Putusan MK Hal Threshold Pilkada Belum Berbuah
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Putusan MK Hal Threshold Pilkada Belum Berbuah
Oleh : B Ari Koeswanto ASM
“Hendaknya pula, instrumen politik seperti partai politik sendiri tak kan takut akan kehilangan suara elektoral, dampak kebijakan yang tidak populis oleh petugas partainya, yang kemudian lantas terus menggenggam kekuasaan dengan terus memanjangkan status quo, by design pencalonan. Atau juga tak takut bila bagian kue yang rutin diterima — berada di zona nyaman terganggu, berkurang, atau bahkan hilang”
– Sementara, para calon juga tidak takut lagi, bahwa syarat menjadi kepala daerah harus punya “isi tas” yang besar, meskipun “otaknya” kosong. Bukannya ruh dari Putusan MK ini adalah bermodal “isi pikiran” –
– Namun jangan lupa pula, para konstituen (masyarakat) tidak boleh berharap datangnya “anyep-anyep” seolah itu “madang geden”, lantaran para pemilik kendaraan juga sedang berpesta. Lantaran pula sebuah keniscayaan, setelah jadi tidak memikirkan rakyatnya –
PUTUSAN MK hal ambang batas syarat pencalonan kepala daerah untuk mendapatkan tiket, diharapkan melahirkan kekuatan dan harapan baru demokrasi politik, bukan hegemoni kelompok tertentu. Dengan penurunan ambang batas threshold, masih ditambah dianggapnya suara partai non parlemen dapat mengusung calon, adalah bentuk kesetaraan hak berpolitik — memiliki kesempatan dan peluang yang hampir sama. Ini sebagai esensi demokrasi kedaulatan (suara) rakyat. Namun sayangnya, belum memberikan dampak signifikan pada konfigurasi politik di daerah.
Dimaklumi, karena putusan diputuskan saat injury time, para-para calon dan khususnya partai politik belum bisa beradaptasi dengan (aturan) pola baru, karena harus merombak kebiasaan yang membudaya.
Sebaliknya juga, bagi entitas politik yang sudah memanfaatkan putusan itu, hendaknya tidak lagi melakukan plagiasi budaya politik pendahulu, yang dilakukan oleh kelompok/partai-partai besar, yang pada bagian itu adalah buruknya kualitas demokrasi dalam prosesnya.
Sebelumnya dan masih berlaku saat ini, ada kebiasaan sesaknya mendapatkan tiket karena terjebak pada politik ekektoralisme yang pragmatis. Praktik besarnya “mahar” partai politik disebabkan karena tidak adanya saingan dalam perebutan tiket yang berlindung di balik beratnya persyaratan, hingga menjadikan calon obyek perahan karena sudah tidak punya alternatif lain untuk diusung parpol lainnya. Belum lagi tingginya ongkos politik dengan maraknya praktik money politics.
Belum berdampaknya putusan MK, bisa dilihat dari kepesertaan kontestasi, bahkan terjadi peningkatan tren melawan kotak kosong, dari sebelumnya Pilkada 2020 berjumlah 25 daerah, di Pilkada 2024 ini meningkat menjadi 41 daerah dengan calon tunggal. Ini membuktikan bahwa hegemoni kekuasaan hanya milik kelompok besar yang berkecenderungan semakin kuat (kekuasaan absolut), bahkan menjadi pakem, hingga putusan MK yang telah memberikan ruang kontestasi yang longgar, belum berhasil dimanfaatkan/diadaptasi maksimal.