Resepsi Budaya Bhairawa Tantra dan Sadranan, hingga Slametan Kendurenan (2)

Saat kelompok Bhairawa Tantra melakukan ritual Pancakamarapuja, Sunan Bonang dan pengikutnya melakukan upacara tandingan. Keduanya sama-sama melakukan ritual di zona timur dan barat sungai Brantas.

1 Maret 2022, 08:05 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Resepsi Budaya Bhairawa Tantra dan Sadranan, hingga Slametan Kendurenan

Peran Para Wali

Sunan Bonang, lahir pada tahun 1465, di Ampel Surabaya, meninggal di Lasem Rembang tahun 1525. Bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Nama Bonang diambil dari sebuah desa di kabupaten Rembang tempat berdakwah. Sunan Bonang merupakan wali angkatan ke-3 sampai ke-5.

Pada waktu Sunan Bonang menyiarkan islam, aliran Bhairawa Tantra masih tumbuh subur, terutama di daerah Jawa Timur Selatan, tepatnya di daerah Daha (Kediri). Sunan Bonang tergerak hatinya untuk menghilangkan aliran tersebut yang di anggap tidak beradab.

Sunan Bonang memulai dakwahnya dari utara di Lasem Rembang menuju ke selatan, dan menetap di Desa/Kabuyutan Singkal (Desa Singkal Anyar, Kecamatan Prambon, Nganjuk, Jawa Timur sekarang). Letak kabuyutan Singkal berada di sebelah barat kali Brantas. Sedangkan pusat dari kegiatan Bhairawa Tantra berada di Daha, timur sungai Brantas.

Sunan Bonang menetap di Singkal bukan tanpa maksud, niat untuk memerangi ajaran Bhairawa Tantra dilakukan dengan cara-cara yang humanis, tidak secara frontal dilakukan terhadap pengikut Tantra tersebut.

Saat kelompok Bhairawa Tantra melakukan ritual Pancakamarapuja, Sunan Bonang dan pengikutnya melakukan upacara tandingan. Keduanya sama-sama melakukan ritual di zona timur dan barat sungai Brantas.

Sunan Bonang mengumpulkan seluruh penduduk Singkal, mereka di arahkan untuk duduk membentuk sebuah lingkaran atau cakra. Di tengahnya, aneka makanan seperti nasi tumpeng dan golong, daging ayam, ikan, air putih dan beberapa hasil bumi, dalam artian aneka makanan dan minuman disajikan lengkap.

Lantas ritus yang mengandung nilai spiritual tadi oleh Sunan diberikan nama Slametan. Berasal dari bahasa Arab: “namayaslamu-salamun,” yang artinya selamat, diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi Slamet:Slamet-an. Dari situlah budaya Slametan berawal hingga berkembang pesat pada era Mataram Islam.

Isi dari ritus Slametan tersebut sebagai esensi dari permohonan akan keselamatan, di wadahi dalam bentuknya dengan istilah Kenduri. Kata “Kenduri” dari serapan kata “Kanduri,” dari bahasa Persia yang berarti upacara makan-makan. Selanjutnya menjadi istilah Kenduren. Dalam pelaksanaannya diucapkan sebagai kegiatan Kendurenan.

Filosofi dan gerakan nyata dari ritus Slametan bertujuan untuk menyelamatkan orang-orang Daha dari ajaran menyimpang (Bhairawa Tantra). Makanan yang sebelumnya berupa daging manusia diganti dengan ingkung ayam, yang semula arak diganti dengan air putih, yang semula terdapat praktik bersetubuh massal ditiadakan. Yang semula menggunakan puji-pujian mantra diganti dengan doa-doa dari petikan Al-Qur’an. Selanjutnya melahirkan puji-pujian berupa sholawat dan tahlil yang menginisiasi pembentukan bacaan yang dilagukan berbentuk sholawatan dan tahlilan, khas identitas islam di Nusantara.

Aliran Bhairawa Tantra yang dianggap sebagai aliran pangiwa (kiri): dengan ritus praktiknya Pancamakarapuja diganti dengan filosofi Mo Limo. Sama-sama mengandung isi berupa lima hal pokok, panca berarti lima. Mo Limo yang dimaksud berupa lima pantangan atau larangan bagi manusia bila ingin menemui kemuliaan dalam perjalanan hidupnya. Satunya hidup antara hubungan manusia dan Tuhan.

Pantangan Mo Limo dengan lafal “M” yang digubah Sunan Bonang adalah sebagai berikut;

Maling (mencuri), Madhat (menghisap candu/narkotika), Minum (mabuk minuman beralkohol), Main (berjudi/dadu) Madon (bermain perempuan).

Dalam perkembangannya, praktik Slametan dengan Kendurenan juga filosofi Mo Limo, berhasil mengikis keberadaan aliran Bhairawa Tantra. Atas keberhasilan tersebut, Sunan Bonang juga dikenal dengan sebutan Sunan Wahdat Cakrawati atau Sunan Wahdat Anyakrawati. Dari kata Cakra yang berarti lingkaran, merupakan representasi dari praktik Kendurenan dengan posisi melingkar dalam upaya memperoleh keselamatan hidup dari-Nya.

Di daerah Pagu Pamenang, Kediri Jawa Timur, terdapat patung Totok Kerot. Di situlah sebagai penanda rivalitas antara pengikut Sunan Bonang dengan Bhairawa Tantra. Patung arca Dwarapala namanya, berujud raksasa wanita yang memakai kalung tengkorak dengan rambut terurai. Patung ini diperkirakan dibuat era pemerintahan Sri Aji Jayabaya Kadiri (1135-1157). Arca ini masih menjadi misteri dikarenakan sumber literasi yang minim.

Di pulau Sumatera, dahulu bernama Swarnadipa, aliran Bhairawa Tantra juga berkembang pesat. Hampir semua raja-raja menjadi pengikut ajaran ini. Diantaranya Raja Adityawarman yang telah menjalin hubungan baik dengan Raja-Raja di Jawa. Adityawarman dinobatkan menjadi pemimpin Pagaruyung (Minangkabau) oleh Majapahit sebagai balas budi atas kebersamaan dalam pendudukan wilayah Bali.

Istilah Tantrayana berasal dari kata Tan, yang artinya mengetengahkan kesaktian atau kekuatan dari para Dewa. Tak heran dalam prakteknya memang penganut Bhairawa Tantra memang sakti. Hal ini yang membuat kebudayaan Cina dan Islam sulit menembus Jawa.

Belum bisa dibuktikan secara empiris mengenai hubungan Bhairawa Tantra dengan makhluk semi gaib yang bernama Jenglot, pada latar cerita penumbalan tanah Jawa oleh Syeikh Subakir di daerah kebudayaan Kedu pada saat syiar Islam periode awal. Jenglot adalah wujud dari kesaktian para manusia Jawa pengikut Bhairawa Tantra yang kemudian kalah, hingga wujud fisiknya mengecil setinggi 20 cm. Jenglot sangat buruk rupa dan meminum darah.

Penganut Tantrisme lebih berkembang di India Selatan dibandingkan dengan India Utara. Penyebarannya cukup tinggi, berkembang luas hingga ke China, Tibet dan Asia Tenggara, selain di Indonesia tentunya.

Ajaran Bhairawa Tantra di Bali dimulai pada abad ke-10 oleh Raja Dharma Udayana Warmadewa dengan permaisurinya Mahendradhatta.

Mpu Sindok juga bagian pengikut dari Tantrayana, dengan disusunnya kitab Sang Hyang Kamahayanikan, menguraikan soal ajaran dan ibadah agama Buddha Tantra. Meski Buddha Tantra versi Mpu Sindok bukan berarti aliran Bhairawa Tantra. Telah terjadi banyak madzhab di tubuh Hindu dan Buddha sendiri.

Raja yang terkenal sebagai pengikut ajaran Bhairawa Tantra adalah Raja Kertanegara di Singosari. Spekulasi kekalahan Kertanegara yang di serang oleh Kadiri disebabkan karena sang raja lalai atas kepemimpinannya akibat suka mabuk-mabukan dan main perempuan. Namun pendapat itu mudah disanggah, karena praktik Bhairawa Tantra sudah lazim dilakukan pada era tersebut.

Bhairawa Tantra sendiri atau ajaran Tantrayana tidak bisa disimpulkan hanya dengan justifikasi praktik Pancamakarapuja. Aliran ini bercabang-cabang dalam aneka madzhab, seperti ajaran Buddha Tantrayana yang berdiri sendiri dan berbeda dengan sekte Bhairawa Tantra.

Jelas sudah bahwa aliran dan praktik Bhairawa Tantra erat hubungannya dengan tradisi Sadranan saat ini. Kelahiran tradisi Slametan dalam bentuk Kendurenan hingga lahirnya tradisi sholawatan maupun tahlilan, membuktikan telah terjadi resepsi budaya di Nusantara, khususnya Jawa.

Sinkretisme telah menjadi bentuk budaya baru dan akan terus berkembang dalam dinamika jaman. Peradaban dalam wujud kebudayaan yang berasal dari berbagai agama, aliran kepercayaan dan semua unsur kebudayaan di dalamnya, telah tercipta simbol-simbol baru di dalamnya yang terus melekat. Proses akulturasi dan asimilasi budaya memang benar-benar telah terjadi di Nusantara dari historiografinya yang panjang.

Bijak kiranya kita memahami, menempatkan hal itu semua, karena berawal dari kesejarahan yang harusnya menjadi pemakhluman. Tidak bijaksana kiranya mempertentangkan itu semua dengan adu argumen kefahaman, mana yang paling benar, hingga konfrontasi fisik dalam aktifitas sosial budaya.

Biarlah itu semua cukup menjadi diskursus, dialektika dalam diri umat masing-masing sebagai kekayaan nilai-nilai budaya. Problematika yang ada di dalamnya tidak perlu dibawa pada ranah sosial, tetaplah teguh pada pendirian dan keyakinan masing-masing tanpa merubah tatanan yang sudah berjalan saat ini.

Selesai

Resepsi Budaya Bhairawa Tantra dan Sadranan, hingga Slametan Kendurenan (1)
Tsunami Alat Legitimasi, Ungkap Peristiwa berbasis Geo-Mitologi
Budaya Katuranggan para Pria Jawa
Candikala dan Lingkaran Mitosnya
Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)

Terkait

Terkini