lebih tidak jauh berbeda dengan perilaku mantan-mantan presiden lainnya dengan power dan kekuatan finansial mendirikan partai untuk melanggengkan kekuasaan. Hanya sedikit modifikasi, Joko Widodo tidak terlibat langsung, tetapi mata dan nurani publik tidak mungkin membantah terpilihnya Kaesang ada pengaruh Joko Widodo.

Melalui proses aklamasi, PSI menjadikan putra bungsu Joko Widodo dan Iriana ini karena nilai jual Joko Widodo laris manis di hati publik Tanah Air. Tetapi apakah dengan sinetron politik PSI ini otomatis menjadi magnet politik dapat menarik simpatik publik yang luar biasa, “belum tentu”. Apakah keadaan demikian ini akan terus “berkibar” pasca kepemimpinan Joko Widodo? Kita belum bisa menebak, karena filosofi politik kawan sejati tidak ada dalam perhelatan perpolitikan, justru yang ada kepentingan. Kawan pun bisa “dimakan” apalagi lawan. Maka tak ada musuh yang abadi.

Drama politik PSI tidak jauh berbeda  dengan anak-anak mantan presiden lainnya, dimana partai adalah satu-satunya alat untuk terus mempertahankan kekuasaan (eksistensi). Publik akhirnya bertanya, apakah PSI sedang “berdagang” politik mengangkat Kaesang sebagai Ketua Umum PSI. Jika ini adalah “jualan” PSI sebagai partai yang sejatinya punya masa depan cerah, maka fenomena ini adalah potret buruk bagi 50 persen lebih generasi muda Indonesia ini yang punya hak pilih, ternyata “politik, ya seperti ini”, terkesan hilang etika dan moralitasnya.

Tujuan serta eksistensi partai sudah kehilangan jati dirinya melainkan cenderung bagaimana caranya agar kekuasaan direbut dan dibagi-bagi kepada pengurus partai dengan tujuan kenikmatan ekonomis (pragmatis) diri dan kelompok. Kesejahteraan rakyat dan slogan muluk untuk rakyat semua hanya lips service rutin agenda lima tahunan. Maka, budaya politik yang instan dan pragmatis seperti ini, bahkan menjadi kelaziman di banyak partai tanpa adanya kesinambungan pendidikan politik.

Memang tidak ada satu norma larangan berpolitik. Setiap warga negara berhak dan sama di hadapan hukum dan pemerintahan (politik) sebagai hak berpolitik, tetapi aspek etika, moral, budaya dalam organisasi dan kemasyarakatan perlu tetap dipanuti. Agar tidak terkesan oleh publik bahwa PSI diduga sedang melakukan uji coba, siapa tahu Kaesang Pangarep di pucuk pimpinan, PSI bisa mendulang suara Pemilu 2024 untuk dapat masuk di rumah demokrasi bangsa, yaitu gedung DPR/MPR di Senayan-Jakarta, serta keuntungan strategis lainnya. (mg)

IMG 20042023 084944 1000 x 562 piksel 4

Marianus Gaharpung | penulis adalah dosen FH di UBAYA Surabaya dan lawyer. Pemerhati politik, hukum dan pemerintahan. Putra daerah dari Kabupaten Sikka-NTT.

Isu 2 Poros Koalisi Capres Mencuat – Dikotomi Strategi Pemenangan (Pola Top-down vs Bottom-up)

Asa Kepemimpinan “Gung Binanthara” Presiden 2024 (1)

Melingsir, Mengusir dan Terusir di Bhumi Malayu (Prahara di Tanah Rempang-Galang [1])

Jacob Ereste : Warga Masyarakat Tidak Akan Menolak Investasi Jika Tidak Merugikan, Menggusur dan Membuldozer Rakyat dari Tanah Leluhurnya

Hukum dan Kontrol Sosial

Terkait

Terkini