Referensi untuk Introspeksi pada Diri Sendiri
- Dari kisah ini, kita dapat memetik pelajaran bahwa tanpa prinsip dan pegangan hidup, kita tidak akan pernah menemukan jati diri. Kita hanya akan menjadi sampah yang mengikuti air yang mengalir -
Nusantarapedia.net, Gerai | Resensi — Referensi untuk Introspeksi pada Diri Sendiri
Oleh Fitri Yani
SEORANG penulis muda yang lahir pada 21 Juni 1983 mencoba menghadirkan kisah-kisha hikmah yang sarat dengan pelajaran untuk umat Islam. Di samping dikenal sebagai pengajar di salah satu pesantren, dia juga dikenal sebagai penulis beberapa buku klasik tentang Islam dan penerjemah berbagai kitab salaf. Penulis ini bernama Syarif Yahya.
Dalam buku Kasih Sayang Nabi, Kisah-Kisah Hikmah ini, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh pembaca. Bagian pertama buku ini memuat berbagai kisah tentang orang-orang biasa yang memiliki nilai kehidupan luar biasa. Bagian kedua berkisah tentang kehidupan orang-orang di kerajaan dengan berbagai kekhasan sehingga pembaca bisa memaknai kemegahan, kekayaan, dan kepemilikan materi dari sudut pandang yang lain. Bagian ketiga bercerita tentang para nabi yang memberikan teladan hidup yang baik.
Kisah hikmah dalam buku sebanyak 29 kisah, di antaranya kisah motivasi yang menggugah, kecerdikan yang inspiratif, serta spiritual dan supranatural yang jauh dari tahayul. Kisah dalam buku sebagian besar diinspirasi oleh kisah Timur Tengah. Bahkan, diungkapkan bahwa para tokoh yang ada dalam kisah ini menunjukkan berbagai karakter, seperti pemberani, pemberi (dermawan), penyabar, cerdas, berilmu tinggi, dan taat.
Setiap kisah yang tertulis dalam buku ini mengajak kita sebagai pembaca untuk menggali hikmah yang lebih dalam dari kisah kisah yang sering di dengar, salah satu contoh kisah yang saya suka dari buku ini adalah yang berjudul ”Pentingnya sebuah Prinsip”, berkish tentang Lukman Al-Hakim yang memberikn pelajaran pada anaknya dengan mengajaknya melakukan perjalanan dari desa ke desa lainnya dengan membawa keledai. Di perjalanan pertama, Lukman mengendarai keledai, sedangkan anaknya menuntun sambil berjalan kaki, keduanya melewati sekelompok orang. Terdengarlah orang tersebut berkata, ”Hai lihat, orang tua itu tidak punya belas kasihan, dia enak duduk di punggung keledai, sedangkan anaknya berjalan kaki.” Mendengar itu, Lukman pun turun dan menyuruh anaknya menaiki keledai agar tidak digunjing orang lain. Dalam perjalanan melewati desa selanjutnya, terdengar sekelompok orang berkata, ”Hai lihat, anak itu tidak punya sopan santun, dia enak duduk di atas keledi, sedangkan bapaknya berjalan kaki.” Dalam perjalanan berikutnya, Lukman memutuskan untuk menaiki keledai itu bersama anaknya dan di desa selanjutmya terdengar lagi orang orang berkata, Hai lihat, orang itu tidak menaruh belas kasihan dengan binatang lemah, hewan kecil ditunggangi dua orang.” Di desa selanjutnya, Lukman memutuskan untuk turun dan menyuruh anaknya turun pula agar tidak digunjing orang lagi, tetapi beberapa saat kemudian terdengar orang-orang berkata, “Hai lihat, kedua orang itu bodoh sekali, punya hewan tunggangan, tetapi tidak ditunggangi.”