Rendahnya Kemampuan Literasi Di Tengah Dentuman Digitalisasi

- Ya, selamat datang di era Post-Thruth. Era di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi -

16 Desember 2022, 07:31 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Rendahnya Kemampuan Literasi Di Tengah Dentuman Digitalisasi

“Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.”

DIGITALISASI adalah keniscayaan. Semua negara di dunia, termasuk Indonesia sedang menuju ke sana. Pandemi covid merupakan titik awal dimulainya uforia penggunaan teknologi digital. Pertemuan fisik mulai tergantikan oleh ruang-ruang virtual yang menyajikan fitur-fitur digital demi memudahkan komunikasi dan banyak urusan.

Digitalisasi menuntut berbagai penyesuaian dan respons cepat dalam berbagai sektor dari sektor pendidikan hingga industri. Berbekal kemampuan beradaptasi tersebut kita dituntut mampu memenuhi kebutuhan masa depan yang berubah cepat, rentan, tak pasti, rumit, dan membingungkan.

Keluwesan dan penerimaan untuk perubahan ialah modal yang diperlukan dalam proses digitalisasi.

Optimisme masyarakat menyambut digitalisasi sangat memungkinkan masyarakat untuk bisa belajar banyak hal baru, menyerap berlimpah informasi dan pengetahuan baru sehingga bisa menangkap peluang dan manfaat-manfaat yang disediakan oleh internet, contoh; perekonomian akan membaik ketika masyarakat mampu memanfaat tren dan geliat bisnis online.

Derasnya arus informasi dan pengetahuan baru idealnya mampu meningkatkan kemampuan berliterasi masyarakat yang dengan ini diharapkan menyumbang majunya peradaban bangsa.

Namun, paradoksal terjadi ketika kemajuan internet tidak berbanding lurus dengan semangat dan produk literasi masyarakat. Bagai dua ujung mata pedang, teknologi digital menyediakan peluang dan manfaat yang banyak. Sisi lain, masyarakat kehilangan kendali. Penggunaan internet yang berlebihan dan tak menyentuh esensi digitalisasi itu sendiri, justru mengebiri budaya literasi.

Game online dan uforia penggunaan media sosial menjadi sebab paling utama bergesernya orientasi penggunaan internet.

Tak heran jika kemudian muncul judge bahwa masyarakat Indonesia malas membaca tetapi sangat cerewet di media sosial. Mampu menatap berjam-jam di layar gadget tetapi minim serapan ilmunya. Mudah mengumbar cerita-cerita tak bermuatan ilmu, dan mudah menelan berita hoax dan fitnah.

Informasi yang didapatkan dari media seringnya bukan berasal dari media yang bisa dipercaya melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, masyarakat justru percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax itu.

Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya memang begitu.

Ya, selamat datang di era Post-Thruth. Era di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.

Sebuah paradoksal tajam, rendahnya literasi (kemampuan membaca dan menulis) masyarakat Indonesia di tengah gencarnya digitalisasi di mana rujukan pengetahuan digelar begitu luas dan masyarakat bebas mengambil semua hikmah yang tersimpan.

Generasi sibuk beruforia gadget yang nirfaedah. Lebih memilih asik berhelat di platform ngeksis berbasis tayangan video yang menampilkan dirinya sendiri, seperti TikTok, dari pada menulis kritis dan menyusun buku-buku fiksi.

Bagaimana kultur menulis dan berpikir kritis terbangun jika membaca saja adalah hal yang begitu berat dikerjakan? Ini pertanyaan retoris bagaimana membangun kultur cinta ilmu di tengah era digital tidak serta merta mulus.

Terkait

Terkini