Refleksi ”Hari Ibu”Jika Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
- Hadirnya R.A. Kartini (Jawa Tengah) dan Dewi Sartika (Jawa Barat) sehingga dalam tempo yang tidak lama aksi kebangkitan kaum wanita hadir seluruh Nusantara, -

Nusantarapedia.net, Jurnal | Kemanusiaan — Refleksi ”Hari Ibu”
Jika Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
Oleh Edi Warsidi
Pengajar STAI Sabili Bandung
“Kita pun kerap berhadapan dengan pertanyaan, wanita masa kini atau ibu masa kini yang bagaimanakah yang baik itu?”
PEPATAH bijak mengatakan, ”Surga ada di bawah telapak kaki ibu”. Pepatah atau nasihat ini mengadung kiasan yang memosisikan wanita sebagai ibu, dengan posisi yang amat mulia. Nasihat ini sekaligus mengandung filsafat yang amat dalam dan perlu pengkajian yang cermat untuk menafsirkan maknanya.
Kaum ibu layak bangga dengan nasihat tersebut. Akan tetapi, hanya membanggakan satu nasihat yang mengangkat harkat dan derajat tidaklah cukup. Wanita yang pantas mendapat citra dan jati diri sebaga umat manusia yang ’telapak kakinya memiliki surga’ adalah sosok yang yang harus memiliki nilai serta kemampuan yang cocok untuk sebutan demikian.
Di tengah perkembangan zaman sekarang, makin tidak gampang untuk membina jati diri berkualitas surgawi. Banyak kendala yang merintanginya. Suasana lingkungan hidup telah tercipta sedemikian rupa sehingga secara budaya, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan agama, manusia zaman sekarang sering menemukan banyak masalah. Kita pun kerap berhadapan dengan pertanyaan, wanita masa kini atau ibu masa kini yang bagaimanakah yang baik itu? Tentu kriteria tentang wanita atau ibu teladan sudah jauh menyimpang dari masa seratus tahun, lima puluh tahun, atau bahkan dua puluh lima tahun yang silam.
Pada zaman pra-Kartini, wanita sudah puas dengan sebutan tiyang wingking (orang di belakang). Mereka yang punya hak di depan adalah kaum pria. Mereka punya hak lebih sebagai pria. Mereka menentukan segala-galanya. Mereka pula yang mendapat pendidikan di sekolah. Anak-anak perempuan tidak perlu sekolah, tidak perlu pintar seperti pria sebab tugasnya hanya di dapur, memasak dan mengatur urusan rumah.
Sebaliknya, pria pada masa itu juga dibebani tanggung jawab luar biasa. Dia yang maju di medan perang menjaga kehormatan bangsa dan negara. Dia harus mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Bahkan, karena kultur atau agama perlu dipertimbangkan melazimkan pria berpoligami, dia juga harus mampu mencukupi kebutuhan hidup semua istri dan anak-anaknya. Bagaimana pria melaksanakan kewajiban, bukanlah urusan wanita. Pokoknya, wanita hanya bergantung pada pria dan sudah dengan sendirinya beranggapan lelaki sebagai suami dan pemimpin keluarga harus mampu membuat istrinya mukti hidup bahagia sejahtera dari berkecukupan. Paling tidak, inilah rata-rata gambaran hidup di kalangan menengah ke atas pada masa feodalisme dan prakemerdekaan.