Ratih Terlambat Menyesal
Nusantarapedia.net | SASTRA — Ratih Terlambat Menyesal
Oleh : Hasan Hasir
MALAM menyelimuti kota, membungkusnya dalam selimut beludru hitam yang pekat. Di sudut sebuah rumah sederhana, seorang perempuan paruh baya duduk termenung, matanya menerawang jauh ke masa lalu. Senja hidupnya telah datang, meredupkan pesona kecantikan yang pernah memikat hati, seperti bunga mawar yang layu ditelan waktu.
Ratih, nama perempuan itu, kini hidup sebatang kara. Dua anaknya, buah cinta dengan Pak Budi, telah lama diasuh oleh keluarga mantan suaminya. Alasannya agar mendapat asuhan lebih agamis.Meski usianya sudah mulai bergelincir senja, tapi ingatannya sanggup memungut remah-remah kisah hidup masa lalunya. Dengan hati-hati ia mulai merangkai kembali kenangan masa lalunya. Pelan-pelan sedikit terbata-bata, ia mulai bercerita…
Di dalam rumah itu, Pak Budi, lelaki paruh baya dengan wajah yang seakan diukir oleh waktu, duduk termenung di tepi sopa lusuh yang teronggok di ruang keluarga. Rasa lelah merayap seperti embun dingin di tubuhnya yang mulai renta.
Lebih dari dari dua tahun lamanya dia merantau, meninggalkan istri dan dua anaknya demi sesuap nasi, meninggalkan rumah yang dulu dipenuhi tawa dan kasih sayang.
Sekarang, dia pulang dengan harapan bisa bersenang-senang bersama anak-anak dan istrinya, berharap bisa disambut hangat oleh Ratih, istrinya yang masih muda. Namun, kenyataan pahit menghantamnya seperti ombak besar yang menerjang karang.
“Secara agama, Abang tidak boleh mengikat Adik dalam keadaan begini, iya kan!?” keluh Ratih, suaranya menusuk tajam seperti duri mawar yang melukai kulit.
Pak Budi mengakui dirinya yang tak bisa lagi memuaskan kebutuhan biologis istrinya. Namun pernyataan Pak Budi itu disangkal keras istrinya. Yang menurutnya bukan tak sanggup memuaskan, melaikan sudah tidak bisa apa-apa.
“Bukan memuaskan, Bang. Bahasanya beda, kalau memuaskan Abang masih bisa melayani Adik. Tapi Abang memang gak bisa,” sergah Ratih.
“Keliru kalau Abang mengatakan tidak bisa memuaskan. Kalau seperti itu Abang masih bisa melakukan, cuma Adik kurang puas. Lah, ini khan buktinya Abang tidak bisa sama sekali memberi nafkah batin,” imbuhnya dengan nada kesal.
Pak Budi terdiam, hatinya teriris pedih, seperti bunga mawar yang layu ditelan usia. Kalimat itu bagaikan batu besar yang jatuh ke dalam kolam hati, mengacaukan ketenangan dan menenggelamkannya dalam keputusasaan.
Semata untuk anak istri, Pak Budi rela bekerja keras, berjibaku dengan pekerjaan berat, demi menafkahi Ratih dan dua anak mereka, demi masa depan yang cerah, demi mimpi yang terukir dalam hati mereka.
Dia tahu, usianya sudah menua, kekuatannya tak sekuat dulu. Namun, dia tak pernah berniat meninggalkan Ratih, perempuan yang pernah menjadi matahari dalam dunianya. Sekarang Pak Budi harus pasrah dengan tuntutan cerai dari istrinya.
“Baiklah, Ratih,” ucapannya terhenti, suaranya bergetar, seperti daun kering yang tertiup angin sepoi-sepoi. Sesaat kemudian, dia meneruskan ucapannya.
“Carilah imam yang baik buat Adik! Abang doakan Dik. Carilah imam yang bisa menuntun sholat dan ngaji,” dengan nada pasrah.
Ratih berbalik menuju kamar, meninggalkan Pak Budi sendirian di ruang keluarga yang dingin, seakan mencemooh harapan yang telah lama dia pupuk. Dia sudah lama menyimpan dendam kepada Pak Budi, menganggap Pak Budi telah menzaliminya dengan usia yang 40 tahun jauh lebih tua.
Ratih, yang usianya baru menginjak kepala tiga, memang masih terlihat menarik dan memikat siapa saja yang melihat, seperti bunga mawar yang sedang mekar di taman. Namun di balik kecantikannya tersimpan sifat licik dan manipulatif, seperti ular yang merayap di antara ilalang.
Setelah bercerai dari Pak Budi, Ratih bertemu dengan Iwan dan menjalin hubungan. Tak lama kemudian, mereka menikah siri, sebuah ikatan yang terjalin dalam gelap, seperti pertemuan dua bayangan di tengah malam.
Beberapa bulan kemudian, Pak Budi mengajak Ratih rujuk, dan Ratih pun bersedia. Namun, status Ratih saat itu masih menjadi istri siri Iwan, terjebak dalam pusaran pernikahan yang tak berujung.
Iwan yang belum siap berpisah dari Ratih, akhirmya menyusun rencana. Biarlah Ratih boleh menerima Pak Budi. Hanya saja ketika kembali ke perantauan mereka kembali bersama.
Jadi, setiap kali Pak Budi pulang, Ratih selalu bersikap baik dan pura-pura setia, seperti bunglon yang mengubah warnanya untuk menyamarkan dirinya.
Pak Budi yang terlanjur mencintai Ratih selalu percaya pada kata-katanya, terbuai oleh rayuan manis yang menyesatkan. Dia tak pernah curiga sedikit pun, seperti anak yang terlena dengan dongeng.
Dia pandai memainkan peran sebagai korban dan membuat Pak Budi merasa bersalah, seperti lilin yang meleleh di bawah api, kehilangan bentuk aslinya.
Drama itu tak berlangsung lama, hanya setahun saja. Tak lama setelah rujuk dengan Pak Budi, Ratih meninggalkan Iwan, mengakhiri hubungan yang telah mengikat mereka, seperti burung camar yang lepas dari jerat nelayan.
Kini, Ratih dan Pak Budi kembali menjadi sepasang suami istri. Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama, hanya beberapa bulan saja, seperti bunga yang layu di bawah terik matahari.
Setelah resmi bercerai dari Pak Budi dan Iwan, Ratih mengenal seorang pria bernama Surya. Perjalanan keakraban dengan Surya juga diwarnai selang-seling perselingkuhan dilakukan Ratih dengan beberapa laki-laki lain. Hubungan dengan Surya putus sambung.
Kendati begitu, setelah delapan bulan menjalin hubungan asmara dengan Surya, mereka pun memantapkan menikah secara diam-diam, sebuah pernikahan yang tersembunyi di balik tabir rahasia, seperti bulan purnama yang terhalang awan.
Tapi, tak berselang lama, sikap Ratih berubah dingin kepada Surya, laki-laki yang dulu dikejar-kejarnya hingga nyaris melalukan bunuh diri demi mendapatkan Surya.
Kini Ratih berubah menyanggah Surya dari kisah hidupnya. Belakangan diketahui ternyata Ratih menjalin hubungan baru dengan pria lain, bernama Hendro, dan sudah menikah dengannya ketika Ratih belum resmi bercerai dari Surya.
Terungkap ternyata Ratih dalam kehidupan ketika berstatus istri Pak Budi. Ratih bukanlah perempuan pertama dalam hidup Pak Budi, ia merupakan istri muda Pak Budi. Yang dinikahkan demi alasan kelancaran sebuah urusan bisnis.
Ratih pun tersadar, bahwa cinta dan kesetiaan bukanlah sebuah permainan. Itu adalah sebuah komitmen yang membutuhkan pengorbanan dan dedikasi. Namun, Ratih sudah terlambat menyadari hal itu.
Kehidupan Ratih kini seperti biduk lapuk berlayar lautan luas yang dipenuhi badai. Ia terombang-ambing, tak berlabuh, dan tak memiliki tujuan. Ratih terjebak dalam lingkaran setan yang telah dia ciptakan sendiri. Dia terlena dengan pesona semu dan melupakan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman hidupnya.
Kisah Ratih menjadi cerminan bagi kaum perempuan. Kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi atau kepuasan sesaat. Kesetiaan dan ketulusan adalah pondasi yang kokoh untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.
Pesan ini juga menjadi penuntun bagi kaum laki-laki. Jangan terlena dengan pesona duniawi, tapi pandailah memilih pasangan hidup yang memiliki hati yang tulus, bukan hanya kecantikan yang menawan.
Ratih, di penghujung senja hidupnya, hanya bisa menyesali masa lalu. Dia menyadari bahwa cinta sejati tak hanya diukur dengan kemewahan duniawi, tetapi juga dengan ketulusan hati, kesetiaan, dan pengorbanan. Namun, penyesalan tak akan mengubah kenyataan pahit yang telah dia ciptakan.
Keadaan Ratih kini menyedihkan. Ia hidup sebatang kara, tak memiliki tempat bergantung, dan tak memiliki orang yang tulus mencintainya. Hanya ada kehampaan dan penyesalan yang menggerogoti hatinya.
Kisah Ratih adalah sebuah tragedi yang bisa dipetik hikmahnya. Janganlah kita terbuai oleh keindahan semu dan melupakan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman hidup. Karena pada akhirnya, hanya ketulusan, kesetiaan, dan pengorbanan yang akan menghantarkan setiap individu pada kebahagiaan sejati. (H)
Hasan Hasir | pegiat literasi, seni dan budaya. Tinggal di Bangkalan, Madura. Jurnalis di NPJ
Melukis Cinta dengan Warna Harapan